Masuk Daftar
My Getplus

Warisan Si Mbah Buat Jokowi

Blusukan menjadi metode utama Jokowi mengetahui keinginan rakyat. Meniru cara kerja sang kakek kala memimpin sebuah kelurahan kecil.

Oleh: Hendi Johari | 12 Apr 2019
Joko Widodo dalam suatu acara blusukan. (Sumber: presiden.go.id)

SEJAK awal kepemimpinannya di Solo, Jokowi (panggilan akrab Joko Widodo) kadung dikenal sebagai pemimpin yang kerap blusukan (masuk ke sana ke mari) untuk mengetahui aspirasi yang beredar di kalangan rakyatnya. Ketika menjadi gubernur DKI Jakarta dan presiden Republik Indonesia, kebiasaan itu tetap dipertahankannya.

“Itu saya lakukan untuk mengenali hati rakyat. Mengunjungi dan berdialog dengan rakyat bagaikan nafas yang menghidupkan tubuh pemerintahan,” ujar Jokowi kepada Alberthiene Endah dalam Jokowi Menuju Cahaya.

Tradisi blusukan itu tak urung mendapat sambutan baik. Kebiasaan itu dinilai tepat untuk menyerap segala keinginan rakyat di bawah sekaligus menjadikannya sebagai media pengawasan langsung dari pihak pemerintah terhadap suatu program. Sebaliknya, tak sedikit pula pihak yang berpendapat negatif terhadap tradisi blusukan itu. Mereka menilainya hal tersebut tak lebih hanya pencitraan, laiknya dilakukan oleh para politisi untuk mengambil simpati media dan rakyat.

Advertising
Advertising

Baca juga: Isu PKI Buat Jokowi

 

Salah satu kritik itu datang dari politisi yang kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta: Anies Baswedan. Menurut Anies blusukan bukanlah suatu cara yang efektif karena hanya sekadar mendengarkan keluhan masyarakat tanpa memberikan solusi.

"Saya enggak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak berubah. Blusukan itu hanya menonton masyarakat. Hanya hadir lalu kesannya sudah melakukan," ujar Anies seperti pernah dikutip merdeka.com.

Lantas dari mana sebenarnya Jokowi mengadopsi kebiasaan itu?

Tradisi Sang Kakek

Tersebutlah Lamidi Wiryomihardjo, kakek Jokowi dari garis ayah. Dia terpilih sebagai lurah di Desa Kragan (masuk wilayah Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar) pada 1948. Sebagai seorang pemimpin yang terpilih di masa perang, Wiryo harus bisa menjaga desanya agar tetap aman.  

Kendati demikian, situasi itu tidak menjadikan Wiryo balik badan berpihak kepada Belanda. Boleh saja secara de jure kawasannya dimasukan dalam kekuasaan Belanda namun simpati sang lurah tetap kepada Republik. Itu dibuktikan Wiryo dengan selalu melindungi unit-unit gerilyawan Republik yang berlindung dari kejaran tentara Belanda.

Pada 7-10 Agustus 1949 terjadi pertempuran besar antara gerilyawan Republik dengan militer Belanda di Surakarta. Di hari ke-4, sebuah unit pasukan Tentara Pelajar (TP) mundur jauh hingga ke Desa Kragan. Tak mau kehilangan mangsa, tentara Belanda tetap memburu dan menekan Lurah Wiryo untuk memberitahu perlindungan para gerilyawan tersebut.

Baca juga: Gagasan Sukarno Tentang Revolusi Mental

Namun Lurah Wiryo bergeming. Guna memberi kesempatan kepada anak-anak TP untuk meluputkan diri, Lurah Wiryo terus melobi kelompok pasukan Belanda itu untuk tidak meneruskan aksi militer mereka di Desa Kragan.

“Saya lurah di sini. Saya tahu betul semua yang ada di sini. Silakan cari. Kalaupun ada satu orang saja Tentara Pelajar tertangkap, silakan tembak saja saya,” ujar Wiryo seperti dikisahkan dalam buku Jadul Kinanti: Jokowi, Dulu, Kini dan Nanti karya Widjiono Wasis.

Keberanian Mbah Lurah (panggilan akrab penduduk Desa Kragan kepada Wiryo) membela para pejuang menimbulkan rasa percaya bukan hanya di kalangan rakyatnya namun juga pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bukti, pasca revolusi, dia tetap didapuk sebagai lurah hingga 1983. Pada 1955, Wiryo terlibat dalam proses pemilihan umum dan mendukung PNI (Partai Nasional Indonesia).

“Mbah Lurah adalah juga tokoh PNI di desanya, yang memiliki kedakatan dengan kekuatan Masyumi di desanya,” demikian menurut Wawan Mas’udi dan Akhmad Ramdhon dalam Jokowi, dari Bantaran Kalianyar ke Istana: Mobilitas Vertikal Keluarga Jawa.

Baca juga: Misi Prabowo dalam Operasi Mapenduma

Sebagai pemimpin, Mbah Lurah bukan hanya dipercaya juga dicintai oleh rakyatnya. Hal itu terjadi karena selama kepemimpinannya, Mbah Lurah kerap mengedepankan dialog. Segala keinginan dan cita-cita rakyat diserapnya lewat cara mengunjungi langsung orang-orang di desanya. Tak jarang Mbah Lurah pun mengadakan kegiatan dengar pendapat secara massif dengan penduduk Desa Kragan.

Tidak hanya sebatas mendengar, apa yang diminta dan dikeluhkan oleh rakyatnya, dia laksanakan atau hindari jika itu memang tidak sesuai keinginan rakyat. Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, tak mungkin Mbah Wiryo bisa bertahan sebagai lurah hingga 35 tahun lamanya.

Rupanya “blusukan” gaya Mbah Lurah itu diwariskan kepada cucunya yang bernama Joko Widodo. Bukan hanya di tingkat desa, tetapi juga di tingkat kota, provinsi dan bahkan saat ini, di tingkat negara.

Berawal dari Kampanye

Tahun 2005, Jokowi mencalonkan diri sebagai walikota Solo. Dari ketiga kandidat yang bertarung, hanya dialah yang dinilai memiliki peluang kecil. Itu terbukti dengan hasil survey yang dilakukan oleh tim suksesnya sendiri. Kans Jokowi untuk duduk sebagai walikota Solo hanya 10%.

Berdasarkan data tersebut, tim sukses Jokowi yang dipimpin oleh Anggit Noegroho (eks jurnalis Solo Pos) lantas bergerak cepat. Setelah berdiskusi alot dengan Jokowi, maka diputuskan bahwa mereka harus memiliki gaya tersendiri dalam berkampanye, sesuai dengan keinginan Jokowi yang mau kampanyenya sederhana, mengena dan merakyat.

Akhir mereka menemukan solusi untuk lebih menyentuh hati rakyat yakni dengan bersilaturahmi, persis seperti yang dilakukan oleh Mbah Lurah saat memimpin Desa Kragan.  Maka masuklah Jokowi ke kampung-kampung, menyusup gang kecil, menghampiri kawasan paling terpencil.  Dia juga tak segan berbecek ria di pasar-pasar dan berkeringat di tengah rakyat banyak.

Baca juga: Kisah Bowo Anak Kebayoran

“Ya hanya dengan begitu saya bisa 'mengenali rakyat'. Pemimpin harusnya menghampiri mereka, mengenal mereka,” ujar Jokowi dalam biografinya, Jalan Menuju Cahaya.

Kegiatan Jokowi itu kemudian mendapat tempat di media massa. Mereka mulai bertanya, apa nama gaya kampanye yang sangat berbeda dari kandidat-kandidat lainnya itu? Maka muncullah istilah blusukan. Sebuah kata yang menurut Jokowi sendiri sangat pas menjadi ciri kepemimpinannya.

Jadilah kemudian blusukan populer. Terlebih setelah gaya ini diterapkan pula oleh Jokowi saat memimpin DKI Jakarta dan Republik Indonesia. Tentu saja banyak juga orang yang tidak setuju dan memandang cara ini hanya sebagai strategi politik semata guna memelihara elektabilitas. Namun Jokowi tak peduli.

“Yang penting bagi saya adalah bekerja dan bekerja. Kalaupun ada orang yang melihatnya lain ya silakan saja, terserah orang untuk menilai hasil pekerjaan saya,” ujarnya.

TAG

Jokowi

ARTIKEL TERKAIT

Lima Walikota Jadi Gubernur dan Presiden Bandul Stigma yang Berbahaya Oligarki Zaman Kuda Gigit Besi hingga Era Jokowi Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan Sukarno dan Gebrakan 30 September Cerita di Balik Nama-Nama Presiden Isu PKI Buat Jokowi Sukarno Bilang Islam Sontoloyo Cerita di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004 Menelanjangi Silsilah Pribadi Presiden Soeharto