Tan Malaka kemungkinan lahir pada tahun 1894 di desa Pandan Gadang, tak jauh dari Suliki, Sumatera Barat. Nama aslinya Sutan Ibrahim. Ia mendapatkan nama gelar semi bangsawan yang didapat dari garis turunan ibunya menjadi Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka pada 1913. Tan Malaka menonjol dalam ilmu pasti sehingga dipuji gurunya dan melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda pada bulan Oktober 1913 untuk belajar di Rijkskweekschool (Sekolah Pendidikan Guru Pemerintah).
Tan Malaka menaruh perhatian besar terhadap kemiliteran sehingga senang membaca buku tentang kemiliteran, hingga dengan pecahnya Revolusi Rusia (1917), Tan Malaka semakin berminat terhadap pemikiran Karl Marx dan Engels. Tan Malaka ikut dalam diskusi terbuka antara Sneevliet dan Suwardi tentang "Kecenderungan Nasionalis dan Sosialis dalam pergerakan Nasional Hindia" di Amsterdam (1919).
Setelah Kembali ke Indonesia (1919) Tan Malaka mengadakan surat menyurat dengan rekan-rekannya di Belanda. Dan sejak itu Tan Malaka mulai menulis artikel antara lain di surat kabar berbahasa Belanda, Het Vrije Woord, yang terbit di Semarang. Untuk memperjuangkan nasib petani, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dalam pemilihan tahun 1920 mewakili kaum kiri. Namun, baru setahun ia mengundurkan diri dan memilih membuka sekolah Rakyat di Semarang atas bantuan seorang Tokoh Syarikat Islam (SI).
Pada tahun 1922 Tan Malaka ditangkap pemerintah Kolonial Belanda karena terlibat aksi pemogokan buruh perkebunan. Kemudian ia minta untuk mengasingkan diri ke Belanda, tidak lama setelah itu ia ke Moskwa. Pada tahun 1925 ketika berada di Cina, Tan Malaka menulis buku kecil berjudul Naar de Republiek yang dicetak di Kanton. Antara tahun 1942 dan 1943 Tan Malaka menulis buku Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang menyuguhkan cara berpikir baru untuk memerangi cara berpikir lama (dipengaruhi tahyul atau mistik yang menyebabkan perang menyerah secara total kepada alam).
Pada 1946, Tan Malaka ditangkap dengan tuduhan menggerakkan rakyat menentang perjanjian Linggarjati antara Belanda dan Indonesia. Tidak lama kemudian Tan Malaka dituduh terlibat dalam peristiwa 3 Juli 1946, yakni peristiwa kudeta terhada pemerintah. Namun pengadilan menyatakan Tan Malaka tidak terlibat dan ia dibebaskan. Tan Malaka mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta, kemudian ia ikut bergerilya ke Jawa Timur dan pada Februari 1949 ia tewas ditembak tentara RI. Pada tahun 1963 Tan Malaka dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 53 Tahun 1963 tanggal 28 Maret 1963. Pada 2007, seorang peneliti Belanda Harry A. Poeze, menemukan makam Tan Malaka di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.