John Rabe, Nazi Anomali dalam Prahara Nanking
Bermodalkan swastika, pebisnis Jerman menyelamatkan 250 ribu nyawa. Disantuni penyintas Pembantaian Nanking di akhir hayatnya.
MUSIM dingin di Nanking (kadang dituliskan Nanjing) pada akhir Januari 1938 masih begitu menusuk. John Rabe, lelaki plontos berkacamata dan menyandang armband Swastika Partai Nazi di lengan mantelnya, berjalan dengan hati-hati ditemani asistennya, Han. Mereka hendak mengecek sekitar 100 pengungsi di dekat pekarangan belakang rumahnya.
Kamp pengungsi itu berubah jadi rawa-rawa lagi. Sebelumnya terjadi badai salju selama dua hari. Hari Minggu, 30 Januari 1938, itu saljunya mencair. Terlepas dari keadaan yang memprihatinkan, mayoritas pengungsi itu memajang senyum saat ditemui Rabe. Maklum, sebelumnya pada perayaan tahun baru 1938, Rabe menyumbangkan 100 dolar Amerika untuk diberikan masing-masing satu dolar ke 100 pengungsi itu.
“Sungguh kemalangan yang luar biasa, dan besok adalah Tahun Baru China (Imlek), hari raya terbesar bagi orang-orang China yang malang! Komite memberikan kamp saya sebuah hadiah tambahan lima dolar untuk membeli rempah-rempah untuk membumbui nasi tahun baru mereka – lima dolar untuk 600 orang! Sayangnya kami tak bisa memberikan lebih dari itu walau uangnya mereka terima dengan rasa syukur. Semua orang juga menerima secangkir beras tambahan dari jatah harian dua cangkir,” tulis Rabe dalam catatan hariannya, Der Gute Deutsche von Nanking (terj. The Good German of Nanking).
Baca juga: Kabut Pekat di Nanking
Komite yang dimaksud adalah International Committee for the Nanking Safety Zone. Komite itu dibentuk pada 22 November 1937 oleh 15 ekspatriat Eropa dan Amerika Serikat setelah Nanking, ibukota China kala itu, dikuasai Jepang. Komite itu bertanggungjawab atas 25 kamp pengungsi di zona aman yang bebas militer dengan perimeter seluas 8,6 kilometer persegi dekat Kedutaan Besar Amerika.
Rabe dipilih jadi ketuanya mengingat ia juga anggota Partai Nazi. Pemilihan Rabe sebagai ketuanya diharapkan agar militer Jepang mau menghormati zona itu. Pasalnya terdapat Pakta Anti-Komunis Internasional yang ditandatangani pemerintah Jepang dan pemerintahan Jerman-Nazi di Berlin pada 25 November 1936.
Kendati begitu, posisi Rabe dan komite itu tengah dalam ancaman nyata. Pasalnya pada pagi 30 Januari, militer Jepang meminta zona itu dikosongkan. Oleh karenanya, Rabe keluar dari kediamannya untuk mengecek para pengungsi jelang Hari Raya Imlek.
“Pada Minggu, 30 Januari, polisi dan seorang tentara yang mewakili Korps Khusus (Jepang) datang ke beberapa kamp dan mengumumkan bahwa para pengungsi harus keluar paling lambat 4 Februari jika tak ingin barang-barang mereka disita dan kamp serta sejumlah gedung disegel,” imbuh Rabe.
Baca juga: Januari “Ngeri” di Shanghai
Rabe mengkhawatirkan para pengungsi sipil itu jika komite dipaksa mengosongkan zona aman. Ia berpikir untuk kembali minta pertolongan perwakilan Kedutaan Jerman, Dr. Georg Rosen, untuk membicarakan perintah pengosongan itu.
“Di sisi lain, dengan berat hati, 600 pengungsi dalam perlindungan saya juga sudah paham bahwa mereka harus meninggalkan kamp pada 4 Februari. Dr Rosen dipilih untuk tugas itu dan mengingat saya warga Jerman dan ketua komite, sepantasnya proses itu tetap harus melalui perwakilan Kedutaan Jerman untuk menghalangi pihak Jepang memaksa pengungsi China keluar dari zona pada 4 Februari,” lanjutnya.
Kekhawatiran itu jadi kenyataan. Pada medio Februari, Rabe dipanggil pulang ke negerinya. Padahal sejak November 1937 bersama komite, Rabe pontang-panting menyelamatkan sekira 250 ribu nyawa sipil China dari kebrutalan Jepang sebagai dampak Perang Sino-Jepang II (1937-1945).
Moral dan Kesetiaan
John Heinrich Detlef Rabe lahir di Hamburg, Jerman pada 23 November 1882. Sejak kecil ia gemar berpetualang, mengikuti jejak ayahnya yang seorang pelaut. Sebelum sampai ke China pada 1908, Rabe sempat berkelana sampai Mozambik di Afrika.
Di China, ia ikut sejumlah proyek perusahaan telekomunikasi Siemens AG di Mukden, berturut-turut ke Peking (kini Beijing), Tientsin, Shanghai, hingga Nanking. Pada 1931, ia menjabat sebagai direktur cabang Siemens China Co. Rabe bahkan bisa mendirikan sebuah sekolah Jerman di Nanking setelah bergabung ke Partai NSDAP/Nazi) pada 1934. Sekolahnya mendapat bantuan pengajar dan dana dari partai.
Sembari mengikuti proyek Siemens membangun sistem telepon dan turbin untuk pembangkit listriknya, Rabe turut melatih banyak insinyur China untuk dijadikan karyawannya. Sebagai seorang Jerman, sebelum Perang Sino-Jepang II, Rabe mendapat banyak kemudahan. Pasalnya, pemimpin nasionalis China, Chiang Kai-shek, kala itu mendapat bantuan banyak alutsista dan perwira Jerman –seperti Kolonel-Jenderal Hans von Seeckt, hingga Jenderal Alexander von Falkenhausen– sebagai penasihat militer untuk memodernisasi angkatan perangnya.
Baca juga: Panji Matahari Terbit di Bali
Namun semua itu berubah ketika Perang Sino-Jepang II pecah. Di akhir 1937, militer Jepang mulai merangsek ke Nanking setelah pada September menguasai Shanxi Utara dan Shanghai pada 5 November. Sejumlah diplomat maupun pengusaha Eropa dan Amerika mulai dievakuasi. Hanya 22 ekspatriat yang tak ikut dievakuasi, 15 di antaranya, termasuk Rabe, kemudian membentuk International Committee for the Nanking Safety Zone. Langkah itu meniru upaya pemuka agama Jesuit, Robert Jacquinot de Besange, yang membuat zona aman di kota tua Shanghai.
Mereka tetap bertahan kendati pemboman mulai terjadi pada Oktober-November dan Pertempuran Nanking pecah pada 1 Desember 1937. Rabe bahkan harus memindahkan kantornya ke ruang bawah tanah dadakan agar operasional Siemens tetap bisa berjalan. Ia menggunakan bendera Nazi yang dibentangkan sebagai atapnya agar tak dibidik pesawat-pesawat pembom Jepang.
“Dalam catatan harian Rabe tertanggal 17 November 1937, menggambarkan situasi di mana pemerintahan China sudah meninggalkan ibukota. Ditambah banyak diplomat dan anggota stafnya juga berniat pindah ke Hankou. Duta besar Amerika bersama para staf dan warga Amerika juga berencana meninggalkan Nanking pada 23 November dengan menumpang kapal USS Luzon,” tulis Marcia R. Ristaino dalam The Jacquinot Safe Zone: Wartime Refugees in Shanghai.
Baca juga: Horor Warsawa dari Mata Lensa Pewarta
Pada 25 November 1937 atau tiga hari setelah terbentuknya komite, Rabe mengirim telegram kepada pemimpin partai cum kanselir Adolf Hitler untuk meminta izin. Menukil Iris Chang dalam The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II, Rabe meminta Hitler agar mau campur tangan dan mendesak pemerintah Jepang mengizinkan zona-zona aman bagi para rakyat sipil yang tak terlibat Pertempuran Nanking.
“Di waktu yang sama Rabe juga mengirim telegram ke temannya, Konsul Jenderal Tuan Kriebel: ‘Meminta dukungan atas permintaan saya kepada Führer…jika tidak, akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Heil Hitler! Rabe –perwakilan Siemens dan Kepala Komite Internasional untuk Nanking’,” ungkap Chang.
Baca juga: Adik Goering Anti-Nazi dan Penyelamat Yahudi
Usai pemboman Nanking pada 12 Desember, Rabe yang mengenakan helm baja dan ditemani beberapa asistennya, mengecek situasi kota. Kepada rakyat sipil yang masih hidup, ia mengimbau untuk bergegas mengevakuasi diri ke kamp-kamp pengungsi yang tersedia di zona aman, termasuk di pekarangan kediamannya. Ia sudah menyiapkan sejumlah tenda dan lubang perlindungan beratapkan bendera Nazi Jerman.
“Keesokan paginya di kota yang sudah luluh lantak dan mayat-mayat orang China berserakan, ia melihat kebanyakan dari mereka ditembak dari belakang (dieksekusi, red.). Lalu ia melihat sekumpulan tentara Jepang mendobrak masuk ke kedai kopi Jerman. Ketika Rabe melabrak mereka dengan merujuk bendera Jerman yang terpajang, seorang tentara dengan berbahasa Inggris geram: ‘Kami lapar! Jika Anda mau protes, pergilah ke Kedutaan Jepang. Mereka akan membayarnya.’ Setelah ditinggalkan, kedai itu malah dibakar habis,” imbuh Chang.
Hari demi hari sarat keprihatinan menohok hati Rabe. Nanking yang dikenalnya sebagai kota yang ramai, berubah jadi horor. Bayi-bayi, anak-anak jadi korban eksekusi. Para gadis dirudapaksa dan dibunuh. Sedikit yang masih hidup harus menderita sebagai ianfu alias wanita penghibur.
“Ketika perwakilan kedutaan Jepang menemuinya dan mendesaknya untuk pergi, ia tetap bertahan. Seorang perwira, Mayor Oka yang ditugasi melindungi Rabe kala Nanking jatuh, mempertanyakan kenapa Rabe sampai mau peduli pada orang China. Rabe menjawab: ‘Saya sudah 30 tahun tinggal di China. Anak-anak dan cucu-cucu saya lahir di sini dan kami diperlakukan baik oleh orang China. Jika saya tinggal 30 tahun di Jepang dan diperlakukan baik oleh orang Jepang, Anda bisa memastikan, betapapun di waktu genting seperti yang dialami China sekarang, saya takkan meninggalkan rakyat Jepang’,” lanjut Chang.
Baca juga: Gedoran Jepang di Corregidor
Selain anak-anak dan perempuan, zona aman yang didirikan Rabe dan rekan-rekannya juga menampung ribuan eks-pasukan China. Umumnya mereka yang sudah melucuti senjata dan seragamnya. Akan tetapi polisi Jepang acap merazia kamp tersebut. Sejumlah tanda bekas pegang senapan dan peralatan perang lain yang ditemukan tak bisa mengelabui mereka. Akibatnya, sekitar 1.300 eks-pasukan yang mengungsi diseret keluar dari kamp pada 14 Desember. Kesemuanya dieksekusi dekat kamp di depan mata para pengungsi lain.
Ke manapun Rabe berkendara di sekitar kota, selalu ada orang yang menghentikannya di tengah jalan untuk minta tolong karena saudari, istri, atau putri mereka hendak diperkosa Jepang. Bermodalkan armband Nazi, ia berkali-kali mengusir para tentara Jepang yang gelap mata itu.
“Ketika salah satu dari tentara Jepang keberatan, Rabe mengacungkan armband Nazi-nya ke muka mereka dan menunjukkan penghargaan Nazi lainnya dan menanyakan pada mereka apakah mereka tahu itu artinya apa. Upaya itu selalu berhasil,” kenang George Fitch, perwakilan YMCA (Asosiasi Pemuda Kristen), dikutip Chang.
Berulangkali berhasil, berulangkali pula ia melaporkan kepada Hitler lewat telegram. Rabe tak pernah tahu apakah pesan itu sampai kepada sang führer.
“Sekumpulan tentara Jepang, 3-10 orang, juga biasanya berkeliling kota untuk merampok apapun yang mereka temukan. Orang Jepang punya pistol dan bayonet dan saya hanya punya simbol partai dan armband Swastika,” demikian bunyi salah satu laporan tertulisnya kepada Hitler.
Baca juga: Swastika, Lambang Mulia yang Dicemari Nazi
Memasuki Januari 1938, kesibukan Rabe semakin tinggi. Kegiatan perusahaan terpaksa ia tinggalkan untuk saban hari mengawasi sekitar zona aman. Pasalnya ada saja tentara Jepang yang mencoba menyusup, entah untuk mencuri, menculik pengungsi untuk dijadikan pekerja paksa, atau menculik para gadis untuk dijadikan pemuas birahi.
“Pada suatu ketika simbol swastika itu benar-benar menyelamatkan nyawanya. Satu malam tentara Jepang menerobos kediamannya dan Rabe melabraknya dengan senter. Salah satu dari tentara mencabut pistol hendak menembaknya tapi urung dilakukan saat menyadari bahwa menembak seorang Jerman akan jadi perkara besar,” tandas Chang.
Jika tentara Jepang segan padanya, orang-orang China memujanya. Ia bahkan dijuluki “Budha Hidup” karena acap memberikan donasi di luar jatah harian dari komite untuk para pengungsi. Lazimnya, Rabe akan menghadiahi 10 dolar bagi bayi lelaki serta 9,5 dolar untuk bayi perempuan yang baru lahir. Banyak orangtua para bayi itu menamai bayi laki-laki mereka “Rabe” dan bayi perempuan mereka “Dora” –merujuk nama istri Rabe.
Hal itu juga menumbuhkan rasa hormat tinggi para kolega ekspatriatnya, terutama para ekspatriat Amerika dan Inggris, terlepas Rabe seorang Nazi. Ia pun sering disebut sebagai “Oskar Schindler-nya China”, merujuk industrialis Oskar Schindler yang menyelamatkan 1.200 Yahudi dari holocaust di Bohemia dan Moravia.
Ditangkap Gestapo, Disantuni Penyintas Nanking
Setelah memberi suaka bagi sekira 250 ribu orang, Rabe terpaksa pulang ke negerinya pada medio Februari. Ia tak bisa menundanya lagi lantaran sejak 10 Januari ia menerima telegram dari Siemens cabang Shanghai untuk bersiap-siap dievakuasi.
Dengan berat hati Rabe meninggalkan Nanking pada 28 Februari 1938 dan dilepas para pengungsi dengan derai air mata. Setelah mampir sejenak ke Shanghai untuk menjemput istrinya, ia melanjutkan perjalanan panjang ke Berlin pada 15 April 1938.
Baca juga: Kekejaman Tentara Jepang di Sulawesi
Ia banyak membawa dokumen foto dan film milik pendeta Amerika John Magee. Foto-foto tentang kebrutalan Jepang di Nanking itu ia presentasikan kepada para koleganya di Siemens Company, Berlin. Rabe bahkan kembali menulis surat pribadi kepada Hitler yang intinya berisi permintaan agar Hitler mendesak Jepang menghentikan kekerasan ekstremnya di China.
“Beberapa hari kemudian (setelah mengirim surat kepada Hitler), saya didatangi Gestapo (polisi rahasia Nazi), di mana dua perwira datang dengan mobil dan membawa saya beserta enam volume catatan harian saya dan film itu ke Prinz Albrecht Straße (markas Gestapo),” sambung Rabe.
Selama berjam-jam Rabe diinterogasi secara intimidatif oleh Gestapo. Ia baru dibebaskan setelah petinggi Siemens AG, Friedrich von Siemen, datang. Rabe langsung dibebaskan dengan jaminan bahwa Rabe takkan bicara tentang Jepang lagi di forum manapun. Catatan hariannya dikembalikan namun dokumen foto dan filmnya disita Gestapo.
Agar tak diincar Gestapo, Siemens menugaskan Rabe ke luar negeri lagi. Kali ini ke Afghanistan. Rabe baru kembali ke Berlin ketika Perang Dunia II usai.
Lantaran statusnya sebagai anggota Partai Nazi, nahas menimpanya. Ia terpaksa menjalani denazifikasi pada 1946. Kehidupannya keluarganya pun berubah drastis. Ia hanya bisa tinggal di sebuah apartemen sempit dengan menjual koleksi benda seni China miliknya untuk menyambung hidup.
Kabar Rabe yang hidup terlunta-lunta baru sampai ke China pada 1949. Melalui pemerintah China, para warga sipil, terutama para penyintas Pembantaian Nanking yang ditolong Rabe dan komitenya pada 1937, menyumbang dua ribu dolar Amerika. Sumbangan itu sebagian dibelikan bahan-bahan makanan dan dikirimkan melalui walikota Nanking yang berperjalanan ke Berlin. Bantuan bahan makanan juga terus mengalir setiap bulan hingga Rabe wafat pada 5 Januari 1950 karena stroke.
Baca juga: Pertempuran Manila Berujung Pembantaian
Tambahkan komentar
Belum ada komentar