Kekejaman Tentara Jepang di Sulawesi
Kedatangan Jepang di Sulawesi menjadi mimpi buruk bagi rakyat. Banyak pemimpin pergerakan ditawan, diasingkan, hingga dihukum pancung.
Baru saja berhasil mengamankan kekuasaan dari tangan Belanda, rakyat Sulawesi harus menerima kenyataan bahwa tanah airnya kembali dikuasai imperialisme asing. Kali ini upaya penjajahan datang dari negara Asia Timur yakni Jepang. Sebagai kekuatan militer baru, dengan daya tempur terbesar di Asia, Jepang menebar teror yang amat menakutkan kepada rakyat Sulawesi.
Pasukan militer Jepang pertama kali menginjakkan kakinya di Sulawesi pada Januari 1942. Wilayah Minahasa, Sulawesi Utara, menjadi salah satu lokasi pendaratan paling awal tentara Jepang di pulau terbesar ke-4 di Indonesia tersebut. Mereka langsung menduduki tiga tempat utama, yakni pangkalan udara Kalawiran, pantai utara dan selatan Kota Manado, dan negeri Kema.
Diceritakan A. Sigarlaki, dkk dalam Sejarah Daerah Sulawesi Utara, perlawanan sempat dilakukan rakyat begitu Jepang tiba di Minahasa. Di bawah pimpinan A.B. Andu, J. E. Tatengkeng, dan tokoh lainnya, rakyat memberikan serangan-serangan ke kubu militer Jepang. Tetapi perlawanan itu dengan mudah ditumpas pasukan tempur Jepang yang persenjataannya lebih lengkap. Pusat kekuatan rakyat di Tomohon dan Tondano pun akhirnya dapat dikuasai.
“Kiranya di sinilah mulai ternyata bagaimana nasib malang dari para pemimpin-pemimpin yang tadinya telah merebut kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di beberapa tempat maupun orang-orang yang dianggap berbahaya bagi Jepang semuanya ditangkap dengan tuduhan mata-mata musuh,” tulis buku Republik Indonesia Propinsi Sulawesi yang ditulis dan diterbitkan oleh Kementerian Penerangan RI.
Jepang memulai invasinya di Sulawesi dengan menawan dan menghukum mati pemimpin-pemimpin rakyat yang dianggap mengancam pemerintahan mereka. Di Minahasa, A.B. Andu menjadi korban pembunuhan Jepang. Sementara di Gorontalo, Sulawesi Selatan, Nani Wartabone, Kusno Danupojo, dan pemimpin terkemuka lainnya ditangkap setelah melakukan perlawanan yang merepotkan militer Jepang.
Nasib serupa juga dialami A. Lagona, Jusuf Manoarfa, dan Salem Hambali di Luwuk, Sulawesi Tengah. Sebagai pimpinan pemberontakan, ketiganya ditawan, kemudian diasingkan ke Manado. Di Kerajaan Bungku dan Mori, sejumlah pemimpin terkemuka, seperti Abdullah Matjan dan Haji Hasan, mendapat nasib yang lebih menyedihkan dibanding pemimpin di daerah lain: disembelih oleh Jepang.
“Pendek kata semua pemimpin-pemimpin terkemuka maupun pemimpin-pemimpin pergerakan politik, semuanya menjadi korban penindasan militer Jepang. Bendera kebangsaan Merah-Putih yang tadinya telah dikibarkan sebagai hasil dari perebutan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda oleh bangsa Indonesia, dipaksakan diturunkan kembali oleh Jepang dan diganti dengan bendera Hinomaru,” tulis Kementerian Penerangan.
Pada pertengahan tahun 1942, setelah Belanda secara resmi menyerahkan kekuasaannya atas Hindia Belanda kepada Jepang, rakyat Sulawesi telah sepenuhnya hidup di bawah pendudukan militer Jepang. Aktivitas mereka diatur berdasarkan hukum dan peraturan yang dibuat pemerintahan Negeri Samurai. Hanya tersisa perlawanan-perlawanan kecil yang sebagian besar dapat cepat ditumpas.
Menurut Sigarlaki, dkk, mulanya pemerintahan Jepang diterima baik oleh rakyat. Propaganda Jepang yang mengatasnamakan “Saudara Tua”, berhasil menarik hati rakyat Sulawesi. Namun lambat laun perasaan itu berubah menjadi kebencian lantaran Jepang melakukan cara-cara kasar dalam menerapkan peraturan mereka. Bahkan tidak jarang setiap pelanggaran rakyat diganjar dengan hukuman yang melewati batas kemanusiaan.
Baca juga: Agar Sulawesi Tetap Indonesia
Keadaan masyarakat juga dibuat sedemikian rupa agar tidak menciptakan kegaduhan yang mengancam pemerintahan mereka. Para laki-laki dipekerjakan di sektor militer untuk kebutuhan perang, seperti membangun lapangan terbang, jembatan, jalan, dan menggali parit. Mereka juga harus membantu mengurusi produksi pangan di sektor pertanian-perkebunan untuk meningkatkan ekonomi pemerintah Jepang. Sementara para perempuan, sebagian besar dimasukkan ke rumah-rumah bordil untuk memuaskan nafsu para tentara Jepang.
“Keadaan ekonomi pada masa itu maju, tetapi kemajuan itu untuk kepentingan ekonomi Jepang. Rakyat disuruh bekerja keras untuk melipat gandakan produksi, tetapi bahan-bahan produksi tertentu seperti beras sebagian besar untuk gudang pangan Jepang,” terang Sigarlaki, dkk.
Kebijakan pangan Jepang itu mengakibatkan rakyat Sulawesi dilanda kelaparan hebat. Peraturan yang mereka buat, sebagaimana diceritakan J.P. Tooy, dkk dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Utara, amat memberatkan kebutuhan pangan rakyat. Setiap upaya untuk mendistribusi bahan makanan akan selalu dipersulit. Bahkan meski izin diperoleh, bahan makanan yang boleh dibawa sangat terbatas. Kala itu hampir tidak ada rakyat yang memiliki persediaan makanan yang banyak di rumahnya.
Baca juga: Andi Mappanyuki, Jago dari Sulawesi
Kondisi sosial di masyarakat juga tidak kalah menyedihkan. Menurut Sutrisno Kutoyo, dkk dalam Sejarah Daerah Sulawesi Tengah, selama masa pendudukan, status sosial rakyat Sulawesi seluruhnya sama di mata Jepang. Entah itu keluarga kerajaan, pejabat pemerintah, bangsawan, pedagang, dan budak, seluruhnya harus memberikan salam hormat, dengan menundukkan kepala bila bertemu orang-orang Jepang.
“Karena kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang terhadap rakyat mengakibatkan rasa hidup dalam keadaan tertekan, selalu dalam ketakutan. Dalam hati walaupun timbul rasa ingin memberontak tapi karena tidak berdaya, rasa itu tetap tertanam dalam hati tidak sampai dapat diwujudkan dalam tindakan,” tulis Kutoyo, dkk.
Memasuki pertengahan tahun 1944 hingga permulaan tahun 1945, tekanan yang diberikan Jepang terhadap rakyat Sulawesi kian besar, terutama di sektor produksi pertanian. Kebutuhan logistik perang yang membengkak akibat serangkaian kekalahan, membuat Jepang semakin bertindak semena-mena. Mereka memaksa rakyat bekerja tanpa henti dan bertindak lebih kejam.
Akan tetapi pada tahun-tahun itu juga perlawanan mulai timbul di tengah rakyat. Kekuatan militer Jepang yang mulai melemah dimanfaatkan rakyat untuk memberontak. Pemimpin-pemimpin rakyat mulai muncul ke permukaan untuk menggulingkan sisa-sisa kekuatan Jepang. Puncak perlawanan rakyat terhadap Jepang terjadi pada Agustus 1945, setelah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dibacakan di Jakarta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar