Jenderal Spoor dan Peristiwa Sulawesi Selatan
Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia itu tidak setuju dengan aksi-aksi brutal militer Belanda di Sulawesi Selatan namun tidak berupaya menghukum para pelakunya.
SEJARAWAN Anhar Gonggong masih ingat bagaimana Andi Bekkeng, mengisahkan proses kematian ayahnya, Andi Pananrangi. Bekkeng yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Pananrangi menjadi saksi bagaimana pada suatu hari di bulan Desember 1946, Pananrangi dijemput dari Penjara Pare-Pare oleh sekelompok serdadu Belanda.
“Paman saya itu menceritakan sepanjang jalan menuju tempat eksekusi, di dalam truk militer ayah saya disiksa,” ungkap lelaki kelahiran Pinrang, 14 Agustus 1943 tersebut
Andi Pananrangi, mantan Raja Alitta yang pro Republik Indonesia, kemudian ditembak mati oleh anak buah Kapten R.P.P. Westerling, Komandan Depot Pasukan Khusus (DST). Ikut gugur bersamanya, ratusan anggota keluarga Kerajaan Alitta lainnya termasuk dua kakak Anhar Gonggong yakni Andi Mandu dan Andi Isa.
Baca juga:
Antara Desember 1946-Februari 1947, nyaris seluruh wilayah di Sulawesi Selatan dijadikan neraka oleh militer Belanda. Menurut Remy Limpach dalam disertasi-nya De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia), itu dilakukan karena intensitas perlawanan terhadap pendudukan Belanda di wilayah itu semakin meningkat.
“Tindakan ekstrem yang dilakukan oleh pihak pejuang gerilyawan mengakibatkan sedikitnya 1.000 orang Indonesia (pro Belanda) menjadi korban,” ungkap Limpach.
Situasi tersebut menjadikan Komandan Markas Besar Timur Raya dan Borneo (HKGOB) Kolonel Hendrik J. de Vries dan Residen Sulawesi Selatan C.L. Cachet meminta pertimbangan kepada Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor. Sang Panglima Tertinggi lantas menjanjikan untuk mengirimkan pasukan dari 3-11-RI dan 123 prajurit Baret Hijau dari DST ke Sulawesi Selatan.
Pada 5 Desember 1946, unit Baret Hijau pimpinan Kapten Westerling dan Letnan Dua Jan Vermeulen tiba di Sulawesi Selatan. Sebagai catatan, unit DST itu secara hirarkis langsung berada di bawah Kepala Staf Tentara Belanda di Indonesia Mayor Jenderal D.C. Buurman van Vreeden dan ada dalam perlindungan Mayor Jenderal E. Engles, Direktur DCO (Direktorat Pusat Pelatihan). Di Sulawesi Selatan, mereka langsung bertanggungjawab kepada Kolonel De Vries, bukan komandan lokal seperti Letnan Kolonel H.J. Veenendaal atau Mayor Jan Stufkens.
Wajar saja jika kemudian Westerling menjalankan perintah “penertiban” dengan caranya sendiri. Saat beraksi, dia memerintahkan pasukannya untuk mengembangkan metode ciptaannya itu yang lebih mirip aksi pembunuhan massal. Artinya dia telah mendapatkan wewenang untuk membunuh (licence to kill) tanpa harus memperhatikan proses-nya.
“Mayor Jenderal Engles yang paham benar pendapat dan metode saya memerintahkan kepada saya untuk pergi ke sana (Sulawesi Selatan) untuk mengembalikan ketertiban. Pada waktu itu, saya tahu apa yang harus saya lakukan,” ujar Westerling seperti dikutip Limpach.
Maka berjatuhanlah korban aksi pembersihan yang dilakukan Si Turki (julukan untuk Westerling) dan pasukannya. Di setiap kota yang didatangi DST (termasuk Pinrang dan Pare-Pare) selalu berakhir dengan pembunuhan-pembunuhan brutal. Menurut sejarawan J.A. de Moor dalam Westerlings Oorlog, metode Westerling nyaris selalu sama: mengepung dan mengunci area operasi, menggiring penduduk ke satu titik pusat, menggeledah, mengeksekusi (lewat pengadilan kilat yang penuntut, hakim dan algojonya adalah Westerling sendiri) dan terakhir membumihanguskan kampung-kampung yang dianggap sarang ekstremis.
Kendati pihak RI mengklaim telah jatuh korban nyawa sejumlah 40.000 orang, namun menurut Limpach, angka yang paling rasional adalah lebih dari 3.500 orang (termasuk 500 orang yang tewas dibunuh oleh milisi pro federal:Barisan Penjaga Kampung). Soal angka 3.500 itu juga diyakini oleh sejarawan militer asal Sulawesi Selatan Letnan Kolonel Natzir Said.
“Jumlah 40.000 itu fiktif dan dihembuskan untuk menyemangati pasukan sendiri dan mengundang simpati internasional,” ujar Natzir dalam biografi Westerling, De Eenling.
Jenderal Spoor sendiri bersikap mendua terhadap kekejaman yang dilakukan oleh anak buahnya tersebut. Ketika Peristiwa Sulawesi Selatan mulai bocor ke forum internasional, maka pada 17 Maret 1947, Spoor mengakui terjadinya peristiwa itu kepada Gubernur Letnan Jenderal H.J. van Mook. Namun dalam surat yang sama, Spoor menyebut banyak juga masyarakat Sulawesi Selatan yang berterimakasih atas “tindakan tegas” anak buahnya itu.
“(Mereka) memberi pujian atas tindakan militer yang dilakukan oleh pasukan komando,” ujarnya.
Baca juga:
Februari 1947, DST ditarik kembali ke Jawa. Sebuah komisi penyelidikan yang dibentuk Spoor kemudian mengarahkan “tuduhan penyalahgunaan kekuasaan” kepada 3 perwira KNIL: Rijborz, Stufkens dan Vermeulen. Namun, dengan memperhatikan kondisi mental para tentara, Jenderal Spoor menganggap adalah “tidak bijaksana jika komisi itu menggali secara detail segala pelaksanaan operasi itu lebih dalam”.
Secara hukum, aktor utama Peristiwa Sulawesi Selatan yakni Kapten Westerling nyaris tak pernah tersentuh. Alih-alih mendapat sanksi, dengan percaya diri dia tetap melanjutkan metode maut-nya di Jawa. Hingga dia dibebastugaskan pada November 1948. Bisa jadi itu diakibatkan laporan seoran perwira KL yang terlanjur muak oleh tindakan brutalnya terhadap orang-orang Ciamis dan Tasikmalaya pada April 1948.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar