Kisah Matematikawan yang Dipandang Sebelah Mata
Ada keindahan di balik rumitnya rumus dan teori matematika. Biopik ini mencoba mempermudah untuk memahaminya.
DI Kuil Dewi Namagiri, Madras, Tamil Nadu, India, Srinivasa Ramanujan (diperankan Dev Patel) menuliskan teori-teori matematika yang ada di kepalanya ke lantai kuil dengan sebatang kapur pada suatu hari di tahun 1914. Sesaat kemudian, ia memandangi patung Dewi Namagiri di hadapannya dengan sebuah harapan besar: mendapatkan pekerjaan di Madras berbekal kemampuannya membayangkan teori-teori matematika di dalam otaknya.
Hari demi hari berlalu. Ramanujan berulangkali mendapatkan penolakan karena tak punya satu pun ijazah pendidikan formal.
Namun tiada masa sulit yang tak berakhir. Suatu hari, Narayana Iyer (Dhiritiman Chatterjee), deputi pembukuan perusahaan keretaapi, berkenan menerima Ramanujan. Narayana pula yang mengenalkan Ramanujan sebagai juru tulis baru kepada atasannya, Sir Francis Spring (Stephen Fry). Kendati acap memandang orang India sebelah mata, toh Sir Francis berkenan menerima Ramanujan.
Perlahan, Sir Francis terkesan dengan kemampuan Ramanujan soal matematika. Bersama Narayana, Sir Francis aktif menyemangati Ramanujan untuk menulis surat ke Trinity College di Cambridge, Inggris agar kemampuan Ramanujan tak mentok.
Korespondensi Ramanujan dengan Profesor Godfrey Harold Hardy (Jeremy Irons) akhirnya berbuah. Hardy mengaku terkesan dengan teori-teori yang ditulis Ramanujan, terutama tentang “infinite series” (deret tak terbatas). Undangan untuk datang ke kampus almamater ilmuwan Sir Isaac Newton itu pun dilayangkan kepada Ramanujan.
Namun, keinginan Ramanujan untuk berlayar ke Inggris terhalang tradisi. Selain berat hati harus meninggalkan istrinya, Janaki (Devika Bhise), Ramanujan diperingatkan sang ibu bahwa orang dari kasta Brahmana seperti dirinya dilarang menyeberangi lautan. Kendati begitu, tekad Ramanujan kadung bulat. Dia memutuskan berlayar dan sang ibu terpaksa melepasnya meski itu melanggar tradisi.
Adegan drama sarat konflik batin itu disajikan sineas Matthew Brown sebagai pembuka biopik berjudul The Man Who Knew Infinity. Film yang berdasarkan kisah hidup matematikawan Srinivasa Ramanujan ini diadaptasi dari biografi bertajuk sama, The Man Who Knew Infinity: A Life of the Genius Ramanujan, karya Robert Kanigel.
Baca juga: Darah Aktivis Kamala Harris
Adegan lalu berganti. Ramanujan tertegun tanpa kata melihat kemegahan Trinity College sesaat sampai di depan kampus legendaris itu. Ia lantas disapa matematikawan senior, John Edensor Littlewood (Toby Jones), dan diajak masuk untuk diperkenalkan isi kampus, termasuk pohon apel yang jadi tempat Newton mendapat inspirasi tentang hukum gravitasi.
Tiba di sebuah aula besar tempat para pakar matematika berhimpun, Ramanujan dipandang sebelah mata dan hina oleh mayoritas orang di sana karena tak punya pendidikan formal. Namun tidak demikian dengan sapaan yang didapatnya dari sosok yang paling ia nantikan, Profesor Hardy. Hardy menyapanya lebih dulu. Ramanujan kemudian jadi mitra dalam riset-riset teori matematika lain di bawah bimbingan Hardy.
Jalan Ramanujan jelas tak mudah. Selain harus mengalami diskriminasi rasial di antara mahasiswa kulit putih, Ramanujan berangsur mulai terganggu kesehatannya sebagai imbas dari kesulitannya beradaptasi dengan cuaca dingin dan makanan di Inggris. Bagaimana Ramanujan melewati semua tantangan itu? Akan lebih seru jika Anda saksikan sendiri The Man Who Knew Infinity di aplikasi daring Mola TV.
Dramatisasi Memahami Matematika
Hampir sepanjang durasinya, The Man Who Knew Infinity diiringi music scoring yang menyentuh hati garapan komposer Coby Brown. Nuansanya bervariasi, mulai dari irama khas India Selatan di adegan yang menggambarkan kehidupan Ramanujan di Madras hingga klasik khas Eropa ketika adegan Ramanujan di Inggris.
Tone film yang muram cukup bisa membawa penonton merasakan suasana Inggris di abad ke-20. Brown juga tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memperlihatkan berbagai sudut Trinity College, mengingat The Man Who Knew Infinity jadi film pertama yang diizinkan melakukan syuting di kampus legendaris itu.
Namun, beberapa kritikus mempersoalkan plot film yang dianggap terlalu konvensional. Ceritanya, tentang seorang yang berhasil melewati berbagai tantangan dengan awalan diremehkan, dianggap terlalu klasik.
Baca juga: Siapa Ayah dan Ibu Kamala Harris?
Di sisi lain, beberapa kritikus justru mengapresiasi The Man Who Knew Infinity sebagai film drama bertema matematika yang lebih baik bila dibandingkan film seperti Good Will Hunting (1997). Kritikus Allan Hunter di kolomnya di Screen Daily, 15 September 2015, menyimpulkan The Man Who Knew Infinity bisa membuat penontonnya memahami matematika dengan lebih baik jika dibandingkan Good Will Hunting.
“Matematika memainkan peran kunci dalam ceritanya, namun dengan cara yang sepenuhnya bisa dicerna dan membuat pentonton bisa memahami kemajuan yang dibuat Ramanujan dan mengerti kenapa warisannya masih sangat penting setelah hampir satu abad pasca-kematiannya (26 April 1920),” tulis Hunter.
Brown memang sengaja mengemas filmnya sedemikian rupa agar penonton yang mayoritas awam matematika bisa ikut menikmati kisah Ramanujan dengan menyertakan berbagai kiasan yang lebih sederhana. Tentu akurasi tentang sejumlah teori maupun rumus matematika tetap disertainya. Ini dimungkinkan berkat bantuan matematikawan Ken Ono dan Manjul Bhargava sebagai konsultan dalam produksinya.
Salah satu kiasannya ada di adegan Janaki melihat buku catatan Ramanujan yang disesaki teori-teori matematika. Ramanujan kemudian membantu menjelaskan mengapa matematika itu penting dalam kehidupan kepada istrinya yang tak hanya buta matematika namun juga buta huruf.
“(Matematika) seperti lukisan. Hanya bayangkan saja tanpa warna yang tak bisa Kau lihat. Bayangkan pasir itu. Jika dilihat lebih dekat kita bisa melihat setiap butir, setiap partikelnya. Pahamilah bahwa ada banyak pola dalam segala hal. Seperti warna cahaya, refleksi di (permukaan) air. Dalam matematika, pola-pola itu terungkap dengan sendirinya dengan bentuk yang paling luar biasa. Bentuk yang indah,” terang Ramanujan.
Selain menyisipkan beberapa tradisi-budaya Tamil, Brown menonjolkan penggambaran sosok Ramanujan yang relijius. Supaya lebih ringkas dan padat, beberapa penggambarannya ia racik dari biografinya walau beberapa di antaranya tak seakurat kehidupan aslinya. Ini antara lain terdapat di adegan yang menggambarkan ketidaksukaan sang ibu pada istri Ramanujan. Janaki seolah istri dari hasil pilihan Ramanujan sendiri. Padahal faktanya di berbagai literatur, termasuk biografi yang dituliskan Kanigel, Janaki sudah dipilih untuk dijodohkan dengan Ramanujan oleh ibunda sejak Janaki masih berusia 13 tahun.
Ketidakakuratan fakta juga terjadi dalam adegan di mana sang ibu merasa terpaksa melepas Ramanujan merantau ke Inggris. Padahal faktanya, sang ibu hanya menentang keinginan Ramanujan di awal. Ia ikhlas ketika mengantar sang putra. Menurut Eric Harold Neville, matematikawan cum kolega Ramanujan, dalam jurnal Nature edisi 149 terbitan 14 Maret 1942, sang ibu mengizinkan Ramanujan merantau setelah diimpikan Dewi Namagiri.
“Ramanujan tak sampai harus beralih keyakinan. Penentangan orangtuanya tak lagi dilakukan setelah ibunya bermimpi bertemu Dewi Namagiri yang meminta sang ibu tak lagi berdiri di antara sang putra dengan tujuan hidup yang hendak dicapai putranya,” tulis Neville.
Brown juga terpaksa meniadakan beberapa figur penting dalam kehidupan Ramanujan, seperti tokoh Indian Mathematical Society V. Ramaswamy Aiyer, matematikawan University College London Micaiah John Muller Hill, atau pegawai Distrik Nellore Ramachandra Rao. Brown berdalih peniadaan itu dilakukannya, setelah membaca biografi karya Kanigel, agar lebih padat dan pas.
“Kami memang harus menghilangkan beberapa karakter, menyingkat tempat dan masa dan harus membuat beberapa perubahan. Tapi secara keseluruhan, saya merasa sangat bangga bahwa kami memberikan penghormatan dengan cerita ini,” ungkap Brown, dikutip The Hindu, 23 November 2015.
Yang pasti, Brown tak ingin menambah bumbu-bumbu drama yang sejatinya tak pernah ada dalam kisah hidup Ramanujan.
“Dalam membuat film tentang matematikawan India, Anda juga harus berurusan dengan matematika murni yang tak seksi bagi para penyokong dana (film). Saya pernah diminta menambah kisah tentang dia jatuh cinta dengan perawat kulit putih di Trinity. Saya tak bisa melakukannya. Itu bukan cerita aslinya. Saya mesti menghormati sosoknya sebagaimana kisah hidupnya,” tandasnya.
Data Film:
Judul: The Man Who Knew Infinity | Sutradara: Matthew Brown | Produser: Edward R. Pressman, Jim Young, Joe Thomas | Pemain: Dev Patel, Jeremy Irons, Toby Jones, Dhiritman Chatterjee, Stephen Fry, Devika Bhise, Jeremy Northam, Arundhati Nag | Produksi: Pressman Film, Xeitgeist Entertainment Group, Cayenne Pepper Productions | Distributor: Warner Bros., Mister Smith Entertainment | Genre: drama biopik | Durasi: 108 menit | Rilis: 8 April 2016, Mola TV
Tambahkan komentar
Belum ada komentar