Gaji Letnan Pribumi Setengah Letnan Belanda
Sekolah calon perwira di Jatinegara didirikan KNIL untuk mencetak perwira, termasuk yang pribumi. Gaji mereka setengah dari gaji perwira Belanda.
PADA awal abad ke-20, wacana mempekerjakan orang pribumi sebagai perwira tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) kembali muncul. Ini bukan hal baru. Setengah abad sebelumnya, faktanya sudah ada perwira-perwira pribumi di dalam KNIL.
Mengutip surat pembaca, Algemeen Handelsblad tanggal 20 Desember 1901 memberitakan bahwa para letnan itu dulu dipilih dari para sersan terbaik. Adapun sersan terbaik ialah para sersan yang telah terbukti keberanian, kebijakan, dan kesetiaannya di lapangan. Mereka jenis personel yang dapat diandalkan sepenuhnya. Seperti Letnan Joseph Rakarias.
“Mencari dalam stamboek (buku anggota tentara), sekitar 1826 perwira pribumi direkrut dari korps bintara,” catat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische Officieren uit het KNIL 1900-1950. “Pada 1827 ada 30 orang yang masuk golongan ini.”
Jumlah itu bertambah setelah 1830. Awalnya, KNIL punya perwira sekitar 900 orang. Kebanyakan perwira itu adalah orang Belanda atau bangsa-bangsa Eropa yang lain. Setelah Perang Aceh meletus, kebutuhan perwira tentu bertambah.
Sedari 1833 hingga 1834, terjadi perpindahan perwira dari Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo –yang merupakan bekas pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830)– ke militer Belanda. Menurut Bouman, dari barisan itu KNIL mendapat 25 perwira baru. Seturut aturan bahwa dalam sebuah kompi harus ada seorang perwira pribumi, maka dalam batalyon ada empat perwira pribumi.
Dalam praktiknya, mereka sangat berguna. Kedekatan mereka dengan pasukan pribumi karena penguasaan bahasa Jawa atau Melayu, dengan karakter, adat istiadat, dan kebiasaan prajurit pribumi tidaklah diragukan. Para letnan pribumi itu besar jasanya di Sumatra Barat dan Sumatra Utara.
Meski berjasa, para letnan pribumi itu seolah tak dianggap. Lantaran mereka umumnya bukan produk sekolahan, kemampuan mereka dalam membaca, menulis, dan berhitung pun sangat terbatas sehingga mereka tak begitu cocok dalam pekerjaan administratif. Kekurangan dalam bidang administrasi itu lalu dijadikan alasan untuk membayar para letnan pribumi dengan hanya bayaran setengah dari yang dibayarkan kepada letnan Eropa. Tak peduli bahaya dan masalah yang meraka dihadapi di lapangan sama saja.
Dalam menghadapi ketidakadilan itu, Joseph Rakarias disebut Algemeens Handelsblad, “kadang-kadang membayar seorang debitur hanya setengah dari tagihannya, dan menyerahkan sisanya kepada pemerintah.”
Belum diketahui apakah jumlah gaji yang dikeluarkan untuk membayar perwira pribumi menguras kas pemerintah. Yang pasti, menurut Bouman, sempat muncul keinginan untuk menghilangkan orang pribumi dari jajaran perwira KNIL yang sebetulnya tak banyak.
“Jumlah mereka tetap terbatas, sekitar 80 orang secara keseluruhan. Persentase tertinggi dicapai para tahun 1841-1842, 5 persen dari total jumlah perwira (KNIL),” catat Bouman.
Namun rencana penghilangan itu mendapat penentangan. Salah satunya dari Fransen van de Putte. Maka eksistensi perwira pribumi tetap terjaga di KNIL.
Pada 1907, usaha mencetak perwira pribumi diadakan di Meester Cornelis (kini Jatinegara) lewat lembaga yang disebut Militaire School. Sebelumnya, upaya serupa diadakan Batalyon Infanteri ke-7 di Waltevreden dengan membuat semacam sekolah perwira.
Dalam pemerintahan yang amat kental rasialismenya, Militaire School hanya menerima orang-orang pribumi bergelar raden. Maka itulah Mas Soepardja, anak seorang Dokter Djawa, tak diterima dalam sekolah militer itu karena hanya bergelar “Mas” dan bukan “Raden”. Senasib dengannya, banyak Orang Ambon ditolak karena sulit menemukan calon siswa yang setara raden. Di Ambon, raja setara kepala kampung dan sulit menemukan bangsawan yang lebih tinggi darinya. Namun kendati tak ada gelar kebangsawanan macam “Raden” di Minahasa, realitanya anak seorang kepala distrik, yang disebut mayor, ada yang diterima.
Golongan Raden bisa mengakses sekolah dasar berbahasa Belanda tujuh tahun yang disebut Europe Lager School (ELS). Dengan privilese ini, mereka dianggap bisa menyelesaikan pekerjaan administrasi seorang perwira yang sebelumnya menjadi masalah.
Militaire School itu lumayan berhasil mencetak perwira pribumi. Dari 1907 hingga 1914, sekolah tersebut mencetak 11 raden dan 2 anak mayor sebagai letnan dua. Di antaranya adalah Oerip Soemohardjo, yang kelak pendiri TNI. Sementara, di akhir abad ke-19 itu kebanyakan orang pribumi di KNIL berpangkat paling tinggi sersan. Menjadi perwira adalah hal langka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar