Masuk Daftar
My Getplus

Sampai Kapan Jakarta

Dari waktu ke waktu wacana memindahkan ibukota negara dibahas, bahkan pernah pula direncanakan.

Oleh: Budi Setiyono | 17 Apr 2010

BANJIR. Macet. Padat penduduk. Polutif… Itulah Jakarta. Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu menempatkan Jakarta sebagai kota terjorok ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Alamak!

Sejak lama muncul wacana untuk memindahkan ibukota negara karena Jakarta dianggap sudah tak layak lagi. Negara lain sudah memindahkan ibukota negara dan sukses: Brazil, Jepang, Amerika Serikat, Australia, Jerman, bahkan negara tetangga Malaysia sudah mulai mempersiapkan diri.

Pada masa Orde Baru, tersiar rumor Presiden Soeharto berniat memindahkan ibukota negara ke Jonggol, Jawa Barat. Gara-garanya niat Bambang Trihatmodjo bersama rekan bisnisnya, Swie Teng alias Haryadi Kumala, membuat proyek kota terpadu di atas lahan seluas 30.000 hektar di kawasan Jonggol. Tapi Ginandjar Kartasasmita, ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional kala itu, akhirnya menampik adanya rencana pemindahan ibukota negara.

Advertising
Advertising

Ketika era reformasi, wacana itu mencuat lagi. Sejumlah nama kota disebut-sebut sebagai calon alternatif seperti Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang, Kalimantan Tengah, Lampung, Subang, dan Jayapura. Akhir Februari lalu, sejumlah media memuat pernyataan Sekretaris Utama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Syahrial Loetan tentang potensi Palangkaraya sebagai ibukota negara, meski masih perlu kajian mendalam. Palangkaraya, Kalimantan Tengah, memang pernah jadi ibukota impian Sukarno, bahkan ia sendiri yang merancang desain kotanya.

Ya, siapapun bisa memunculkan nama. Tapi hingga saat ini belum ada pernyataan resmi dari pemerintah soal rencana memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke tempat lain. Ada banyak aspek yang mesti dipertimbangkan.

Gagasan memindahkan ibukota negara ternyata pernah muncul pada awal 1950. Sejumlah media menyoroti rencana itu. Ini bermula dari pembentukan Panitya Agung Ibukota Negara pada 1947, di mana presiden ikut masuk di dalamnya. Tugas Panitya ini menyelidiki dan merencanakan penempatan ibukota negara yang sewajarnya. Belum dipastikan kota mana yang memenuhi syarat, tapi ada sejumlah kota yang disebut-sebut: Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, dan Malang.

Tampaknya, berdasarkan pemberitaan media saat itu, pengumpulan bahan sudah dilakukan tapi Panitya masih ragu memilih secara kongkret. Di sisi lain daerah-daerah yang dicalonkan sudah mengemukakan keistimewaan masing-masing wilayah.  Salah satunya Malang.

Sebuah situsweb yang menampilkan dokumentasi tentang kota Malang, http://malang.endonesa.net, menguraikan segolongan penduduk Malang merasa berkewajiban membantu meringankan beban pemerintah pusat dengan membentuk sebuah Panitya Pembantu dengan ketua R. Soeripto. Majalah Pantjawarna, April 1954, juga mengupas kelayakan Malang sebagai ibukota negara. Kesimpulannya: “Menurut penyelidikan, Malang-lah sebenarnya berhak mendapat prioritas untuk dijadikan ibukota negara Indonesia.”

Tampaknya rencana itu menguap begitu saja. Situasi politik dan ekonomi di dalam negeri tak memungkinkan untuk mewujudkan rencana itu. Tapi bagi Presiden Sukarno, keinginan punya ibukota yang baru terus menggelitiknya. Pilihannya jatuh pada sebuah kota rancangannya, yang kemudian dinamai Palangkaraya, pada 1957. Tapi mimpi Sukarno ini pun kandas.

Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menetapkan Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota Negara melalui Penetapan Presiden No. 2 tahun 1961. Dalam bagian pertimbangan, disebutkan antara lain bahwa sebagai ibukota negara, Daerah Jakarta Raya perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota Internasional dalam waktu sesingkat-singkatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, Jakarta Raya mendapat kedudukan khusus sebagai daerah yang dikuasai langsung oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi.

Pada 22 Juni 1964, Presiden Sukarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya sebagai ibukota negara Republik Indonesia, dengan nama Jakarta. Pengumuman Sukarno tampaknya memicu perdebatan sehingga pemerintah menerbitkan UU No 10 tahun 1964 yang menyatakan (bukan menetapkan) Jakarta tetap menjadi ibukota negara. UU ini berlaku surut sampai tanggal 22 Juni 1964, dalam artian menguatkan pengumuman Sukarno. Dengan UU ini, seperti disebutkan dalam bagian penjelasan, keragu-raguan yang pernah timbul, terkait keinginan memindahkan ibukota negara ke tempat lain, bisa dihilangkan.

Jakarta sebagai kota pencetus proklamasi kemerdekaan, pusat penggerak segala aktivitas revolusi dan penyebar ideologi Pancasila, serta sudah menjadi ibukota negara sejak kemerdekaan, menjadi pertimbangan utamanya.

Tentu saja penetapan Jakarta sebagai ibukota negara tidaklah berlaku selamanya. Penjelasan UU sudah menyebutkan: tidak menutup kemungkinan meninjau kembali sesuai perkembangan di kemudian hari. Sekarang kah saatnya?

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Jepang Tertipu Mata-mata Palsu Radius Prawiro Hapuskan SIAP yang Menghambat Pembangunan Lebih Dekat Mengenal Batik dari Kota Batik (Bagian I) Peran Radius Prawiro dalam Reformasi Pajak Presiden Korea Selatan Park Chung Hee Ditembak Kepala Intelnya Sendiri Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Warisan Budaya Terkini Diresmikan Menteri Kebudayaan Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Radius Prawiro Mengampu Ekonomi Masyarakat Desa Tuan Tanah Menteng Diadili