PRJ telah merentang waktu selama 50 tahun. Digelar kali pertama pada Juni 1968, pergelaran ini diberi nama Djakarta Fair. Gagasannya berasal dari Ali Sadikin, gubernur Jakarta yang akrab disapa Bang Ali. Dia berkasad menghidupkan kembali pasar malam dan pameran yang pernah digelar di Jakarta sebelumnya.
“Saya ingat, dulu semasa kecil ada ‘Pasar Gambir’ di Jakarta (waktu itu masih Batavia sebutannya)… bahwa ‘Pasar Gambir’ itu merupakan keramaian yang menyenangkan,” kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta. Tapi gelaran itu berhenti pada masa Jepang dan tak pernah diadakan lagi setelahnya.
Kemudian pemerintah kotapradja Djakarta menggelar acara serupa bertajuk Pekan Raya Nasional I pada Agustus 1953. Sementara pada Oktober 1953, pemerintah Indonesia mengadakan Pekan Raya Internasional. Dua gelaran itu sejenis. Punya tujuan sebagai hiburan rakyat dan lahan bisnis. Hanya pesertanya saja yang berbeda. Satu khusus untuk pengusaha nasional, satunya lagi untuk publik internasional.
Keduanya hanya bertahan dua tahun. Tak ada lagi pekan raya di Jakarta, baik berskala nasional maupun internasional. Bang Ali berusaha mendobrak kejumudan itu. Setelah diangkat sebagai gubernur Jakarta pada 1966, dia berusaha menarik investasi ke Jakarta.
“Sadikin dan pemerintah pusat bekerja keras mempromosikan keuntungan tenaga kerja murah dan layanan pendukung di Jakarta,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun.
Salah satu bentuk promosi itu adalah pekan raya. Tapi dia tak mau pekan raya itu bernasib seperti gelaran sebelumnya. Dia ingin pekan raya itu permanen, terorganisasi, dan terarah. “Saya konstatir pekan-pekan raya yang diadakan di dalam negeri sendiri maupun partisipasi Indonesia di luar negeri masih kurang terorganisir dan terarah,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya.
Lebih dari itu, Bang Ali melihat rakyat kurang hiburan. Tahun-tahun pertelingkahan politik belum lama usai. Kini saatnya rakyat dihibur. Maka dia mencanangkan pekan raya sebagai “usaha pemerintah daerah untuk menambah dan mencukupi tempat-tempat hiburan dan rekreasi yang sehat bagi warga kota.”
Panitia pun dibentuk. Mereka hanya punya waktu empat bulan untuk mempersiapkan pekan raya itu. Tapi mereka tetap berhasil menggelarnya pada 15 Juni 1968, menjelang HUT Djakarta ke-441. Berlokasi di lapangan Monas, pekan raya itu berlangsung selama sebulan. Rakyat bisa menikmati aneka suguhan hiburan seperti bioskop, panggung joget untuk tua-muda, dan panggung kesenian daerah.
Panitia semula menetapkan harga karcis masuk sebesar Rp 50 untuk tiap pengunjung. “Gubernur Ali Sadikin protes. Diturunkan menjadi Rp 25 buat orang dewasa,” tulis Djaja, 5 Juni 1968. Anak sekolah beroleh potongan. Mereka cukup membayar Rp 10. Harga ini dianggap bersesuaian dengan keuangan rakyat. “Perasaan perikemanusiaan menghendaki adanya hiburan bagi mereka ini,” kata Ali Sadikin dalam “Guest Editorial” di Djaja, 22 Juni 1968.
Tiap tahun gelaran itu disesaki warga. Wahana hiburannya bertambah. Laju transaksi bisnisnya kian menggiurkan. Alhasil harga tiket dan sewa stan terus naik.
Baca juga:
Malam Muda-Mudi Jakarta
Kenangan yang Tertinggal di Tanamur
Meledakkan Sejarah Petasan
Pesta Petasan Memakan Korban