Masuk Daftar
My Getplus

Kisah Soemarno Dijuluki Gubernur Sampah

Gubernur DKI Jakarta yang paling sering bergelut dengan sampah. Berbagai cara dilakukan untuk mengurangi produksi sampah berlebih.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 09 Jul 2020
Soemarno Sosroatmodjo (bersongkok hitam) sedang menerangkan program kerjanya. (Repro buku Karya Jaya Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966)

Diet kantong plastik sekali pakai mulai berlaku per 1 Juli 2020 di Jakarta. Tak boleh lagi ada kantong plastik untuk belanjaan di pertokoan, swalayan, mal, dan pasar rakyat Jakarta. Penerapan aturan ini untuk menekan produksi jumlah sampah dan mencegah degradasi lingkungan hidup di Jakarta.

Masalah produksi sampah berlebih pernah membekap Jakarta pada 1960-an. Soemarno Sosroatmodjo, Gubernur DKI Jakarta 1960–1964 dan 1965–1966, berusaha keras menekan produksi sampah dengan berbagai cara. Dia paling alergi lihat onggokan sampah. Saking getolnya bergelut dengan sampah, dia mendapat julukan “Gubernur Sampah”.

“Setiap pejabat dalam lingkungan DCI (Daerah Chusus Ibukota, red.) mengetahui benar-benar bahwa Pak Marno yang menyebutkan dirinya ‘Gubernur Sampah’ karena ingin menyelesaikan soal sampah di Jakarta, amat memperhatikan soal kebersihan,” ungkap Djaja, 15 April 1964.

Advertising
Advertising

Soemarno melihat masalah produksi sampah berlebih di Jakarta bukan berasal dari kekurangan alat-alat pengangkut sampah. Dia lebih percaya bahwa masalah itu bersumber dari cara pandang dan kebiasaan warga terhadap sampah. “Mereka harus mengatur diri sendiri,” kata Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.

Baca juga: Kelola Sampah untuk Cegah Musnah

Kaprah pada waktu itu warga membuang sampah sesukanya saja ke sembarang tempat: got-got, kali, dan pinggir jalan. “Tidak saja daerah perkampungan yang menampakkan kekotoran, tetapi daerah yang terkenal sebagai daerah elite,” ujar Soemarno dalam Djaja, 14 Agustus 1965.

Sikap ugal-ugalan terhadap sampah merusak keindahan, kesehatan, dan kebersihan kota. Pelosok kota menjadi tempat sampah. Warga mengira sampah tak akan menimbulkan petaka pada kemudian hari. Tapi mereka salah. Got-got tersumbat sampah. Banjir pun datang bersama wabah penyakit.

Tong Sampah dalam Rumah

Gara-gara kebiasaan warga memperlakukan sampah secara serampangan, Soemarno jadi resah. Tapi dia tak mau terburu-buru menerapkan pendekatan kekuasaan bagi pembuang sampah sembarangan. Dia ingin mendidik warga kota agar kesadaran tentang pengelolaan sampah, keindahan, dan kebersihan kota tumbuh secara alamiah dari diri mereka sendiri.

“Di mana saja beliau bicara soal kebersihan, unsur pendidikan inilah yang paling diutamakan,” catat Djaja.

Soemarno menargetkan misi pendidikan sampahnya ke kelompok terkecil masyarakat: rumah tangga. Menurut Soemarno, tiap rumah tangga bertanggung jawab mengelola sampahnya masing-masing. Pengelolaan sampah dari lingkungan rumah tangga akan membantu warga berperilaku serupa ketika masuk dalam lingkup kehidupan kota yang lebih luas.

Baca juga: Cara Soemarno Menangani Banjir di Jakarta

Soemarno mengibaratkan kota serupa rumah tangga. Ada bapak, ibu, anak-anak, dan asisten rumah tangga. “Yang mengatur kebersihan dan kerapian rumah ialah orang tua,” kata Soemarno.

Soemarno meminta orang tua agar memberi teladan kepada anak-anak dalam mengatur kebersihan rumah. Antara lain dengan meletakkan sampah sesuai tempatnya. Karena itu, dia menganjurkan untuk mengubah peletakan tempat sampah rumah tangga di luar rumah menjadi di dalam lingkungan rumah.

“Para pemilik rumah harus bertanggung jawab terhadap kebersihan rumah dan halaman sendiri, sedangkan pembuangan sampah mereka dapat mengaturnya bersama-sama dalam lingkungan RT/RK (RukunTetangga/Rukun Kampung, red.),” ungkap Soemarno.

Baca juga: Sukarno dan Gerakan Hidup Bersih

Orang tua dalam lingkup kota paralel dengan pemerintah. Sedangkan anak-anak ialah warga kota. Asisten rumah tangga serupa dengan para pekerja pemerintah. Semua harus bekerja sama untuk menghadirkan lingkungan bersih tanpa sampah.

Dari tamsil rumah tangga, Soemarno berkesimpulan, “Semua kota yang terlihat bersih adalah hasil kerja sama yang harmonis antara pihak Kotapradja dan warga kotanya.”

Sebagai wujud praktik pertama gagasannya, Soemarno mengubah jam kerja petugas kebersihan menjadi lebih pagi. Tujuannya agar sampah-sampah bisa diangkut sebelum warga kota berduyun-duyun memenuhi jalan. Jalanan bersih sangat menyenangkan bagi siapa pun.  

“Tetapi keuntungan terbesar dengan cara kerja tersebut didapat oleh Pemerintah DCI sendiri, karena dengan penampilan Jakarta yang bersih pada setiap pagi hari rakyat telah diberi contoh yang baik dalam hal kebersihan,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945–1966.

Menolak Uang Kebersihan

Selain jalanan, Soemarno juga menyoroti keadaan pasar dan pertokoan. Produksi sampah di sini sangat banyak tiap harinya. Banyak pemilik toko dan kios berupaya membayar uang kebersihan kepada pemerintah daerah.

“Tapi saya tolak,” kata Soemarno. Sebab, katanya, jika diterima, itu sama saja tidak merangsang orang menumbuhkan cara pandang dan perilaku baru terhadap sampah.

Soemarno bilang kepada pemilik toko dan kios bahwa uang kebersihan sebaiknya dikelola sendiri di kalangan mereka. “Buatlah sendiri rencana bagaimana mempertahankan kebersihan sehari penuh. Buatlah model bak sampah yang manis bentuknya dan mudah dikosongkan, dan ada tutupnya,” terang Soemarno.

Baca juga: Pemulung Sampah dalam Sejarah

Soemarno juga mengatakan jika toko dan pasar bersih, pengunjung biasanya betah datang dan berlama-lama. Tapi tak semua pemilik toko dan kios menyadari kebersihan sebagai salah satu penglaris. Di Pasar Senen, contohnya, sampah masih terlihat di pelataran toko. Padahal sudah ada tempat sampah di sejumlah sudut.

Soemarno menegur para pemilik toko dan kios lantaran membiarkan sampah berceceran di pelataran. “Pasar ini disewa dari gubernur atas nama rakyat. Kalau tidak mau memelihara dan membersihkannya, jangan jualan di sini,” kata Soemarno dalam Djaja, 15 April 1964.

Dengan segala pendekatannya itu, Soemarno masih menemukan sampah teronggok di banyak sudut. Biasanya dia akan menyuruh petugas kebersihan untuk segera membakar sampah-sampah itu. Cara ini dianggap mangkus. Apalagi waktu itu pemahaman tentang polusi akibat pembakaran sampah belum diteliti secara luas.

Baca juga: Awal Mula Barang Plastik di Indonesia

Pembakaran sampah juga belum mampu mengurangi produksi sampah berlebih. Akhirnya Soemarno mengeluarkan jurus terakhirnya. “Kurangilah penggunaan bungkus barang dari daun atau kertas yang berlebih-lebihan,” pinta Soemarno kepada warga. Bungkus barang atau makanan dapat digunakan berulang-ulang untuk menekan produksi sampah.

Soemarno mengaku selama menjabat sebagai gubernur dirinya sudah melakukan berbagai cara untuk mengurangi sampah dan menjaga kebersihan lingkungan kota. Tapi tanpa kerja bareng warga, upaya itu tak pernah sempurna.

“Saya sudah 4 tahun jadi gubernur dan ingin sekali masalah sampah ini terpecahkan,” kata Soemarno. “Dan seperti selalu saya katakan, harus ada bantuan dari seluruh masyarakat.”     

TAG

dki jakarta sampah soemarno sosroatmodjo

ARTIKEL TERKAIT

Sukarno dan Gerakan Hidup Bersih Awal Mula Barang Plastik di Indonesia Pemulung Sampah dalam Sejarah Dari Daur Ulang ke Bantar Gebang Kelola Sampah untuk Cegah Musnah Mengkritik Plastik Tur di Kawasan Menteng Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Pesta Seks Tukar Pasangan Tempo Dulu