Masuk Daftar
My Getplus

Dari Darul Islam Sampai Ekonomi, Penyebab Orang Datang ke Jakarta

Kepadatan penduduk Jakarta sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Mereka berdatangan ke Jakarta karena mencari tempat aman dan terutama alasan ekonomi.

Oleh: Arief Ikhsanudin | 25 Agt 2015
Jakarta tahun 1950. Foto: KITLV.

DKI Jakarta sudah kelebihan beban, baik oleh bangunan, kendaraan, maupun penduduknya yang mencapai lebih dari 10 juta pada 2014. Jumlah itu belum termasuk para pekerja yang masuk setiap hari dari daerah sekitar Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ibukota negera Republik Indonesia ini pun menjadi kota terpadat di Indonesia, bahkan masuk sepuluh besar kota terpadat di dunia. Hal ini karena pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya ditambah para pendatang.

Kepadatan penduduk di Jakarta sudah dimulai sejak 1950-an. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, pada 1952 penduduk Jakarta berjumlah 1,782 juta jiwa, melonjak dari 823 ribu jiwa pada 1948. Jumlahnya agak stabil pada pertengahan 1950, tetapi meningkat lagi dengan cepat menjadi 3,813 juta jiwa pada 1965. Peningkatan jumlah penduduk ini bukan karena angka kelahiran yang tinggi, tetapi oleh para pendatang.

“Pada 1961, sensus pertama setelah 1930 menunjukan bahwa hanya 51% populasi kota yang benar-benar dilahirkan di sana, sedangkan sebagian besar penduduk lainnya berasal dari Jawa Barat dan Jawa tengah,” tulis Susan.

Advertising
Advertising

Berdasarkan kelompok etnis, Betawi sebagai suku asli Jakarta menduduki posisi ketiga setelah Sunda dan Jawa. Menurut sejarawan Lance Castles dalam Profil Etnik Jakarta, perkiraan populasi Jakarta menurut kelompok etnis pada 1961 antara lain Sunda (952.500 atau 32,8%), Jawa dan Madura (735.700 atau 25%), Betawi (665.400 atau 22,9%), dan Tionghoa (294.000 atau 10,1%), sisanya suku-suku lain.

Ada beberapa penyebab migrasi ke Jakarta. Menurut Susan, mereka datang ke Jakarta dalam jumlah besar seiring kembalinya pemerintah Republik Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta pada akhir 1949. Sebagian lainnya datang ke Jakarta untuk menghindari kerusuhan di daerah-daerah mereka yang terus berlanjut bahkan setelah perang melawan Belanda berakhir. Di sejumlah wilayah, para pemberontak melawan pemerintah Republik Indonesia, seperti Darul Islam dan laskar-laskar sisa masa revolusi yang belum ditertibkan. Mereka mengungsi ke tempat yang aman, dan Jakarta menjadi salah satu pilihannya. “Di Jawa Barat, Darul Islam merupakan ancaman terbesar terhadap keteraturan dan ketertiban,” tulis Susan.

Sependapat dengan Susan, Castles menyatakan bahwa secara luas dipercaya, penduduk pedesaan yang pergi dari desanya karena Darul Islam menjadi unsur utama dalam migrasi ke Jakarta. Namun, dia memperkirakan “sebagian penduduk meninggalkan kampung halamannya di Timur Laut wilayah operasi Darul Islam (Kuningan-Brebes) menuju Jakarta. Sementara sebagian besar pengungsi dari Priangan Timur dan Tengah lebih memilih mengungsi ke Bandung dan Tasikmalaya, yang terbukti dari tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di kedua kota itu antara tahun 1930-1961 bila dibandingkan dengan seluruh Jawa.” (Baca: SM Kartosoewirjo: Akhir Hidup Sang Imam Negara Islam Indonesia)

Namun, survei tahun 1953 terhadap para migran menunjukan bahwa mayoritas orang datang ke Jakarta karena alasan ekonomi. Pada akhir masa perjuangan merebut kemerdekaan, kondisi ekonomi Indonesia sangat buruk, produksi sangat rendah dan barang yang tersedia hanya sedikit.

“Sebagai tempat kedudukan pemerintah nasionalis yang baru yang telah menjanjikan bahwa kemerdekaan akan membawa kemakmuran, Jakarta tampaknya menawarkan harapan baru bagi para penduduk pedesaan,” tulis Susan.

Selain migran yang menetap di Jakarta, ada pendatang yang datang secara musiman, hanya tinggal selama beberapa bulan di Jakarta. Mereka kembali ke kampung halaman saat masa bercocok tanam dan lebaran. Selain itu, ada pula pendatang yang masuk ke Jakarta hanya untuk bekerja di pagi hari dan kembali ke rumahnya pada sore atau malam hari. “Pada 1957, diperkirakan terdapat 10.000 orang pengguna kereta yang datang setiap hari dari Bogor,” tulis Susan.

Kepadatan penduduk Jakarta berdampak kepada segala bidang, terutama perumahan. Akibatnya, terjadi kepadatan yang tinggi pada rumah-rumah yang tersedia dan ledakan permukiman liar. Banyak pula yang mencari tempat berteduh semampu mereka, seperti di pinggir jalan atau di bawah jembatan. Permasalahan ini masih berlum terpecahkan hingga sekarang.

“Walaupun para pemimpin seperti Sukarno memiliki ambisi untuk membuat Jakarta menjadi kota yang indah,” tulis Susan, “kenyataannya tugas utama pemerintah kota Jakarta adalah mengatasi pertambahan penduduk yang sangat besar dan kemiskinan warga.”

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda Merekatkan Sejarah Lakban Para "Ekonom" Perintis Selain Margono Seputar Prasasti Pucangan Masa Kecil Radius Prawiro Memburu Kapal Hantu Sejarah Gereja dan Seni Kristiani Dulu Tentara Kudeta di Medan Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto