BANYAK kampung kumuh di beberapa kota besar Indonesia berubah jadi warna-warni selayak pelangi. Mengecat kampung kumuh jadi tren untuk mengubah citra kampung yang muram dan kusam. Bagaimana sebenarnya citra itu berkembang?
Kemunculan kampung-kampung kumuh di kota-kota besar Indonesia bukan hal baru. Kampung-kampung kumuh telah ada sejak masa kolonial pada 1910-an.
Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung: Antara Harapan dan Kenyataan” termuat di Prisma No. 6, 1984, menyebut dua publikasi orang Belanda yang menggambarkan kampung kumuh di sejumlah kota Hindia Belanda.
Publikasi pertama berasal dari Westerveld pada 1914. “Di situ gubuk-gubuk sangat tidak layak disebut tempat tinggal manusia,” tulis Westerveld ketika mendeskripsikan kampung kumuh di kota-kota Hindia Belanda, sebagaimana dikutip Amir.
Publikasi kedua berasal dari Hendrik Freek Tillema pada 1920-an. Dia menyatakan kota-kota di Jawa perlu banyak perbaikan. Mulai segi kesehatan, sanitasi, penataan daerah padat, saluran tanah, pembuangan kotoran, sampai penerangan.
Zaman telah masuk masa merdeka, tapi kampung-kampung kumuh di kota tetap bertahan. Di Jakarta, misalnya, kampung-kampung kumuh itu tersebar di banyak wilayah. Kampung-kampung kumuh itu terbagi dua jenis: legal (slums area) dan liar (squatters area). Tapi keduanya memiliki ciri-ciri yang sama. Antara lain padat, kotor, jorok, dan kurang fasilitas.
“Jalan-jalannya tidak diaspal, sehingga musim kemarau berdebu dan di musim hujan sukar dilalui karena becek dan berlumpur, di sana-sini terdapat comberan yang baunya menusuk hidung,” tulis Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953 dalam Karya Jaya.
Ajip Rosidi, sastrawan sohor Sunda yang pernah tinggal di Jakarta pada 1950-an, menggambarkan keadaan kampung kumuh Jakarta masa itu dalam sajaknya, “Jembatan Dukuh”, termuat di Tjari Muatan.
“Ada daerah bersesakkan gubug-gubug, gelap dan melarat dari bocah-bocah yang tersita daerah mainnya, menghitung jam di jari-jari tangannya, gosong, dan terasing,” ungkap Ajip.
Kebanyakan penghuni kampung-kampung kumuh berlatar belakang ekonomi dan pendidikan rendah. Mereka bekerja sebagai buruh kasar, penarik becak, dan pedagang kecil. Sebagian mereka telah menempati kampung itu beberapa lama. Lainnya baru datang dari desa di luar Jakarta. Kedatangan mereka menambah kepadatan kampung.
Para penghuni kampung kumuh biasanya membangun hunian dari kayu, tripleks murah, atau kardus bekas. Pokoknya segala bahan yang mudah terbakar. Jarak satu hunian dengan lainnya begitu rapat. Ketika kebakaran melanda, tak satupun hunian mereka selamat.
Majalah Kotapradja, Januari 1953, melaporkan bahwa kebakaran yang melanda Jakarta ratusan kali dalam rentang 1951-1953 sebagian besar terjadi di kampung-kampung kumuh. Kebakaran terbesar terjadi pada 28 Juli 1952 di Krekot Bunder. Kebakaran menghanguskan 600 hunian dalam wilayah seluas 60.000 meter persegi. Sekira 10.000 orang kehilangan hunian dan mencari tempat hunian baru.
Beberapa wilayah yang sebelumnya lengang dan penuh pohon mulai berubah menjadi kampung-kampung padat dengan hunian sederhana dan berjarak rapat. “Wilayah ini dapat dijumpai di Pedurenan, tepatnya di selatan Jalan Kawi,” tulis Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an.
Kebakaran terus mengancam penghuni kampung-kampung kumuh. Misalnya pada 7 Desember 1954, kebakaran melalap tiga kampung di Kecamatan Sawah Besar. Kotapradja, Desember 1954, menyebut ribuan rumah hangus dan 10.000 penghuni kampung kumuh terancam menggelandang.
Saking seringnya kebakaran melanda kampung-kampung kumuh di Jakarta, Ajip Rosidi mengabadikannya dalam sajak. Pengalaman para penghuni kampung kumuh berhadapan dengan kebakaran pada 1950-an terekam dalam Djakarta dalam Puisi.
“...Kami bicara tentang kebakaran
Ibu hangus ayah tertembak
Kampung habis dan kota kepadatan
Namun kami tak menangis
Kan menangis air mata habis...”
Selain lingkungan yang tidak sehat, fasilitas yang kurang mendukung hidup layak, dan kebakaran, para penghuni kampung kumuh juga kenyang dengan ancaman pembongkaran dari pemerintah.
Pembongkaran oleh pemerintah tidak hanya berangkat dari pandangan soal legalitas, melainkan juga dari pandangan bahwa kampung kumuh merupakan sumber penyakit sosial di kota seperti pelacuran, pengangguran, dan kriminalitas.
Biasanya pembongkaran lebih menyasar area kampung kumuh yang liar, yang di atasnya berdiri gubuk-gubuk tanpa izin, ketimbang kampung kumuh legal. Misalnya pembongkaran gubuk-gubuk di daerah Senen pada Februari 1954. Tak ada ganti rugi dan relokasi bagi penghuni gubuk. Mereka dibiarkan terkatung-katung.
Tapi pada 1960-an, Gubernur Soemarno mulai menimbang kepentingan dan kebutuhan para penghuni permukiman kumuh ilegal sebelum membongkarnya.
“Pembongkaran-pembongkaran tidak nanti akan kami lakukan begitu saja... Living mereka akan kami perhatikan dan sekali-kali tak boleh dihentikan. Juga soal pemindahannya senantiasa akan kami perhatikan,” kata Soemarno dalam Star Weekly, 4 Februari 1961.
Pembongkaran-pembongkaran kampung kumuh terus berlangsung pada tiap dekade. Sebab kekumuhan di Jakarta terus meluas. Dalam Gita Jaya, Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menyebut 60 persen penduduk Jakarta tinggal di kampung kumuh nan padat.
Sementara Wiyogo Atmodarminto, gubernur Jakarta 1987-1992, menulis dalam Catatan Seorang Gubernur, “Pertumbuhan daerah-daerah kumuh, yang luasnya mencapai 40% dari seluruh daerah permukiman, akhirnya menimbulkan masalah-masalah sosial. Jakarta is a big village.”
Sekarang kampung-kampung kumuh masih tersua di sudut-sudut Jakarta, di tengah-tengah ambisi Jakarta menjadi megapolitan terbesar kedua di dunia pada 2045.
Baca juga: