PENJUALAN rumah dengan uang muka nol rupiah di DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Gubernur Anies Baswedan berjanji menerbitkan Peraturan Gubernur tentang program itu pada Selasa, 17 April 2018. Wakil Gubernur Sandiaga Uno memperkirakan warga Jakarta bisa mencicil rumah mulai Mei 2018. Keduanya berharap program itu mampu memecahkan masalah akut Jakarta dalam perumahan.
Urusan menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga Jakarta telah menjadi beban pikiran para pembesarnya sejak kemerdekaan, ketika masih bertitel walikota.
Soewiryo, walikota pertama Jakarta, berhadapan dengan para pemukim liar di sekitar pusat kota. Mereka tinggal di gubuk-gubuk pengap di atas tanah tak bertuan. “Gubug-gubug ini lambat laun menjadi tambah besar sehingga lama-kelamaan merupakan rumah sederhana,” kata Soewiryo dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966.
Penghuni gubuk-gubuk pengap itu tak terdaftar dalam catatan kependudukan. Tanahnya pun demikian. Soewiryo berkasad membereskan keruwetan ini. Dia mengupayakan relokasi pemukim liar dan mendata ulang kepemilikan tanah. Tapi tentara Sekutu keburu datang ke Jakarta. Arkian orang-orang Belanda yang ikut dalam tentara Sekutu malah membentuk pemerintahan kota versi mereka sendiri.
Ada dua kepemimpinan di Jakarta. Gerak Soewiryo jadi terbatas. Tambah pula dengan kontak senjata terjadi di sejumlah sudut Jakarta. Belanda memenangi perang di Jakarta. Pucuk pemerintahan menyingkir ke Yogyakarta. Soewiryo kena tangkap Belanda pada Juli 1947. Urusan rumah mendadak terbengkalai.
Giliran orang Belanda mengatur Jakarta. Masalah menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga kota ternyata mewaris ke mereka. Banyak interniran dan pejabat militer Belanda mesti disediakan rumah. Para pembesar Belanda di Jakarta pun kelimpungan.
Pembesar Belanda tak bisa seenaknya merebut rumah penduduk tempatan untuk kemudian dihuni oleh interniran dan pejabat. Bakal ada perlawanan dari penduduk kalau itu mereka lakukan. Sementara untuk membangun rumah butuh waktu. Maka, Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia 1930-1960, menyebut kekurangan rumah ini sebagai “krisis di Jakarta.”
Tapi pembesar Belanda di Jakarta tak terbebani urusan menyediakan rumah kelewat lama. Bukan lantaran mereka berhasil mengatasinya, melainkan tersebab pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Belanda angkat kaki dari Jakarta. Kini Jakarta dipimpin lagi oleh Soewiryo.
Sampai akhir masa tugasnya pada Mei 1951, Soewiryo hanya berhasil menyelesaikan pendataan kepemilikan tanah liar. Dia tidak mempunyai cukup waktu untuk merumuskan program rumah.
Sjamsuridjal, pengganti Soewiryo, memiliki konsepsi tentang pembangunan Jakarta. Dia mencita-citakan Jakarta sebagai kota indah dan ternama. Kepada para wartawan ibukota pada 15 September 1951, dia menekankan tiga masalah pokok Jakarta: pembagian aliran listrik, penambahan air minum, dan urusan tanah. Kemana masalah perumahan?
Meski tak menyebut urusan rumah sebagai pokok masalah Jakarta, Sjamsuridjal tetap peduli pada kewajibannya menyediakan rumah.
“Di dalam mencukupi kebutuhan perumahan rakyat direncanakan pendirian kampung baru di tiga tempat masing-masing di Bendungan Ilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren. Perumahan akan dapat menampung 33.000 orang,” kata Sjamsuridjal dalam Karya Jaya. Rumah-rumah itu dijual kepada rakyat yang membutuhkan.
Sjamsuridjal juga menyediakan rumah darurat untuk golongan kecil seperti tukang becak dan penjual makanan. Kira-kira 2.000 golongan kecil beroleh rumah darurat itu.
Upaya Sjamsuridjal menyediakan rumah untuk warga Jakarta berhenti pada November 1953. Dia tak lagi menjabat walikota. Urusan menyediakan rumah untuk warga Jakarta beralih ke Soediro, walikota Jakarta 1953-1960.
Soediro bilang dalam Karya Jaya, bahwa urusan menyediakan rumah sebagai “beban moril yang tidak ringan.”
Bayangkan saja, ketika kantong pemerintahan kotapraja lagi kempes-kempesnya, Soediro harus mengupayakan rumah bagi “berpuluh ribu manusia bangsa kita yang bergelandangan di pinggir-pinggir jalan, di bawah kolong jembatan atau di beranda-beranda stasiun,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raja. Termasuk pula puluhan ribu penganggur, buruh, dan pegawai rendahan lainnya yang belum kebagian rumah dari masa walikota sebelumnya.
Soediro membuat program rumah pertamanya untuk kaum buruh di Grogol pada 1953. Jumlah rumahnya mencapai 2.800 buah. Para buruh bisa mencicil rumah tersebut selama 20 tahun.
Karena uang penjualan rumah tersebut masuknya lama ke kas pemerintah kotapraja Jakarta, Soediro pinjam uang ke pemerintah pusat untuk meneruskan pembangunan rumah. Sasarannya untuk anggota ABRI dan pegawai negeri yang berdinas di Jakarta.
Upaya Soediro masih belum mencukupi. Memasuki tahun 1960, Jakarta banjir penduduk. Tiga juta orang tinggal di Jakarta. Mereka perlu rumah.
Soediro sempat membuat outline plan pada 1959, sebelum kelar masanya jadi walikota. Rencana terintegrasi pembangunan kota ini ikut memuat rumusan penyediaan rumah. Kelak Soemarno Sosroatmodjo, gubernur Jakarta 1960-1964, merujuk rencana ini untuk membuat program rumah minimum.
Baca juga:
Dari Flat ke Perbaikan Kampung
Cerita Kampung Kumuh dari Zaman Kolonial
Cerita Awal Rumah Susun
Intelektual Menyoal Rumah Susun
Hidup di Rumah Susun