DI masa Orde Baru, tabungan perumahan tak hanya menargetkan Pegawai Negeri Sipil. Jauh sebelum Tabungan Perumahan PNS (Taperum-PNS) diberlakukan pada 1993, seluruh personel TNI AD telah lebih dulu diwajibkan menyisihkan gajinya untuk Tabungan Wajib Perumahan (TWP).
Latar belakang program perumahan berawal dari kondisi asrama-asrama satuan TNI AD yang banyak dihuni oleh anggota yang bukan organik. Hal ini terjadi sejak tahun 1960-an. Tak sedikit di antara anggota yang tinggal di asrama-asrama telah pensiun atau dipindahtugaskan ke kesatuan lain. Penghasilan yang pas-pasan membuat para prajurit kesulitan membeli rumah.
Akibatnya, banyak prajurit, yang untuk kesiapan tugas, seharusnya tinggal di asrama maupun barak yang telah disediakan, tak dapat menempatinya karena diisi penghuni lain. Kondisi ini membuat mereka mengontrak rumah di luar kompleks atau tinggal di rumah yang jauh dari lokasi tugas.
Baca juga:
Untuk memecahkan masalah itu, pimpinan TNI AD berupaya memberikan bantuan dana kepada anggota, yang tinggal di asrama dan sudah pensiun maupun dipindahtugaskan, untuk uang muka KPR-BTN, yang angsurannya dibayar masing-masing anggota.
Program bantuan itu berjalan cukup baik dan berhasil mengosongkan sebagian asrama untuk prajurit yang bertugas. Namun, permasalahan muncul karena sumber anggaran TNI AD yang digunakan untuk sumbangan semakin menipis, sehingga perlu sumber lain yang bersifat tetap dan keberlanjutan.
Melansir majalah Yudhagama edisi 34, 31 Oktober 1988, sumber pertama yang memungkinkan adalah mengadakan arisan rumah, yakni mereka yang sudah pensiun disediakan rumah oleh mereka yang masih dinas melalui iuran arisan. Sumber dana kedua, yang gagasannya dikembangkan dalam rapat koperasi di Bali tahun 1984, adalah tabungan wajib untuk mengumpulkan dana guna modal koperasi pembuatan rumah angsuran. Gagasan pertama dan kedua digabung dan mulai direalisasikan oleh TNI AD dengan membangun 1.000 rumah per tahun. Namun, proyek terhenti karena kontraktor meninggal dunia.
Jenderal TNI (Purn.) Rudini ketika menjabat Kepala Staf TNI AD memerintahkan agar dibuat program tabungan yang membantu para prajurit untuk bisa memiliki rumah pribadi, terutama bagi bintara dan tamtama. Maka, lahirlah program Tabungan Wajib Perumahan (TWP).
“Gaji para prajurit dipotong seribu rupiah setiap kali menerima gaji, lalu dimasukkan ke dalam Tabungan Wajib Perumahan. Dana itu kemudian dikelola Inkopad. Begitu ada prajurit yang pensiun, ia langsung mendapat dana untuk uang muka pembayaran KPR,” kata Rudini dalam biografinya, Rudini, Jejak Langkah Sang Perwira.
Program TWP diwujudkan dengan Surat Keputusan Kasad Nomor: Skep/30/I/1986 tanggal 14 Januari 1986 yang mewajibkan seluruh anggota TNI AD untuk memumpuk dana dengan menabung.
Dispen TNI AD dalam majalah Dharmasena, edisi April No. 22 tahun 1989, menyebut program TWP terinspirasi dari budaya jimpitan yang mengandung semangat gotong-royong. “Bentuk lain dari jimpitan adalah tabungan yang berkisar antara 2 hingga 3 persen dari penghasilannya, tabungan itu tidak dirasakan berat, tetapi uang yang terkumpul akan berasa besar manfaatnya baik bagi mereka yang menabung maupun yang menerima sumbangan dari sebagian bunganya,” tulis Dharmasena.
Baca juga:
Program TWP mulai diberlakukan sejak Februari 1986. Seluruh personel TNI AD yang terdiri dari militer dan PNS serta capeg (calon pegawai) PNS TNI AD dikenakan wajib tabung. Diperkirakan peserta program TWP mencapai 280 ribu orang yang setorannya diatur dalam lima golongan. Golongan Pati (perwira tinggi) dikenakan wajib tabung Rp6.500, golongan Pamen (perwira menengah) Rp5.500, golongan Pama (perwira pertama) Rp4.500, sedangkan bintara Rp3.500 dan tamtama Rp2.500. Sementara itu, kewajiban menabung bagi PNS dan capeg PNS TNI AD untuk golongan tiga Rp4.500, golongan dua Rp3.500, dan golongan satu Rp2.500. Jumlah nominal wajib tabung tersebut diperkirakan akan terus naik setiap tahun.
Pengumpulan setoran dari peserta TWP dilakukan oleh Pekas (pemegang kas) dan juru bayar. Pada waktu wajib menabung ini baru dimulai, setoran tabungan dari Pekas dikirim ke rekening Inkopad (Induk Koperasi TNI AD) dan kemudian didepositokan tiap tanggal 10 tiap bulan ke bank deposan yang ditunjuk Kasad.
Pada awalnya terdapat dua alternatif setoran, pertama, dipotong secara terpusat melalui perhitungan terpusat oleh Dispullahtad (Dinas Pengumpulan dan Pengolahan Data TNI AD). Penghasilan personel TNI AD yang disalurkan ke Pekas sudah dipotong setoran tabungan. Alternatif kedua dengan setoran anggota di juru bayar atau Pekas lalu disetorkan ke Ditkuad (Direktorat Keuangan Angkatan Darat) sebagai bendahara TWP. Setoran anggota dicatat di buku tabungan.
Menurut Dharmasena, kurang dari lima tahun program TWP diberlakukan, telah terkumpul dana kurang lebih Rp950.000.000 per bulan dan akan terus bertambah dan berkembang hingga sekitar Rp11 miliar. “Jadi setelah berjalan sekitar dua tahun, sekarang ini tabungan murni sudah lebih dari 30 miliar. Tabungan tersebut didepositokan pada bank pemerintah yaitu BRI dengan bunga yang bisa naik atau bisa juga turun tergantung dari harga pasar,” tulis Dharmasena.
Kepesertaan TWP selesai pada saat peserta dipisahkan dari dinas TNI AD, baik karena pensiun atau karena sebab-sebab lain yang diatur dalam ketentuan-ketentuan yang berlaku. Selain dikembalikan dalam bentuk tabungan beserta bunganya, TWP juga dapat dimanfaatkan oleh peserta untuk bantuan subsidi angsuran KPR. Penunjukan peserta penerima subsidi diputuskan oleh Kasad, sedang usulan dan urutan prioritasnya diajukan oleh para Pangkotama (Panglima Komando Utama) atau para Direktur Kadis atau Komandan dan yang diberi hak untuk itu.
Dana TWP yang terkumpul dari setoran para prajurit terus bertambah seiring bertambahnya jumlah anggota TNI AD –target sampai tahun 2024 berjumlah 350 ribu anggota. Namun, dananya malah dikorupsi, sementara masih banyak prajurit TNI AD yang belum punya rumah.
Baca juga:
Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
Pada 2006, diberitakan detik.com, Pusat Polisi Militer TNI AD menetapkan jenderal bintang dua berinisial SM sebagai tersangka penggelapan dana TWP sebesar Rp100 miliar. Kasus penggelapan dana prajurit ini ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Penggelapan dana prajurit ini melibatkan Kepala Badan Pengelola TWP TNI AD, Kolonel Ngadimin Darmosujono, yang sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka. Di samping itu, Inspektorat Jenderal TNI AD menemukan penyelewengan kedua, yaitu penggelapan dana tabungan prajurit sebesar Rp129 miliar, yang juga melibatkan Kolonel Ngadimin dan Hendri Simbolon, Kepala Cabang Bank Mandiri Kemang, Jakarta Selatan.
Korupsi dana TWP kembali terjadi selama tahun 2013–2020. Pada 2022, Tim Penyidik Koneksitas Kejaksaan Agung, Pusat Polisi Militer TNI AD, dan Oditurat Jenderal TNI menetapkan Brigjen TNI Yus Adi Kamrullah, Direktur Keuangan Badan Pengelola TWP TNI AD, dan pihak swasta, sebagai tersangka tindak pidana korupsi pengadaan kavling perumahan bagi prajurit sebesar Rp127,73 miliar.
Diberitakan detik.com, pada 18 Oktober 2023, Pengadilan Militer Utama pada tingkat banding menjatuhkan vonis kepada Brigjen TNI Yus Adi Kamrullah 16 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan membayar uang pengganti atas kerugian keuangan negara sebesar Rp34,4 miliar. Kasus korupsi TWP ini terus bergulir, beberapa orang dari pihak swasta telah ditetapkan sebagai tersangka.*