“Kawan, engkau sudah pernah dengar nama kampungku, bukan? Kebun Jahe Kober –500 meter garis lurus dari istana. Dan engkau pun sudah tahu juga, bukan? Got-gotnya diselubungi tai penduduk kampung.”
Itulah pembuka cerita pendek Pramoedya Ananta Toer berjudul “Kampungku” yang termuat dalam buku Cerita dari Jakarta.
Melalui “Kampungku”, Pramoedya mengabarkan kepada pembacanya tentang kehidupan warga kota Jakarta di sebuah kampung pada 1950-an. Tingkat kematian di kampung ini sangat tinggi. Ada saja orang mati setelah mengidap berbagai macam penyakit seperti tetanus, TBC, dan penyakit kotor.
Meski cerita tersebut fiksi, gambaran Pramoedya tentang persoalan kampung di Jakarta mendekati akurat. Dalam Kotapradja Djakarta Raya bikinan Kementerian Penerangan dan terbit pada 1952, tersua gambaran nyata tentang kehidupan kampung. Tak jauh berbeda dari gambaran dalam “Kampungku”.
Baca juga: Cerita Awal Rumah Susun
Kotapradja Djakarta Raya memuat tingginya angka kematian, penularan penyakit, rendahnya fasilitas kesehatan, dan usaha-usaha pemerintah kota untuk memperbaiki kesehatan warga kampung di kota. Di dalamnya tersurat pula keterangan tentang penyakit khas warga kampung seperti TBC, Kolera, dan patek (frambusia).
Selain “Kampungku”, Pramoedya juga menulis cerita lainnya tentang permasalahan kota seperti urbanisasi wilayah kampung, migrasi dari desa ke kota, pengangguran, dan pelacuran. Semuanya termaktub dalam buku Cerita dari Jakarta. Dia menulis cerita itu sepanjang 1947–1956 ketika tinggal di Jakarta.
Kumpulan cerita bertema kota itu menunjukkan minat Pramoedya pada tetek bengek dan seluk-beluk masalah warga kota. Dia menggunakan sastra untuk menyampaikan kegundahannya terhadap masalah-masalah tersebut. Kemudian dia secara terbuka menyatakan gagasannya tentang kota lewat esainya, “Mari Mengubah Wajah Jakarta”.
Baca juga: Flat dari Negeri Ratu Elizabeth
Terbit dalam majalah Republik edisi 13 April 1957, esai Pramoedya menyoroti gagalnya pemerintah kotapraja dalam mewujudkan konsep kota ideal bagi warganya. Bagi Pramoedya, “Jakarta bukanlah kota dalam pengertian sosiologis dan ekonomis”.
Pramoedya menyebut Jakarta sebagai “tumbukan desa-desa dan kampung yang dipaksa berfungsi sebagai kota dalam segi-segi sosiologis dan ekonomis”. Dia mencontohkan tempat tinggal tak layak huni. Satu keluarga hidup berjejal dalam satu ruang sempit. Padahal menurutnya, tempat tinggal harus mempunyai ruang privat dan khusus bagi setiap anggota keluarganya. Pramoedya menyebutnya “garis minim akomodasi”.
Baca juga: Dari Flat ke Perbaikan Kampung
Jika garis minim akomodasi itu tak terpenuhi, kehidupan keluarga akan kacau. “Kakek dan nenek kehilangan haknya untuk menempuh hidup tuanya dengan aman dan damai setelah puluhan tahun lamanya berjuang untuk penghidupannya,” catat Pramoedya.
Sementara anak-anak bakal kehilangan ruang bergerak untuk bermain di dalam rumah. Akibatnya, mereka merambah daerah di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan asasinya tersebut. Yaitu dengan bermain di jalan raya.
“Tumbuh tanpa kasih orang tua yang ditundung kesulitan perumahan ini, mereka pun kehilangan kasih terhadap orang tua dan lingkungannya,” sebut Pramoedya.
Baca juga: Dari Rumah Rakyat ke Real Estate
Dalam esainya, Pramoedya juga mengkritik pembangunan kotabaru Kebayoran. Tadinya kota ini diniatkan untuk memenuhi kebutuhan perumahan pegawai kecil. Tapi nyatanya pembangunan itu justru merugikan orang tempatan di sekitar kotabaru tersebut. Bahkan Pramoedya menyebut ada indikasi korupsi dalam pembangunannya.
“Memendekkan tinggi rumah-rumah batu dengan satu batu, serta mengganti eternitnya dengan kacang merah,” ungkap Pramoedya.
Pramoedya mengajukan solusi atas masalah hunian ini. “Aku sendiri lebih setuju, bila kota tumbuhan ini terdiri atas gedung-gedung flat dari dua atau tiga tingkat,” kata Pramoedya. Masing-masing tingkat terbagi atas ruang makan, dapur, ruang tidur, dan tempat kerja.
Baca juga: Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
Pembangunan flat juga hendaknya menyertai kebutuhan taman bermain untuk anak-anak. “Dan jangan pula dilupakan kepentingan kanak-kanak yang selama ini jarang sekali teringat: kebun kanak-kanak, perpustakaan kanak-kanak, tempat kanak-kanak berhimpun –agar kanak-kanak ini tumbuh menjadi dewasa melalui masa anak-anak yang sesungguhnya,” kata Pramoedya.
Usul Pramoedya ini sejalan dengan rencana Sudiro, walikota Jakarta 1953–1959, untuk membangun flat. Tapi rencana ini terbentur oleh protes anggota Dewan Perwakilan Kota Sementara. Baru pada 1980-an, flat pertama, atau disebut rumah susun (rusun) untuk warga jelata dibangun di Jakarta.