Masuk Daftar
My Getplus

Penderitaan Pramoedya Melebihi Manikebuis

Pramoedya Ananta Toer punya tempat dan dihargai dalam kesusastraan. Penghargaan untuknya pernah ditentang banyak sastrawan lain.

Oleh: Petrik Matanasi | 17 Feb 2025
Pramoedya Ananta Toer. (Ilustrasi: Betaria/Historia.ID)

SALAH satu Presiden Filipina yang dikenang di negaranya adalah Ramon del Fierro Magsaysay (1907-1957). Mantan teknisi yang lalu jadi pahlawan dalam Perang Dunia II itu kemudian menjadi politisi yang sukses masuk parlemen. Usai menjadi sekretaris pertahanan nasional yang melawan komunisme di Filipina, dia berhasil jadi presiden.

Magsaysay berkuasa dari 1953 hingga kematiannya pada 17 Maret 1957 karena kecelakaan pesawat di Cebu. Namanya kemudian diabadikan menjadi nama penghargaan yang dianggap Nobel Asia: Ramon Magsaysay Award.

“Mochtar Lubis terpilih sebagai salah seorang di antara dua pemenang Ramon Magsaysay Journalism and Literature Award untuk tahun 1958. Ia menjadi orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan itu,” tulis Atmakusumah dalam Mochtar Lubis, Wartawan Jihad.

Advertising
Advertising

Penghargaan tersebut merupakan pengakuan terhadap kegigihan Mochtar Lubis (1922-2004) memperjuangkan kebebasan pers. Namun penghargaan itu tak bisa langsung diambilnya karena Mochtar ditahan setelah korannya, Indonesia Raya, dibredel karena kritis kepada pemerintah. Baru pada 1966 penghargaan bisa diambil Mochtar usai kekuasaan bergeser ke rezim baru pimpinan Jenderal Soeharto, yang juga dikritisi Mochtar dengan berita korupsi Pertamina-nya.

Puluhan tahun setelah Mochtar menerima Magsaysay Award, pada 1995 ada orang Indonesia lain yang menerima hadiah serupa untuk kategori yang sama pula: jurnalistik dan sastra. Orang itu adalah Pramoedya Ananta Toer (1925-2006).

Mochtar yang masih hidup ketika Pramoedya menerima Magsaysay Award, tak setuju terhadap hal itu. Keduanya merupakan lawan politik di masa mudanya. Sebagai bentuk protes, Mochtar pun mengambil sikap.

“Saya akan kembalikan medali dan piagam Magsaysay tersebut. Barangnya kan masih ada, jadi lebih mudah. Tapi kalau uangnya itu, kalau tidak salah USD 10 ribu, ya, saya akan berusaha mengembalikan. Karena uangnya kan sudah habis, jadi saya harus mengumpulkan dulu,” ucap Mochtar dalam Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan.

Mochtar menganggap sepak terjang Pramoedya alias Pram semasa bersama Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), benar-benar keji. Pram dianggapnya memburu rekan sastrawan yang tak sealiran.

Guna menandingi Lekra yang agresif itu, kelompok yang berseberangan dengan Lekra lalu membuat Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Hasilnya, para penandatangan Manikebu dipersulit hidupnya karena Lekra dan PKI sedang di atas angin.

“Sebelum Pram mengucapkan permintaan maaf secara terbuka, saya tak mau menerima hadiah yang sama dengan Pram,” kata Mochtar.

Mochtar jelas tak sendiri. Harian Kompas edisi 31 Agustus 1995 memberitakan, Mochtar bersama 25 sastrawan melakukan penolakan atas kemenangan Pram itu. Menurut David Hill dalam Jurnalisme dan politik di Indonesia, para penentang Pram terkejut dengan terpilihnya Pram sebagai penerima Magsaysay Award. Pram dianggap penentang liberalisme dan cap komunis menempel padanya di mata orang awam. Padahal, inspirator Magsaysay Award sendiri adalah seorang antikomunis.

WS Rendra yang ketika kuliah di UGM pernah merasa terteror oleh Lekra dan Taufik Ismail kehilangan pekerjaan setelah menjadi penandatangan Manikebu, termasuk yang menentang hadiah untuk Pram tersebut.

Namun, ada pula aktivis, budayawan, dan akademisi yang senang dengan Magsaysay Award untuk Pram. Seperti Arief Budiman, Ahmad Sahal, Ariel Heryanto, Daniel Dakhidae, Ratna Sarumpaet, dan Sukmawati Soekarnoputri.

Terlepas dari tuduhan Lekra di bawah Pram telah merusak kebebasan berkarya di zaman Sukarno berkuasa, para pendukung Manikebu dan lawan-lawan Lekra pada zaman Soeharto justru “diam” ketika ada pelarangan buku. Terlebih salah satu buku yang dilarang itu merupakan karya Pram, Bumi Manusia. Begitupun ketika “Hati Yang Luka” dan lagu-lagu “cengeng” lain dilarang penguasa, tak ada suara kencang dari para lawan Lekra.

Sejatinya, di zaman Orde Baru, Pram dilarang berkarya selama bertahun-tahun, bahkan lebih lama daripada Mochtar sewaktu zaman Sukarno. Mochtar dan kawan-kawan Manikebu-nya tak merasakan penjara dan derita yang setara dengan Pulau Buru, bahkan tak melebihi Boven Digoel di masa kolonial pula.

Magsaysay Award tentu bukan satu-satunya penghargaan untuk Pram. Dia pernah mendapatkan Freedom to Write Award dari PEN pada 1988, lalu The Fund for Free Expression New York (1989), Wertheim Award (1995), UNESCO Mandanjeet Singh Prize (1996), Honor Award dari University of California Berkeley (1999), Chevalier de l'Ordre Des Artset Des Letters dari Kementerian Budaya dan Komunikasi Prancis (2000), dan banyak penghargaan lain. David Hill menulis bahwa para pengagum Pram berharap Pram akan mendapatkan Nobel sastra atas karya-karyanya yang sangat menggugah dan telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa itu.

TAG

pramoedya ananta toer mochtar lubis manifestasi kebudayaan

ARTIKEL TERKAIT

Patung Liberty Simbol Kebebasan dan Demokrasi Cerita Tentang Kentang Goreng Kue Asida dari Arab untuk Raja dan Rakyat Maluku Al-Asma'i, Penyair di Balik Lantunan "Tob Tobi Tob" Sejak Kapan Bulan Sabit dan Bintang serta Warna Hijau Identik dengan Islam? Sentuhan Eropa di Balik Kemunculan Tempura No Other Land Potret Nyata Pembersihan Etnis Sistematis di Palestina Strange Fruit, Lagu Protes Paling Berpengaruh Para Sarjana Batak Tempo Dulu Menggoreng Sejarah Donat