Baru-baru ini, model papan atas Catherine Wilson berurusan dengan pihak berwajib karena penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Perempuan yang akrab dipanggil Keket itu terciduk setelah polisi menemukan sepaket sabu-sabu dikediamannya. Saat diperiksa, Keket positif menggunakan metamfetamin, jenis psikotropika golongan II. Nama Catherine Wilson menambah daftar panjang selebritis tanah air yang terjerat kasus narkotika.
Selebritis dan kehidupan bebas ibarat satu paket. Salah satu rupa gaya hidup bebas itu mewujud dalam pemakaian narkotika. Dari masa ke masa, cukup banyak seniman maupun artis yang dikenal sebagai pemakai narkotika. Tidak sedikit pula yang meninggal karena overdosis. Zat candu berbahaya ini terdiri dari narkoba, psikotropika, dan obat-obatan terlarang Di luar kebutuhan medis, narkotika adalah barang haram. Namun, sejak kapan penyalahgunaan narkotika mulai marak di Indonesia?
“Masuknya narkoba modern ke Indonesia itu mulai awal tahun 70-an,” ujar Tama Bara Sakti, arsiparis di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) kepada Historia.
Generasi Bunga
Situasi global pada dekade 1970-an melahirkan generasi yang disebut kaum hippies. Mereka dikenal sebagai generasi antikemapanan yang menolak nilai-nilai konservatif Amerika. Gelombang protes terhadap keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam pada 1960-an jadi momentum kemunculan hippies. Simbol mereka adalah bunga sehingga kerap disebut sebagai generasi bunga (flower generation).
Baca juga: Kaum Anti Kemapanan
Kaum hippies identik dengan gaya hidup bebas, seperti aktivitas seks bebas dan konsumsi obat-obatan terlarang. Love, Peace, and Freedom (Cinta, Perdamaian, dan Kebebasan) adalah semboyan hippies yang terkenal. Grup band pop Inggris The Beatles dan gitaris rock kesohor Amerika Jimi Hendrix adalah musisi yang mendukung dan berpenampilan ala hippies. Jimmi Hendrix bahkan meninggal akibat overdosis obat penenang jenis barbiturat pada 1970.
Budaya hippies lalu mengular ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda, yang mengalami depolitisasi sejak awal Orde Baru, menyerap mentah-mentah budaya hippies kendati hanya kulitnya. Penetrasi kultur pop ini terutama menyasar kaum muda di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung.
Menurut Ekspres, 7 Juni 1971, mulanya anak-anak muda di negeri ini meniru hanya sebatas mode. Lama-lama mereka menyaplok habis budaya dan kehidupan hippies, seperti rambut gondrong, dandanan eksentrik, suka pesta, dansa telanjang, dan seks bebas. Yang paling membuat keadaan menggawat adalah penggunaan narkotika, ganja, dan morfin.
Baca juga: Virus Kaum Hippies
Kepala kepolisian RI, Jenderal Hoegeng Iman Santoso turut prihatin menyaksikan anak-anak muda yang terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika. Hoegeng mengakui invasi narkotika di Indonesia bersumber dari situasi global yang menyerang kalangan muda. Selain itu, menurut Hoegeng ancaman narkotika tidak luput dari persoalan domestik.
“Banyak anak-anak orang kaya yang mengalami broken home mencoba melarikan diri dari kepahitan hidup dengan jalan menjadi pecandu ganja, heroin, dan narkotika,” ujar Hoegeng kepada Abrar Yusra dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang disusun Ramadhan K.H.
Lahirnya Undang-Undang Narkotika
Menurut Hoegeng kekhawatiran terhadap ancaman narkotika cukup beralasan. Apalagi letak geografis Indonesia tidak jauh dari kawasan penghasil narkotika alami jenis ganja. Kawasan yang dimaksud Hoegeng adalah Indocina yang disebut-sebut sebagai segitiga emas daerah ganja. Lagi pula, Asia Tenggara merupakan daerah tropis dimana narkotika alami seperti ganja bisa tumbuh subur.
Baca juga: Aksi Penyamaran Hoegeng
Selain itu, pemasokan narkotika dilakukan lewat cara penyelundupan. “Mobilitas transportasi yang kian berkembang, memudahkan narkotika masuk ke Indonesia,” kata Tama, “bisa dilihat dari kasus-kasus tahun 70-an yang melibatkan pemalsuan paspor.”
Peredaran narkotika ditengah masyarakat generasi muda meluas dengan cepat. Tempat-tempat hiburan seperti klub malam jadi tempat rujukan transaksi narkotika meskipun ada juga pedagang rokok jalanan menyambi jualan ganja kecil-kecilan. Dari kota besar ke kota kecil. Dari kalangan menegah ke atas, lantas golongan ekonomi lemah pun jadi ikut-ikutan mencicip barang terlarang itu. Semuanya bermula dari rasa penasaran, coba-coba, lalu terjerumus pergaulan.
Menurut berita Kompas, 10 Juli 1975, pecandu narkotika di Indonesia mencapai 5000 orang. Para pecandu itu menghabiskan uang sebesar 10,8 milyar rupiah untuk memuaskan candu mereka terhadap berbagai jenis narkotika. Karena kelangkaannya narkotika menjadi barang yang mahal. Pada masa itu 1 kilogram morfin, narkotika semisintesis yang lebih dikenal dengan nama putaw dihargai sebesar 15 juta rupiah. Nilai yang cukup fantastis untuk menebus candu. Sebagai bandingan, harga sekilogram beras pada tahun 1975 senilai 45 rupiah.
Baca juga: Kisah Hoegeng dan Anak Menteri
Memasuki 1976, kepolisian menggelar operasi besar-besaran untuk memberantas penyalahgunaan narkotika. Langkah awal dilakukan lewat “Operasi Gurita” pada 21 April–3 Juni. Namun, upaya itu masih belum cukup menekan laju peredaran narkotika. Hingga pertengahan 1976, jumlah korban narkotika di Jakarta saja mencapai 10.000 orang.
Sayangnya, belum ada pisau hukum yang cukup tajam untuk menguliti kasus-kasus penyalahgunaan narkotika. Hal inilah yang kemudian mendorong pemerintah meregulasi narkotika ke dalam undang-undang. Maka pada 26 Juli 1976, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.
Baca juga: Eksekusi Mati Pertama Terpidana Kasus Narkoba di Indonesia
Dengan adanya undang-undang itu, pemerintah memberikan wewenang pengolahan narkotika hanya kepada otoritas kesehatan dan medis. Menteri kesehatan, misalnya dapat memberikan izin khusus kepada apotek, dokter, rumahsakit, maupun lembaga ilmu pengetahun dan pendidikan yang memerlukan bahan narkotika untuk kepentingan pengobatan. Sementara itu bagi mereka yang tidak berwenang, si penyalahguna narkotika dapat dipidana bahkan dengan ancaman hukuman mati.
“Penegakan hukum (kasus penyalagunaan narkotika) bisa dilakukan jika ada dasarnya. Dengan adanya Undang-Undang Narkotika itu, aparat hukum leluasa melakukan penindakan,” pungkas Tama.