BANDAR narkoba Freddy Budiman menjadi yang pertama dieksekusi mati pada Jumat, 29 Juli 2016, pukul 00.45 WIB di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan Nusakambangan, Jawa Tengah. Namun, dalam sejarah Indonesia terpidana kasus narkoba pertama yang dieksekusi adalah warga negara Malaysia, yaitu Chan Ting Chong alias Steven Chan atas kepemilikan 420 gram heroin.
Kasusnya bermula dari penangkapan Maniam Manusamy, seorang Malaysia, di Hotel City, Jakarta, pada 1985. Manusamy mengaku melakukannya karena dibayar Chan Ting Chong, seorang pengusaha Malaysia. Sekalipun menyangkal keterlibatannya, Chan ditangkap dan divonis hukuman mati pada Januari 1986. Sementara Manusamy dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Pada Agustus 1986 Manusamy mengirim surat ke Mahkamah Agung, menyatakan bahwa dia memberikan keterangan palsu. Namun bukti baru ini tak mempengaruhi hukuman mati. Upaya banding Chan ditolak Mahkamah Agung pada 1990 dan grasinya ditolak pada 1991.
Chan dieksekusi regu tembak pada 13 Januari 1995 di kawasan Cibubur, Jakarta Timur. Dia adalah orang pertama yang dihukum mati di Indonesia sejak UU Narkotika diperkenalkan pada 1976. Eksekusi mati Chan dilakukan setelah lima tahun eksekusi mati terhadap Basri Masse di Malaysia, atas kepemilikan 935 gram ganja kering (Baca: Kisah Basri Masse, Warga Indonesia yang Dihukum Mati Malaysia).
“Banyak orang Indonesia dan Malaysia percaya bahwa eksekusi Chan Tin Chong sebagai balasan atas eksekusi Basri Masse,” tulis Sidney Jones dalam Making Money off Migrants: The Indonesian Exodus to Malaysia.
Menurut Poengky Indarti, direktur eksekutif Imparsial, lembaga nonpemerintah yang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dalam rilisnya 18 Januari 2015, sejak Chan Tien Chong, pemerintah Indonesia terus melakukan eksekusi mati dalam kasus narkoba. Namun Indonesia menerapkan standar ganda. Di dalam negeri pemerintah mempraktikkan hukuman mati, sedangkan di luar negeri mengajukan pengampunan jika ada warganya dihukum mati.
“Ini justru merugikan Indonesia dalam diplomasi internasional untuk melindungi warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati,” ujar Poengky.
[pages]