Masuk Daftar
My Getplus

Nasib Dokter Dulu dan Kini

Ribka Tjiptaning memprotes perilaku pertugas layanan kesehatan yang mencari keuntungan dari pasien. Nasib yang kontras dialami dokter Jawa era kolonial.

Oleh: Nur Janti | 12 Nov 2019
Ilustrasi dokter Jawa (duduk di bawah mengenakan jarik) dan dokter Eropa. Sumber: Dukun dan Mantri Pes.

VIDEO berisi kritikan anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning tentang pelaksanaan BPJS Kesehatan viral beberapa waktu lalu. Dalam video itu, Ribka menyampaikan, layanan BPJS Kesehatan belum ideal bagi rakyat dan adanya perilaku diskriminatif dari para petugas medis ke pasien mereka.

Ribka juga menyampaikan bagaimana celah dokter mencari untung dari orang-orang yang berobat. Menurut Ribka, dokter tak seharusnya menjadikan profesinya sebagai ajang bisnis karena layanan kesehatan seharusnya berorientasi sosial, bukan komersil.

“Saya pernah disomasi oleh IDI karena mereka sakit hati dengan pernyataan saya. Saya bilang dokter lebih jahat dari polisi. Polisi menilang orang sehat, tapi dokter menilang orang sakit,” kata Ribka.

Advertising
Advertising

Kritik Ribka itu berbanding terbalik dengan kondisi petugas layanan kesehatan di era kolonial. Nasib dokter Jawa di era kolonial amat kontras dengan dokter sekarang. Dulu, pendapatan mereka amat minim dan sering mengalami kesewenang-wenangan.

Baca juga: 

Mula Dokter Masuk Bisnis Kecantikan

WK Tehupeiory, seperti dicatat Hans Pols dalam Nurturing Indonesia, menjadi ahli kesehatan pribumi pertama yang mengemukakan pendapat tentang nasib dokter Jawa. Para ahli medis pribumi mengalami beragam perlakukan tak adil. Seorang dokter Jawa pernah mengeluh pada Tehupeiory bahwa ia tidak diberi akses pada obat-obatan lantaran kunci lemarinya dipegang dokter Eropa setempat.

Selain mendapat diskriminasi, para dokter Jawa juga tidak menerima upah layak. Setelah lulus, dokter Jawa diwajibkan bekerja pada layanan medis kolonial selama 10 tahun. Masa kerja wajib yang lama ini tidak dibarengi dengan gaji yang mencukupi. Pendapatan para dokter Jawa bahkan lebih rendah dari pegawai yang kurang berpendidikan.

Para dokter Jawa juga diperlakukan sewenang-wenang oleh pasien kelas atas mereka. Watak feodal ini membuat orang dengan posisi lebih rendah (dokter Jawa) tidak bisa meminta bayaran pada orang yang posisinya lebih tinggi. Padahal secara umum, pasien pribumi kebanyakan datang dari kelas atas, lantaran pribumi kelas bawah kebanyakan berobat ke dukun.

Baca juga: 

Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi

Menurut Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market, dukun punya bayaran yang cukup baik. Mereka dibayar dalam bentuk uang, barang, atau jasa. Dalam catatan pegawai sipil pemerintah kolonial E. Francis, di Lampung seorang dukun pria menerima 6-12 'oewang' (koin sepuluh sen) dari menyunat seorang anak laki-laki. Sementara, untuk pasien anak perempuan, dukun perempuan menerima 3 oewang atau seikat benang bernilai sama.

Nasib beberapa dokter Jawa lebih apes. Pada 1904 seorang residen melaporkan bahwa di wilayahnya, dokter Jawa hampir tak pernah menerima bayaran atas jasa yang mereka berikan pada pegawai pribumi. Sementara, pasien Eropa jarang sekali menggunakan jasanya karena lebih memilih berobat ke dokter Eropa.

Dokter Jawa akhirnya sering tak menarik biaya atas jasanya. Mereka khawatir niatnya disalahpahami. Maksud hati ingin meminta bayaran sebagai bagian dari profesionalitas, salah-salah malah kena semprot oleh pasien aristokratnya.

Baca juga: 

Dokter Indonesia Pertama Lulusan Belanda

Dalam ceramahnya di Pertemuan Umum Para Dokter, di Batavia, Tehupeiory menggambarkan ketiadaan dukungan dari kantor residen pada dokter Jawa yang sering tidak dibayar itu. Rupanya orang Eropa sangat marah bila seorang dokter pribumi berani mengirimi faktur. Pasien Eropa tersebut lantas mengeluh kepada sekretaris di kantor residen untuk memberi hukuman pada si dokter Jawa. Namun, si dokter Jawa tidak terintimidasi dan menjawab, pegawai Eropa tersebut tak punya hak untuk dirawat secara cuma-cuma. Ia pun menyebarkan cerita itu kepada rekan-rekannya, termasuk Tehupeiory.

Kerisauan tentang perilaku pasien kelas atas dan Eropa yang tak mau membayar itu akhirnya sampai ke “telinga” pemerintah. Sebagai tindak lanjut, Sekretaris-Jenderal Pertama Paulus mengeluarkan surat edaran kepada kepala pejabat Departemen Administrasi Sipil Umum dan Kepala Pemerintahan Daerah. Isinya, pemerintah mengutuk perilaku pegawainya yang memanfaatkan pangkat untuk menghindari biaya layanan medis.

“Pemerintah menganggap tidak pantas jika pejabat mengambil keuntungan dari kesalahpahaman atau prasangka yang ada, agar dilayani secara gratis padahal mereka tidak memiliki hak untuk mendapat layanan kesehatan gratis,” tulis Paulus dalam surat edaran, dikutip Liesbeth Heeselink.

Baca juga: 

Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa

Namun, imbauan tersebut tidak menghapus kebiasaan para pejabat pribumi dan pegawai Eropa yang suka berobat gratisan. Dokter Jawa yang tidak dibayar tetap masih ada.

TAG

sejarahkesehatan dokter kolonial

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Tolo' Sang "Robinhood" Makassar Produk Hukum Kolonial Terekam dalam Arsip Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Mengeksplorasi Max Havelaar lewat Karya-karya Seni Rupa Sepuluh Warisan Kolonial yang Meresahkan Thierry Baudet: Harusnya Indonesia Masih Jajahan Belanda Riwayat Erasmus Huis: Peran Baru Sebuah Pusat Kebudayaan (1970-Sekarang) Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat