Masuk Daftar
My Getplus

Di Balik Operasi Bayi Biru yang Bersejarah

Operasi bayi biru tak hanya dipandang sebagai peristiwa bersejarah dalam dunia kedokteran, tetapi juga menjadi gambaran bagaimana rasisme dan diskriminasi dialami penduduk Amerika keturunan Afrika.

Oleh: Amanda Rachmadita | 17 Sep 2024
Vivien Thomas (kiri) memberikan instruksi dari belakang ahli bedah Alfred Blalock ketika operasi bayi biru yang bersejarah tengah berlangsung pada November 1944 di John Hopkins, Amerika Serikat. (Wililiam S. Stoney, Pioneers of Cardiac Surgery.)

Film Something the Lord Made yang dirilis pada 2004 diadaptasi dari sebuah peristiwa bersejarah dalam dunia kedokteran, yaitu operasi bayi biru yang dilakukan seorang ahli bedah bernama Alfred Blalock di John Hopkins, Amerika Serikat pada November 1944. Dalam film yang disutradarai Joseph Sargent itu dikisahkan Blalock, diperankan aktor kawakan Inggris Alan Rickman, menerima tantangan untuk melakukan operasi terhadap seorang bayi perempuan berusia delapan belas bulan yang sakit parah dengan penyakit jantung sianotik yang fatal. Kelainan jantung ini menyebabkan tubuh pasien mungil tersebut tampak membiru.

Menurut dokter bedah jantung, Wililiam S. Stoney dalam Pioneers of Cardiac Surgery, istilah “bayi biru” menggambarkan pasien dengan kelainan jantung bawaan yang mengedarkan darah arteri yang tidak jenuh. Hal ini menyebabkan perubahan warna kebiruan pada anak, yang paling terlihat pada bibir, mata, dan kuku. Meskipun terdapat banyak kelainan jantung yang menyebabkan “penyakit jantung sianotik”, namun yang paling umum terjadi setelah masa bayi adalah Tetralogy of Fallot (ToF), yang dinamai sesuai nama dokter Prancis, Etienne Fallot, yang pertama kali mendeskripsikannya secara akurat pada 1888. Dua ciri penting yang berkaitan dengan ToF adalah terhalangnya aliran darah ke paru-paru (stenosis paru) dan defek septum ventrikel yang besar (celah di antara dua bilik pemompaan jantung), yang memungkinkan darah vena biru disalurkan ke dalam sirkulasi sistemik.

“Pasien dengan kondisi ini memiliki toleransi olahraga yang rendah, gagal tumbuh secara normal, dan mungkin sering pingsan. Sebelum operasi Blalock yang di kemudian hari dikenal dengan Blalock–Taussig shunt marak dilakukan, sebagian besar pasien kelainan jantung ini memiliki harapan hidup yang sangat terbatas, dan banyak yang meninggal pada masa bayi atau masa kanak-kanak; hanya sedikit yang hidup lebih dari usia empat belas tahun,” tulis Stoney.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Yang Pertama dari Kedokteran Indonesia

Dorongan untuk melakukan prosedur pembedahan terhadap pasien kelainan jantung muncul dari seorang dokter bernama Helen Taussig yang bertanggungjawab atas klinik jantung di Harriet Lane Home, sebuah rumah sakit untuk anak-anak di Hopkins. Wanita yang lulus dari Fakultas Kedokteran John Hopkins pada 1927 itu melakukan penelitian terkait kelainan jantung yang diidap anak-anak, dan secara bertahap menyadari bahwa beberapa anak dengan penyakit jantung sianotik dapat sembuh dengan baik selama duktus arteriosus tetap terbuka.

Tetapi jika tertutup, penurunan yang cepat, dan kematian cenderung terjadi. Jika bayi dengan ToF baik-baik saja hingga duktus menutup, Taussig berpandangan bahwa masalah utama dari kelainan ini adalah penurunan aliran darah paru, dan bukan cacat septum ventrikel yang terjadi bersamaan. Atas dasar ini, ia mencoba meyakinkan sejumlah ahli bedah untuk mengembangkan sebuah prosedur pembedahan yang memungkinkan untuk membuat duktus buatan, atau membuat duktus terbuka. Namun, tak semua dokter dan ahli bedah berani mengambil risiko. Sejarawan A. Bowdoin van Riper dalam A Biographical Encyclopedia of Scientists and Investors in American Film and TV Since 1930 menyebut terdapat sebuah kebijksanaan medis yang sudah ada sejak zaman dahulu kala yakni larangan untuk menyentuh jantung.

Potret Alfred Blalock (kiri), Helen Taussig (tengah), dan Vivien Thomas (kanan). Wililiam S. Stoney, Pioneers of Cardiac Surgery.

Meski begitu bukan berarti operasi jantung belum pernah dilakukan sama sekali. Ugo Filippo Tesler mencatat dalam A History of Cardiac Surgery: An Adventurous Voyage from Antiquity to the Artificial Heart bahwa ahli bedah Jerman, Ludwig Rehn berhasil menyelamatkan nyawa seorang pria yang terluka di bagian jantung melalui sebuah operasi pada 1896. Keberhasilan operasi ini mengakhiri kepercayaan yang tersebar luas, yang dianut hanya beberapa bulan sebelumnya oleh para ahli bedah yang paling terkenal pada saat itu, Stephen Paget di London dan Theodor Billroth di Wina, bahwa alam telah menempatkan jantung di luar jangkauan pembedahan. Billroth dikaitkan dengan pernyataan bahwa “setiap ahli bedah yang akan mencoba melakukan operasi pada jantung akan kehilangan rasa hormat dari rekan-rekannya”, sementara Paget, dalam bukunya Surgery of the Chest (1896), tahun yang sama dengan operasi Rehn, telah menulis bahwa “Pembedahan jantung mungkin telah mencapai batas yang ditentukan oleh alam untuk semua pembedahan: tidak ada metode baru dan tidak ada penemuan baru yang dapat mengatasi kesulitan alami yang menyertai luka pada jantung”.

Tantangan yang diajukan Taussig pada akhirnya diterima oleh Blalock. Suatu hari ketika tengah berbicara di ruang kuliah Universitas John Hopkins yang penuh mahasiswa muda, ia menulis sebuah frasa Latin noli tangere, yang berarti jangan sentuh. “Kita akan menantang mitos doktrin kuno ini di sini, di rumah sakit ini,” katanya. “Siapa yang ingin hadir?” Para dokter muda menatapnya,…dan dua orang yang menjadi sukarelawan –Dr. William P. Longmire dan Denton Cooley, keduanya akan menjadi ahli bedah terkemuka di masa depan– mengangkat tangan mereka,” tulis van Riper.

Baca juga: 

Candradimuka Dokter Jawa

Meski operasi ini dilakukan oleh Alfred Blalock, tokoh lain yang tak kalah penting dan berperan besar dalam kesuksesan operasi bayi biru adalah seorang pria Afrika-Amerika bernama Vivien Thomas. Pria kelahiran Louisiana 29 Agustus 1910 itu telah bekerjasama dengan Blalock sejak tahun 1930-an, ketika ahli bedah itu masih menjabat sebagai kepala laboratorium di Universitas Vanderbilt. Saat Blalock mendapat tawaran untuk menjadi kepala ahli bedah dan ketua Departemen Bedah di Universitas John Hopkins pada 1940, ia mengajak serta Thomas untuk bergabung bersamanya.

Tim Blalock, dengan Thomas yang melakukan sebagian besar pekerjaan laboratorium, melanjutkan penelitian mereka tentang syok bedah dan operasi kardiovaskular. Secara khusus, mereka membahas fenomena yang terjadi di masa Perang Dunia II yang dikenal sebagai crush syndrome, di mana orang-orang yang tertimpa reruntuhan mengalami tekanan darah tinggi dan mengalami syok. “Meskipun pekerjaan Thomas dalam proyek ini telah menarik perhatian pemerintah AS, namun peran yang ia mainkan dalam meneliti bayi biru yang membuatnya mendapat tempat dalam sejarah kedokteran,” tulis Lloyd Ackert dalam African American Lives.

Alat bedah yang dirancang Vivien Thomas untuk digunakan Alfred Blalock saat melakukan operasi. Exhibits: The Sheridan Libraries and Museums, diakses pada 17 September 2024, (https://exhibits.library.jhu.edu/items/show/1640).

Ketika Blalock bersiap-siap untuk melakukan prosedur pembedahan terhadap bayi biru, ia melihat ke sekeliling ruang operasi dan menyadari bahwa asisten laboratoriumnya, Vivien Thomas, tidak ada di sana. Meskipun para tenaga medis lain di ruangan itu kebingungan, Blalock bersikeras agar Thomas diizinkan masuk ke ruang operasi untuk memberinya petunjuk. Pada saat operasi, Blalock hanya memiliki sedikit pengalaman dengan prosedur ini, sementara Thomas telah berhasil menyelesaikan prosedur ini puluhan kali pada hewan. Saat Blalock melakukan manuver pada jantung bayi, Thomas yang berdiri di belakangnya membisikkan instruksi.

Partisipasi Thomas dalam operasi penting ini memberikan sebuah gambaran menarik terkait rasisme dan diskriminasi yang dialami warga kulit hitam di Negeri Paman Sam. F. Michael Higginbotham menulis dalam Ghost of Jim Crow: Ending Racism in Post-Racial America, karena berkulit hitam, Thomas biasanya tidak diizinkan masuk ke ruang operasi, dan terpaksa menggunakan pintu terpisah untuk masuk ke rumah sakit universitas. Selain itu, jabatan resmi Thomas pada awalnya adalah “petugas kebersihan”. Penelitian Blalock yang sukses dan dianggap sebagai inovasi medis yang menjadi perintis ilmu di masa kini juga kebanyakan merupakan hasil kerja Thomas. Sebab, Thomas tidak hanya menyempurnakan prosedur operasi, tetapi juga merancang sebuah alat bedah baru untuk Blalock.

Baca juga: 

Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda

“Sayangnya, meskipun Blalock mampu menegosiasikan kompensasi yang layak untuk Thomas, ia tidak banyak mengakui kontribusi Thomas di ruang operasi. Baru pada 1970-an, hampir tiga puluh tahun setelah operasi terobosan awal, dan beberapa tahun setelah kematian Blalock, Thomas akhirnya diakui atas prestasinya –potret Thomas dipajang dan digantung di rumah sakit, dan dia dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh John Hopkins, serta diangkat ke sebuah posisi di fakultas kedokteran Hopkins,” tulis Higginbotham.

Sementara itu, keberhasilan operasi bayi biru memberi harapan bagi banyak orang tua untuk kesembuhan putra-putri mereka. Tak butuh waktu lama hingga banyak orang tua berdatangan ke Rumah Sakit John Hopkins untuk menjadwalkan operasi buah hatinya. Di sisi lain, tak hanya berhasil mengubah paradigma dalam dunia bedah, operasi bayi biru juga dipandang sebagai titik awal munculnya spesialisasi bedah jantung.

“Para ahli jantung dan masyarakat mengakui bahwa operasi menawarkan solusi bagi anak-anak dengan penyakit jantung sianotik. Keberhasilan operasi ini mendorong penyelidikan kelainan jantung lainnya dan sejarah alamiahnya, dan hasilnya adalah peningkatan yang signifikan dalam akurasi diagnostik dan prognosis, serta penurunan yang stabil dalam risiko pembedahan,” tulis Stoney.*

TAG

kedokteran

ARTIKEL TERKAIT

Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda Peran Calon Dokter dari Indonesia Timur dalam Kemerdekaan Dr. Raden Rubini Natawisastra, Pahlawan Nasional dari Kalimantan Barat Jejak J.A. Kaligis, Dokter Hewan Bumiputra Pertama Awal Mula Dokter Hewan di Indonesia Sardjito dan Biskuit Anti Lapar untuk TNI Sardjito Memimpin Institute Pasteur Sardjito, Dokter Revolusi Indonesia Lama Wabah di Masa Lalu Peran Radjiman Wedyodiningrat sebagai Dokter Keraton