Perploncoan dalam Pendidikan Kedokteran Zaman Belanda
Mungkinkah bullying dan senioritas dalam dunia kedokteran berakar pada perploncoan yang sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda.
PERPLONCOAN di sekolah kedokteran sudah terjadi sejak zaman Belanda. Mohammad Roem (1908–1983) menceritakan pengalamannya diplonco ketika masuk STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra) pada 1924. Bahasa Belandannya plonco adalah ontgroening. Kata groen artinya hijau. Murid baru adalah hijau, dan ontgroening dimaksudkan untuk menghilangkan warna hijau itu.
“Dia harus diberi perlakukan agar dalam waktu singkat menjadi dewasa, berkenalan dengan teman-teman seluruh STOVIA,” kata Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3.
Menurut Roem, perploncoan sudah bertahun-tahun dilaksanakan di STOVIA –didirikan tahun 1899–, tetapi belum pernah terdengar kejadian yang tidak sedap atau melampaui batas. Hal ini karena pengawasan yang ketat, sehingga ekses dapat dihindarkan.
“Pertama waktu-waktu dibatasi, tidak boleh memplonco di waktu belajar dan waktu istirahat. Masih banyak waktu di luar itu dan memang suasana ramai selama tiga bulan pertama itu,” kata Roem. Perploncoan berlangsung cukup lama sampai tiga bulan karena STOVIA adalah sekolah berasrama.
Baca juga: Candradimuka Dokter Jawa
Salah satu materi plonco yang rutin ditanyakan soal asal siswa. Waktu Roem menjawab orang Jawa, maka pertanyaan berikutnya apakah dia tahu alfabet Jawa. Kemudian dia harus mengucapkannya. Pertanyaan berikutnya, apakah dia dapat mengucapkan alfabet Jawa secara terbalik, dari belakang. Dia bisa, tapi sangat lambat. Seniornya meminta dia harus mengucapkannya sama lancarnya dari depan atau belakang. Malam itu, sesudah selesai pekerjaan sekolah, dia masih memerlukan setengah jam lebih untuk menghapalkan alfabet Jawa dari belakang ke depan.
“Perploncoan itu hanya dijalankan dalam tembok sekolah dan asrama, dan plonco tidak boleh digunduli,” kata Roem.
Setelah STOVIA ditutup tahun 1927, Roem masuk Geneeskundige Hooge School (GHS atau Sekolah Tinggi Kedokteran), tetapi tidak lulus. Roem kemudian kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) hingga mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr.) atau Sarjana Hukum. Setelah Indonesia merdeka, Roem menjabat menteri dalam negeri, menteri luar negeri, dan wakil perdana menteri.
Sementara itu, buku 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia, 1851–1976 menerangkan bahwa mahasiswa baru harus menjalani perploncoan yang berat, tetapi semua peraturan mengenai perploncoan dilaksanakan oleh Panitia Perploncoan dengan teguh dan ketat. Begitu pula hampir semua senior ikut hadir untuk mengawasi agar segalanya berjalan teratur dan disiplin. Pada waktu jam kuliah antara 8.00–13.00 perploncoan tidak diperbolehkan. Aktivitas terdiri dari perkenalan dengan para senior di rumahnya atau di balai pertemuan yang dinamakan “Kroeg”.
Jikalau si plonco berada di rumah senior pada waktu makan malam biasanya sang senior menyediakan makan dan justru pada makan bersama ini terjalin suasana akrab antara senior dan plonco. Jam 10 malam semua perploncoan berakhir dan plonco harus pulang. Pada perploncoan tidak pernah terdengar kata-kata yang tidak senonoh dan tidak sopan.
Baca juga: Kisah Plonco Sejak Zaman Londo
Namun, ada perploncoan yang paling berat yaitu donderjool atau “gojlogan” (penggemblengan secara fisik) yang diadakan di “Kroeg”. Plonco-plonco harus berenang di atas ubin yang sudah dilicinkan dengan sabun hijau, kepala disirami dengan minyak ikan dan segala macam makian dilontarkan dengan suara menggeledek. Donderjool ini diadakan dua kali selama perploncoan yang berlangsung dua minggu.
Beratnya menghadapi perploncoan sempat membuat seorang siswa ingin berhenti. Muwardi (1907–1948), kelak dikenal sebagai tokoh pemuda pemimpin Barisan Pelopor, tidak kuat diplonco dan ingin pulang. Mulyono dalam biografi Dr. Muwardi menyebut kira-kira seminggu sesudah Muwardi berada di Jakarta, orang tuanya berkirim surat kepadanya, memberi nasihat agar belajar sebaik-baiknya, bersikap sopan terhadap siapa saja, pandai membawa diri dan sebagainya.
“Ternyata surat tersebut dijawab oleh Muwardi dengan pernyataan antara lain bahwa dia merasa tidak tahan berada di Jakarta dan belajar di STOVIA. Pernyataan ini sebenarnya timbul hanya karena dia sedang diplonco,” tulis Mulyono.
Mulyono menyebut perploncoan pada zaman penjajahan Belanda kadang-kadang sampai menyerupai penyiksaan lahir batin, dengan maksud agar mahasiswa-mahasiswa mempunyai sifat tahan uji terhadap kesulitan yang dihadapi dalam masa studinya di perguruan tinggi. Pada masa itu, STOVIA juga mempraktikkan tradisi itu di mana Muwardi juga terkena ketentuannya.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Perploncoan di UI
Karena keluhan putranya, Sastrowardoyo lalu berkirim surat untuk menguatkan putranya agar sabar dan tabah terhadap segala ujian yang dihadapi, supaya cita-citanya dapat tercapai. Selain itu, salah seorang teman Muwardi yang sama-sama berasal dari Pati dan duduk di tingkat II STOVIA juga memberi nasihat, agar dia tidak putus asa hanya karena perploncoan yang harus dijalani, sebab perploncoan itu tidak berlangsung lama. Karena nasihat itu Muwardi menjadi kuat dan tabah.
“Dalam studinya dia selalu mencapai prestasi baik, tidak ada mata pelajaran yang tidak diserapnya dengan sempurna,” tulis Mulyono.
Muwardi lulus dari GHS, perubahan dari STOVIA, dan menjadi dokter pada 1 Desember 1933. Buku Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Volume 4 menyebut kecerdasan Muwardi selalu diingat gurunya, sehingga dia ditawari menjadi asisten profesor pada GHS. Dia menerima tawaran itu dengan syarat dia memperoleh kesempatan belajar untuk menjadi spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan). Persyaratan itu disetujui dan keinginan Muwardi menjadi spesialis THT pun tercapai. Dia kemudian bekerja di rumah sakit CBZ (Centrale Burgerlijke Ziekenhuis) yang kini RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar