Masuk Daftar
My Getplus

Tentang Sebuah Kesadaran

Perlunya mewaspadai sesat pikir tentang sebuah zaman. Boleh percaya, boleh tidak.

Oleh: Bonnie Triyana | 28 Mei 2014
Presiden Soeharto merokok cerutu di rumahnya, Jakarta, Desember 1967. Foto: Larry Burrows/LIFE.

INI surat yang terlambat dikirim. Ditulis dari berbagai tempat yang saya kunjungi selama di Eropa. Sebagian ditulis di Den Haag, sebagian di Hamburg dan Berlin, lantas dituntaskan di Amsterdam.

Dua minggu lalu saya bertemu Tatiana Lukman, putri MH Lukman, salah satu dari empat sekawan petinggi PKI pascakemerdekaan. Empat sekawan yang saya maksud adalah DN Aidit, Nyoto, Lukman dan Sudisman. Keempat orang itu tewas pascaperistiwa 1965.

Kendati tak muda lagi, Tatiana masih sangat produktif menulis buku. Sejumlah buku telah lahir dari tangannya, antara lain Panta Rhei, Pelangi dan Alternatif. Tinggal jauh dari Indonesia dan separuh lebih dari usianya hidup di luar negeri tak membuatnya kehilangan perhatian kepada Indonesia.

Advertising
Advertising

Tatiana belajar ke Tiongkok pada 1964. Namun revolusi kebudayaan pada 1966 membuat kuliahnya terhenti. Dari Tiongkok dia hijrah ke Kuba, belajar bahasa Spanyol dan Prancis di Universitas Havana. “Bahasa Spanyol sudah seperti bahasa ibu saya sendiri,” kata dia kepada saya.

Tatiana tidak sendiri di sini. Ada banyak orang Indonesia yang terpaksa harus tinggal di negeri Belanda ini karena terhalang pulang. Zaman Orde Baru dan kediktatoran Soeharto adalah masa paling kelam buat mereka (juga buat kita, tentu saja).

Sedikit saja orang tahu tentang cerita kelam Orde Baru. Dan babak sejarah yang kelam itu tenggelam oleh dongeng tentang kemakmuran dan murahnya harga barang-barang. Cerita sejarah yang penuh prahara itu lenyap tertimbun obrolan orang-orang tentang perut kenyang dan keadaan tenang, kendati harus takluk di bawah laras senapan.

Lantas apa bedanya dengan zaman penjajahan? Bahkan di zaman penjajahan pun sedikit orang saja yang sadar kalau mereka sedang hidup dijajah. Kesadaran memang harus diajarkan karena tak semua orang punya pengetahuan yang sama tentang arti sebuah zaman.

Ketika diadili di Landraad Bandung, Sukarno menjelaskan apa arti imperialisme yang saat itu tengah terjadi. Imperialisme, kata dia di depan hakim, “suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri, –suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ia tidak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapak perang, tak usah berupa ‘perluasan negeri daerah dengan kekerasan senjata’ sebagaimana yang diartikan oleh van Kol –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan ‘putar lidah’ atau cara ‘halus-halusan’ saja, bisa juga dengan berjalan dengan cara ‘penetration pacifique’.”

Sukarno dan segelintir orang segenerasinya adalah kaum terpelajar yang sadar bahwa mereka hidup dalam penjajahan. Kesadaran itu datang karena mereka tak hanya membaca buku, tapi melihat kenyataan yang terjadi di sekitarnya. Kesadaran terbangun lantas menjadi bahan bakar untuk melawan sistem yang sedang menindas diri mereka dan masyarakat di mana mereka berada.

Tentu tak semua mau hidup nekat seperti Sukarno dan kawan-kawannya. Sukarno, kalau mau, bisa saja jadi pegawai pemerintah kolonial. Seperti juga Bung Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka. Hidup enak dan nyaman. Tapi mereka memilih jalan lain. Kesadaran tentang sebuah keadaan menjadi penting untuk memahami tentang apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan.

Sekarang, orang-orang sedang mengenang nikmatnya hidup di zaman Orde Baru. Entah sedang mimpi atau sedang sadar, entahlah. Sedikit saja yang tahu, atau kalaupun tahu, sengaja mengabaikannya. Sekarang, orang merindukan sosok pemimpin tegas: kayak Soeharto, katanya.

Terkadang itu yang bikin bingung, apa arti seorang pemimpin tegas dalam sistem demokrasi yang dianut oleh negeri dengan 250 juta lebih rakyat? Apa artinya seorang presiden tegas yang berkuasa dalam sistem setengah presidensial tapi juga semi-semi parlementer? Saya cemas, jangan-jangan banyak orang kepleset pikir kalau bentuk ketegasan pemimpin yang mereka rindukan adalah gaya otoriter yang pernah ditunjukan oleh Soeharto.

Untuk soal ini, saya teringat cerita Rosihan Anwar soal bagaimana pemerintah Orde Baru menangani pers seusai peristiwa Malari 1974. Suatu hari, tak lama setelah insiden tersebut, Menteri Penerangan Mashuri SH lapor pada Presiden Soeharto tentang bagaimana harusnya menyikapi koran-koran yang kritis, seperti Pedoman dan Indonesia Raya. Pedoman milik Rosihan, sementara Indonesia Raya dinakhodai oleh Mochtar Lubis. 

Dengan tegas dan pasti, Soeharto menjawab, “Wis, pateni wae”. Simsalabim, maka dua koran itu pun dibredel, dipateni alias dibuat mati. Bagaimana? Masih rindu masa Orde Baru? Kalau soal harga murah, tentu semua juga rindu, termasuk saya. Persoalannya, apakah perlu menciptakan zaman serba enak sambil main gebuk, culik, tangkap dan bunuh? Buat saya... sorry... elu-gue, end!

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Akhir Kisah Raja Lalim Pawang Hujan dalam Pernikahan Anak Presiden Soeharto Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Ayah Fariz RM Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh