Masuk Daftar
My Getplus

Tak Ada Lauk untuk Tapol Moncongloe

Tahanan politik mengisahkan susahnya hidup di kamp dalam cerita pendek dan surat untuk orangtuanya.

Oleh: Eko Rusdianto | 30 Sep 2015
Kamp Inrehab Moncongloe, Sulawesi Selatan.

SEPANJANG tahun 1971-1972 udara di kamp pengasingan Moncongloe Sulawesi Selatan begitu terik. Tanah-tanah seperti terbakar, sungai mengering, singkong begitu susah bertumbuh. Daun-daun liar yang dijadikan sayur semua mati. Kemarau panjang.

A.M. Hustin, tapol (tahanan politik) dari Barru seorang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, menceritakan kisah itu melalui cerita pendek, sepanjang sembilan halaman. Menulis dengan tangannya sendiri dengan tinta hitam. Judulnya Pesta Laron di Malam Natal. “Dan memang sesuai dengan keadaan dan keberadaan kami sebagai orang tahanan yang serba krisis dan tak berpunya untuk suatu pesta yang mewah. Sudah setahun lamanya kami tak mendapat sayur dan ikan dari dapur umum,” tulisnya.

Hustin, menulis kisah ini pada 1972, usai melakukan perayaan Natal di gereja dalam kawasan kamp. Dia menggambarkan, kondisi para tahanan ketika kembali ke barak. Semua tak bisa tertidur. Tahanan-tahanan itu melamun, membuat kelompok-kelompok kecil dan mulai bercerita pengalaman masa lalu.

Advertising
Advertising

Para tapol, mengingat gulai ayam, makanan yang lezat, serta kegembiraan malam Natal. Tapi, di kamp semua hanya hayalan. “Kami hanya mendapat beras satu belek susu untuk satu hari dan garam satu belek susu untuk satu bulan.”

“Rumput yang biasa kami gunakan sebagai sayur dari hutan seperti sentrium dan lempuyang dan daun-daun ubi di kebun, seluruhnya belum bertunas akibat kemarau yang sangat panjang di tahun ini.”

“Sayur yang dibawa oleh para kelontong dari kota, tak mampu kami beli, kami miskin melarat. Ya! Nasib tahanan.”

Akhirnya dengan rasa lapar, para tahanan baik yang beragama Nasrani dan Muslim, menjadikan laron sebagai hiburan. Laron-laron yang mengerubungi lampu stromking dikumpulkan. “Semua alat-alat seperti rantang, ember, panci,  digunakan dan demikianlah peristiwa ini kami lalui dengan gembira. Sehingga tanpa disadari lonceng dipukul oleh kawan-kawan petugas jaga malam berbunyi empat kali sebagai pertanda bahwa subuh sudah tiba,” tulis Hustin.

[pages]

Sementara pembentukan koperasi dalam kamp, untuk meningkatkan kesejahteraan para tapol ditukarkan dengan gula, sabun, ataupun pasta gigi. Namun, hasil penjualan bambu, kayu dan batu gunung diserahkan pada petugas kamp.

Keberadaan koperasi ini digambar oleh Munir, salah seorang tapol, melalui surat-surat pribadinya ke orang tua. Taufik dalam Kamp Pengasingan Moncongloe mengutip isi surat tersebut, “Sedikit saya memberikan bayangan sebagai salah satu cara untuk meringankan saya ialah bahwa di sana (Moncongloe) kami ada mempunyai koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari tapol semua dari pelaksananya (pengurusnya) dari tapol juga tapi akan pengawasan pertugas (CPM). Dari berbagai sektor kegiatannya telah berlangsung kira-kira tiga tahun ini, antara lain menerima uang titipan (simpanan) dari anggota dengan punya imbalan jasa (bunga) 5 persen sebulan. Sangat menarik perhatian saya kehidupan sebagian teman-teman saya telah menempuh jalan ini, dimana mereka telah boleh mengatur hidupnya walaupun sederhana mungkin dengan uang hasil titipan mereka di koperasi.”

“Dengan maksud inilah, mendorong saya mendatangi ayah bunda lewat surat ini kiranya restu dan sekaligus layanan cinta kasih dari ibu bapak untuk meringankan kesehatan dan fisik saya yang semakin hari semakin buruk. Kiranya hak itu termakan di hati ayah bunda dan tidak akan terlalu menyulitkan pengusahaannya maka anakda mengincar-incar kalau ada Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah) berarti sudah mendapat imbalan Rp1000 (seribu rupiah) setiap bulan.”

“Seribu tiap bulan ini akan menolong kehidupan saya dalam arti semuanya mungkin, tetapi yang pasti sebaiknya kontinyu (tidak terputus) daripada kiriman yang insidentil walapun mungkin dalam jumlah banyak, tetapi sulit diatur (direncanakan).”

Pembangunan kamp Moncongloe untuk menempatkan tapol bagi masyarakat yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun organisasi di bawah naungan partai di tempatkan di salah satu kawasan terpencil bernama Mocongloe –yang saat ini masuk dalam kawasan Kabupaten Gowa.

Kamp ini pertama kali dirintis tahun 1969. Pola pemanfaatannya dinyatakan sebagai program transmigrasi lokal. Pada Maret 1969, 11 orang tapol dari Makassar diberangkatkan ke Moncongloe, masing-masing tujuh orang laki-laki dan empat orang perempuan. Beberapa bulan kemudian tapol lain didatangkan sebanyak 44 orang. Dan pada akhir 1969, fasilitas kamp sudah selesai. Dimana terdapat barak laki-laki ukuran 6 x 20 meter sebanyak empat buah, barak wanita 1 buah, tempat piket, 1 buah poliklinik, masjid ukuran 7 x 10 meter, gereja ukuran 7 x 10 meter, aula 6 x 20 meter, koperasi, dan lapangan upacara. Dengan luas keseluruhan kamp adalah 150 meter persegi.

Hingga akhir tahun 1971, jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki. Rinciannya sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar, dan selebihnya saat mejelang pemilihan umum tahun 1971 didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Susu Indonesia Kembali Ke Zaman Penjajahan Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Perjuangan Pasangan Sutomo dan Sulistina dalam Masa Revolusi Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Kisah Tukang Daging yang Menipu Bangsawan Inggris Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan