Masuk Daftar
My Getplus

Sukarno, Pan Am, dan CIA (2)

Operasi CIA dan Pan Am dalam mengawasi Sukarno. Mendapatkan sampel kotorannya untuk mengetahui penyakitnya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 09 Nov 2020
Kiri-kanan: Laura Cameron (Margot Robbie), Jonah Lotan, dan Kate Cameron (Kelli Garner), pramugari yang bekerja untuk CIA di film seri Pan Am (2011). (imdb.com).

Televisi ABC menayangkan film seri tentang maskapai penerbangan Amerika Serikat, Pan Am, tahun 1960-an. Fokus ceritanya pada para pramugari, yaitu Maggie Ryan (Christina Ricci), Kate Cameron (Kelli Garner), Laura Cameron (Margot Robbie), dan Collete Valois (Karine Vanasse).

Masing-masing memiliki karakter dan peran berbeda. Bahkan, Kate Cameron bekerja pada CIA (Central Intelligence Agency atau Dinas Intelijen Amerika Serikat) untuk menyampaikan informasi atau barang rahasia kepada agen yang ditempatkan di berbagai negara termasuk Indonesia. Di salah satu episode, dia menyerahkan barang rahasia kepada agen CIA di Jakarta.

Peran Kate sebagai kaki tangan CIA dianggap cerita konyol oleh Jane Panzer, mantan pramugari Pan Am tahun 1970-an.

Advertising
Advertising

"Memang benar kami diundang ke pesta-pesta diplomatik –kami dipandang sebagai duta Amerika Serikat– tetapi saya tidak bisa membayangkan ada kegiatan mata-mata. Saya mendengar tentang awak pesawat yang bekerja sebagai kurir, membawa narkoba atau uang. Memang ada rumor itu," kata Jane dikutip theguardian.com.

Menurut Scott Van Wynsberghe dalam "Flying high with hookers and spies" di nationalpost.com, serial televisi Pan Am di ABC yang tayang perdana pada 25 September 2011, harus mengatasi citra intrik dan seksisme. Namun, tetap saja, pencipta serial ini (Jack Orman) pantas mendapatkan pujian karena menghidupkan kembali minat pada perusahaan yang terkenal karena menggabungkan penerbangan dan mata-mata.

Pan Am yang berdiri pada 1927 memasuki babak baru ketika Amerika Serikat resmi terlibat perang pada akhir tahun 1941. Scott menyebut, meskipun layanan masa perangnya –pekerjaan transportasi– seringkali kurang menarik dibandingkan dengan sebelum perang, namun Pan Am mengembangkan hubungan penting dengan Office of Strategic Services (OSS) yang baru dibentuk, yang meletakkan dasar bagi kolaborasi masa depan dengan CIA.

Baca juga: Sukarno, Pan Am, dan CIA (1)

Hubungan Pan Am dan CIA terungkap dalam sumber tentang CEO Pan Am, Juan Trippe. Seperti biografinya, The Chosen Instrument karya Marilyn Bender dan Selig Altschul; obituarinya di New York Times, 4 April 1981; dan buku Empires in the Sky karya Anthony Sampson tahun 1984.

Scott menyebut bahwa Samuel Pryor, Wakil Presiden Pan Am yang menjadi penghubung dengan CIA, mengungkapkan kepada Bender dan Altschul, bahwa CIA melakukan pengawasan terhadap pesawat Pan Am yang disewa oleh Presiden Sukarno. Selain itu, Pryor mengatur penerbangan itu dengan "pramugari" yang sebenarnya pelacur dari Jerman.

Menurut Anthony Sampson dalam Empire of the Sky, Pryor terlibat dalam rencana mendiskreditkan Presiden Sukarno, dengan menyadap pesawat Pan Am yang disewanya, dan mempekerjakan pelacur dari Hamburg, Jerman, untuk berpakaian seperti pramugari.

Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno

Selain itu, menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA, Kepala Divisi CIA untuk Timur Jauh, Al Ulmer, menyampaikan imbauan kepada para perwira CIA untuk memonitor Sukarno selama turnya di Asia, dengan pesawat jet carteran Pan Am.

"Hasil misinya hanya terbatas pada sampel kotoran Sukarno untuk analisis medis, yang didapat oleh kepala CIA stasiun Hong Kong, Peter Sichel, dengan bantuan seorang awak pesawat Pan Am yang dibayar CIA," tulis Weiner.

Peter M.F. Sichel, kepala stasiun CIA di Hong Kong. (alcoholprofessor.com).

Dalam otobiografinya, The Secrets of My Life: Vintner, Prisoner, Soldier, Spy, Peter M.F. Sichel mengungkapkan bahwa "kami juga terlibat dalam mendukung stasiun lain sejauh yang kami bisa. Hong Kong adalah kunci ke Asia Tenggara, dan saya terlibat dalam operasi yang mencoba mengumpulkan beberapa informasi yang agak intim tentang Presiden Sukarno, yang terlalu dekat dengan Komunis China sehingga tidak disukai pemerintah kami."

"Ada desas-desus bahwa Sukarno menderita kanker, dan informasi yang bisa saya buktikan ini tidak benar," kata Sichel. "Plot CIA yang didukung oleh perwira tinggi militer terhadapnya selama saya di Hong Kong gagal total."

Baca juga: CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

Sukarno memang tidak menderita kanker, tapi sakit ginjal. Dia dirawat di Wina, Austria, pada 1961 dan 1964. Setelah itu, dia memilih menjalani pengobatan tradisional dan akupuntur oleh tim dokter dari Republik Rakyat China (RRC).

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? sakitnya Sukarno pada 4 Agustus 1965 ikut memicu pecahnya Gerakan 30 September 1965. Terkesan pihak-pihak yang berseberangan secara politik ingin saling mendahului karena beredar rumor bahwa Sukarno jatuh pingsan dan mengalami koma. Yang sebenarnya terjadi Sukarno mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat pada pembuluh darah otak, bukan stroke karena pendarahan atau adanya bekuan darah dalam pembuluh darah otak.

Para dokter menyarankan agar Sukarno tidak usah berpidato pada 17 Agustus 1965 karena kondisi kesehatannya belum pulih. Seandainya berpidato diminta tidak lebih dari satu jam. Pada saat Sukarno pidato kenegaraan, selain empat panglima angkatan, dokter spesialis ginjal dari RRC juga berada di dekatnya. "Ternyata, Sukarno berpidato lebih dari satu jam dan untungnya tidak terjadi apa-apa," tulis Asvi.

Baca juga: Sukarno Meninggal Dunia

Menurut Budiarto Shambazy dalam "Operasi MI6 dan CIA Mendongkel Bung Karno," Kompas, 27 Juni 1999, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, intelijen Inggris (MI6) dan IRD (Information Research Department), lembaga rahasia di Departemen Luar Negeri Inggris, meningkatkan propaganda untuk menjatuhkan Sukarno, di antaranya menyebarkan berita bohong mengenai penyakitnya. Permintaan itu datang dari Duta Besar Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist.

MI6 dan IRD menjalankan misi rahasia mendongkel Sukarno sejak Konfrontasi terhadap Malaysia. "Tugas berat itu dikoordinasikan dengan CIA yang sudah berkali-kali gagal dalam tugas melenyapkan Bung Karno sejak tahun 1958," tulis Budiarto.

MI6 dan IRD membayar Norman Reddaway sebesar 100.000 pounsterling dengan instruksi lakukan apa pun untuk melenyapkan Sukarno. Salah satu caranya dengan membuat berita propaganda sakitnya Sukarno di harian Guardian: "Kabarnya satu atau dua ginjal (Bung Karno) sudah diambil, dia juga menderita sakit jantung serius…bahkan salah sebuah kaki dan sebelah mata sudah tak berfungsi lagi."

Menurut Reddaway, cerita bohong itu kemudian disebarluaskan melalui seorang wartawan Amerika Serikat yang berbasis di Hong Kong. "Dan tentu saja, karena berita itu bernilai tinggi, maka ia tersebar ke seluruh dunia. Dan dari seluruh dunia itulah, cerita-cerita itu lalu tersebar ke Indonesia," kata Reddaway, dikutip Budiarto.

Pada akhirnya, penguasa Orde Baru di bawah Soeharto menjadikan Sukarno yang sakit sebagai tahanan rumah hingga meninggal dunia pada 21 Juni 1970.

TAG

intelijen cia sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Protes Sukarno soal Kemelut Surabaya Diabaikan Presiden Amerika Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Di Sekitar Indonesia Menggugat Bung Karno di Meksiko Kabinet 100 Menteri dan Kabinet Merah Putih Plus-Minus Belajar Sejarah dengan AI Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Bowo Kecil Ditimang Bung Karno Evolusi Angkatan Perang Indonesia Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang