Masuk Daftar
My Getplus

Setelah Obama Pulang

Apa yang perlu dipelajari dari sejarah hubungan Amerika dengan Indonesia?

Oleh: Bonnie Triyana | 16 Nov 2010

DIREKTUR Jurnal Perempuan Mariana Amiruddin dalam status Facebooknya menulis, “Obama, please be my president.” Sementara itu ratusan bahkan mungkin ribuan pengguna jejaring sosial Facebook dan Twitter lainnya bercececowet dalam hal yang sama: kedatangan Obama dan kekaguman mereka pada sosok presiden Amerika Serikat ke-43 itu.

Perhatian masyarakat Indonesia pun seakan tersihir pada kharisma Obama: dengan gesture tubuhnya; gayanya membawakan pidato dan kemampuan membawakan kisah kehidupan pribadinya di Indonesia menjadi sebuah gambaran besar tentang Indonesia di masa lalu dan bagaimana pentingnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di masa yang akan datang.

Pembawaan Obama pun tak luput dari pengamatan pengamat politik Eep Safulloh Fatah, yang membandingkannya dengan Presiden Yudhoyono. “Ketika SBY senyum dengan wajahnya, Obama tersenyum dengan seluruh tubuhnya,” kata dosen ilmu politik UI dalam sebuah wawancara dengan TV One, Kamis (11/11) pekan lalu. Sebuah perbandingan yang tak setara.

Advertising
Advertising

Dalam pidatonya di kampus Universitas Indonesia (UI), Depok (10/11), Obama menyampaikan kisah tentang konflik politik di Indonesia pada tahun-tahun awal kedatangannya. Apa yang dimaksud dengan Obama tentu saja kisah mengenai pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI yang mencapai tiga juta jiwa. Obama menyebut kalau tragedi itu sebagai kisah kelam tersembunyi yang tak pernah diceritakan di keluarganya kendati ayah tirinya, Lolo Soetoro, bekerja untuk Angkatan Darat.

Mungkin Obama tahu dan tidak mengatakannya kalau Amerika Serikat punya peranan dalam menyumbangkan nama-nama anggota dan simpatisan PKI kepada pihak Angkatan Darat Indonesia. Atas dasar daftar itu pencarian dan penangkapan dilakukan. Mungkin Obama juga tahu dan tidak mengatakannya kalau proyek itu merupakan bagian dari sebuah pekerjaan besar dalam rangka perang dingin yang tengah berkecamuk.

Pada saat Obama kecil datang ke Indonesia, pemerintah Indonesia di bawah Soeharto baru saja meluncurkan sebuah regulasi yang akan membukakan keran keuntungan buat negerinya: Amerika. Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967 memberikan kesempatan pertama untuk Freeport beroperasi di Indonesia secara legal. Kontrak karya diberlakukan selama seperempat abad dan telah diperpanjang untuk seperempat abad ke depan.

Amerika Serikat punya kepentingan untuk meraih Indonesia. Bukan saja karena cadangan energi yang berlimpah serta kekayaan alam yang meruah, tapi juga geopolitik Indonesia yang dinilai sangat strategis untuk menjaga kestabilan di wilayah Asia Tenggara. Maka Presiden “Ike” Eisenhower, pendahulu Obama, dalam sebuah pidatonya menyatakan kekhawatirannya tentang kemungkinan kejatuhan negara-negara di Asia Tenggara ke tangan komunisme jika Indonesia jatuh terlebih dulu ke pangkuan komunisme yang diusung oleh Soviet. Gagasan itu kemudian dikenal sebagai Teori Domino Asia yang dijadikan pegangan politik luar negeri AS terhadap Indonesia kurun tahun 1960-an.

Hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia semakin memburuk ketika Presiden Sukarno secara lantang mengatakan “Go to hell with your aid”. Sebuah pernyataan politik yang menegaskan bahwa Indonesia tak bisa menerima bantuan dari sebuah negeri yang hipokrit. Sukarno bahkan menyelenggarakan Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) pada Oktober 1965 untuk menjawab aksi Amerika mendirikan pangkalan militernya di berbagai negara seperti Jepang dan Filipina. Sukarno mungkin salah karena menurut Sutan Sjahrir, sebagai negeri kaya tak tiada berpunya modal besar untuk menggarap kekayaannya, Indonesia sebaiknya tidak memusuhi negeri kapitalis macam Amerika Serikat.

Zaman Sukarno ekonomi tampak terpuruk. Inflasi tembus ke angka 600 persen. Uang tak berharga barang pun sulit didapat. Rakyat antre beras dan minyak. Bisa jadi Sukarno punya siasat: menanti para sarjana mahid (mahasiswa ikatan dinas) pulang dan memulai pembangunan dengan kaki-tangan-otak sendiri sebagaimana yang pernah dinyatakannya dalam sebuah pidato. Namun sejarah menujukkan siasat itu tak sempat dijalankan. Rezim berganti. Sukarno jatuh, Soeharto pun duduk di singgasana kekuasaan.

Suharto menegasi langkah Sukarno terhadap Amerika Serikat. Negeri Pam Sam yang sempat dimusuhi oleh Sukarno kemudian menjadi kawan seiring. Modal besar pun datang dari negeri sahabat yang berada di Barat. Pembangunan digenjot siasat Trickle down effect diharapkan bisa meneteskan kemakmuran yang berlimpah di atas kepada mereka yang hidup di akar rumput. Semua aset yang semula dinasionalisasi dikembalikan kepada pemiliknya semasa sebelum perang dunia kedua terjadi, mulai dari perkebunan sampai dengan pertambangan.

Walhasil setelah Soeharto mundur dari jabatannya meninggalkan utang 1200 Triliyun. Aset-aset penting yang menjadi hajat hidup orang banyak sebagian dikuasai oleh segelintir elite dan perusahaan asing. Angka-angka pertumbuhan yang selalu menjadi tolok ukur tak bisa mewakili dari keadan yang sesungguhnya di negeri ini. Esensi dari pembangunan, sebagaimana yang pernah didedahkan oleh ekonom Joseph E Stiglitz, “A Transformation From Traditional Way to Modern” hanya berlaku bagi sebagian masyarakat perkotaan saja, sementara di pedesaan cara hidup tradisional masih terus berjalan beriringan dengan ketimpangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru negeri.

Lantas apa yang diharapkan dari seorang Obama, presiden dari sebuah negeri yang telah menoreh luka pada sejarah Indonesia? Dia, seperti halnya presiden Amerika Serikat lainnya yang pernah berkunjung ke negeri ini, mewakili kepentingannya negerinya sendiri. Sebelum kunjungan Obama kali ini, empat presiden Amerika Serikat berkunjung ke Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto. Mulai dari Richard Nixon yang berkunjung pada 27–28 Juli 1969; Gerald Ford, 4–5 Desember 1975; Ronald Reagen, 29 April–2 Mei 1986; Bill Clinton, 13–16 November 1994. Sementara itu George Bush Jr. berkunjung semasa pemerintahan Megawati Soekarnoputri (22 Oktober 2003) dan kemudian semasa pemerintahan Presiden SBY (20 November 2006).

Kedatangan Nixon untuk menegaskan posisi Amerika Serikat terhadap Indonesia dalam kaitan krisis di Vietnam dan perang dingin. Ford datang ke Indonesia untuk menyatakan dukungannya (secara diam-diam) invasi Indonesia atas Timor Leste. Reagen datang dalam rangka menghadiri KTT Asean sekaligus meneguhkan komitmen Amerika di kawasan regional Asia Tenggara. Bill Clinton datang dalam rangka menghadiri KTT APEC di Istana Bogor. Sementara itu George Bush Jr. dalam dua kali kunjungannya ke Indonesia membicarakan perang Amerika terhadap terorisme.

Obama kemudian datang meneguhkan sikap Amerika yang katanya tak sedang berperang dengan dunia Islam dan ingin mempererat persahabatan dengan bangsa Indonesia. Namun apa yang dia lupakan adalah sejarah kelam masa lalu Amerika yang masih membekas di negeri ini. Keterlibatan Amerika dalam beberapa politik subversif sebagaimana yang pernah ditulis oleh Indonesianis terkemuka dari Amerika George McTurnan Kahin dan Audrey Kahin dalam buku Subversi Sebagai Politik Luar Negeri yang memperlihatkan peran Amerika di dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Orang boleh bilang kalau sejarah adalah sejarah, yang penting adalah masa depan. Namun perusahaan-perusahaan milik Amerika, seperti Freeport, bercokol di sini sejak masa yang sudah lalu sampai dengan hari ini. Dan untuk Indonesia, cukup satu persen saja dari berjibun keutungan yang diraup Amerika Serikat. Lantas ada apa dengan diri kita yang begitu terpana pada sosok Obama? Jangan-jangan kita tidak membutuhkan Amerika tapi lebih membutuhkan seseorang seperti Obama untuk memimpin negeri ini.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung