BEBERAPA saat usai letusan pamungkas yang paling mengerikan dari amukan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883, orang-orang yang lolos dari maut tersadar selamat dalam berbagai cara yang ajaib. Seorang lelaki yang pada saat kejadian sedang tertidur pulas di rumahnya baru bangun dan tersadar sudah berada di puncak sebuah bukit lengkap beserta ranjangnya. Sementara itu seorang lainnya, sebagaimana dikutip dari Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak 27 Agustus 1883, mengaku selamat dari empasan gelombang tsunami dengan menunggangi seekor buaya.
Aneka cerita juga muncul di berbagai sumber para petugas Eropa: mulai penjaga menara mercusuar, residen, asisten residen, kontrolir dan para pelaut yang pada saat kejadian menjadi saksi mata dari peristiwa alam itu. Alexander Patrick Cameron, konsul Inggris di Batavia menuliskan laporannya untuk London tentang kerusakan yang ditimbulkan akibat letusan Krakatau.
“Kerusakan yang diakibatkan oleh gelombang-gelombang di pantai, baik terhadap nyawa manusia maupun properti, sekalipun dari laporan-laporan yang sudah diserahkan dinyatakan sangat luas, tidak bisa ditentukan dengan pasti, mengingat laut masih berombak tinggi dan hujan abu masih berlangsung, komunikasi telegraf dan jalan terputus atau terganggung,” tulis Cameron dalam laporan bertitimangsa 1 September 1883 itu.
Baca juga: Bencana Krakatau di pengujung Agustus 1883
Dalam laporan yang sama, sebagaimana dikutip oleh Simon Winchester, Cameron juga menuliskan tentang kondisi daerah pesisir yang terkena dampak letusan Krakatau. “...seluruh pantai tenggara Sumatera mengalami kerusakan sangat parah akibat gelombang laut, dan ribuan penduduk pribumi yang menghuni desa-desa di pantai pasti telah lenyap. Pantai barat Jawa dari Merak sampai Tjeringin (Caringin, red.) telah menjadi rata dengan tanah. Anyer, bandar di mana kapal-kapal dengan tujuan laut Jawa dan laut Cina berhenti untuk menunggu perintah, dan yang merupakan kota yang ramai dengan penduduk (pribumi) beberapa ribu orang, telah lenyap, dan lokasinya telah berubah menjadi rawa.”
Selain sumber-sumber yang ditulis oleh pejabat kolonial, keterangan ihwal letusan gunung Krakatau juga bisa tersua dalam Syair Lampung Karam yang berhasil disusun dan diterjemahkan oleh Suryadi Sunuri. Syair yang ditulis dalam aksara Arab-Melayu itu banyak memberikan kesaksian situasi di Lampung usai diterpa gelombang tsunami dan hujan abu vulkanik.
Hari terang nyatalah, Tuan
Turunlah orang berkawan-kawan
Mencari rumah serta pakaian
Tidak bertemu hilang sekalian.
Lalu Berjalan di tepi hutan,
Lalu bertemu mayat perempuan,
Badannya penuh dengan pakaian,
Anaknya dikepit nyawa-nyawa ikan
Petikan syair itu menggambarkan betapa ganasnya gelombang tsunami meluluhlantakan rumah penduduk dan menelan banyak korban jiwa manusia. Perempuan dan anak-anak tewas karena tak kuasa lari dari kejaran ombak setinggi puluhan meter yang menggulung mereka hingga menjemput ajal. Naskah syair tersebut mencatat kejadian secara detail, membantu memahami apa yang terjadi saat bencana itu terjadi.
Baca juga: Sejarah gempa bumi dan tsunami di Bulukumba
Selain naskah arsip yang mencatat keterangan saksi mata, warga Labuan, Pandeglang, Banten, pun hingga kini masih merawat ingatan bencana Krakatau dalam cerita yang mereka peroleh secara turun temurun. Labuan terletak di wilayah pesisir barat Banten, sejajar dengan Caringin yang disebut di dalam laporan Cameron sebagai area yang mengalami kehancuran akibat gelombang tsunami Krakatau.
Uyuh Sururi, 74 tahun, salah seorang warga Labuan mendapat kisah tersebut dari mulut ke mulut, semacam legenda yang tersebar secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. “Waktu itu air naik, air laut. Banyak penduduk mengungsi ke sini untuk menyelamatkan diri,” kata dia kepada Historia, ditemui di rumahnya di kampung Karabohong, Labuan, Senin, 28 Agustus.
Asrawijaya, 41 tahun, seorang warga Labuan lainnya menuturkan kisah Krakatau yang diperoleh dari penuturan kakeknya. Dia percaya bahwa tanah Labuan yang dipijaknya kini telah bergeser jauh dari posisi semula akibat letusan Krakatau. “Yang sekarang kita duduki ini bukan daratan yang dekat ke pantai. Ini tadinya bukit, dataran paling tinggi. Dataran rendahnya di sana di tengah. Tapi karena tsunami Krakatau, dataran tinggi ini jadi rendah dan dekat ke pantai,” ujarnya kepada Historia.
Baca juga: Tsunami dahsyat menerjang Ambon
Dia pun menuturkan ketika masa kecilnya, selalu ada acara peringatan meletusnya gunung Krakatau pada 28 Agustus setiap tahunnya. Namun kini tak pernah lagi ada peristiwa serupa. “Dulu waktu masih di bawah Jawa Barat selalu ada peringatan, istighosah, memperingati peristiwa Krakatau. Jadi masyarakat kita ini tidak lupa tentang peristiwa itu. Tapi sekarang kan sudah diambilalih pemerintah provinsi Lampung, jadi sekarang tidak (ada) lagi,” kata dia kepada Historia.
Kenangan sisa-sisa kehancuran akibat letusan Krakatau masih bisa terlihat di beberapa titik sepanjang pantai Anyer, Kabupaten Serang. Sebuah gundukan batu karang dengan berat sekitar 600 ton itu diempaskan gelombang laut setinggi 40 meter dari tengah Selat Sunda ke tepi pantai barat Pulau Jawa. Batu itu berada tak jauh dari menara mercusuar Anyer di kampung Bojong, desa Cikoneng, Anyer.
Menara mercusuar itu dibangun pada 1885 sebagai menara yang menggantikan menara lama yang tumpas akibat diterjang tsunami Krakatau. Menara yang semula berdiri menjulang puluhan meter itu kini tersisa sebagai bongkahan setinggi kurang dari dua meter, lambang keganasan Krakatau yang masih tersisa. (Tb. Ahmad Fauzi/Kontributor Serang).
Baca juga: Sejarah gempa dan tsunami di Donggala Sulawesi Tengah