Masuk Daftar
My Getplus

Salim Said: Kelemahan Kita Malas Membaca

Guru besar bidang pertahanan dan pakar politik militer ini angkat suara soal polemik penyitaan buku-buku sejarah terkait peristiwa 1965 yang dianggap berbau komunis..  

Oleh: Martin Sitompul | 05 Feb 2019
Salim Said, kondang sebagai pakar politik dan militer, Guru Besar Universitas Pertahanan. Sumber: Mizan/Youtube.

Komunisme dan PKI masih gentayangan di negeri ini. Pada akhir 2018 lalu, aparat TNI, polisi, dan pemerintah setempat menggelar razia buku-buku yang diduga berisikan ajaran komunis dari dua toko buku di Pare, Kediri. Mengawali tahun 2019, publik kembali dihebohkan dengan berita penyitaan buku-buku sejarah terkait peristiwa 1965 yang menyingkap peran PKI terhadap sejumlah toko buku di kota Padang, Sumatera Barat. Aksi yang sama menyusul kemudian di Tarakan, Kalimantan Utara. Kabar terbaru, Jaksa Agung M. Prasetyo mengusulkan razia buku besar-besaran terhadap buku-buku yang dituding menyebarkan komunisme.

Laku sepihak aparat ini - sebagaimana di era Orde baru - dilandasi kekhawatiran terhadap penyebaran ideologi komunis. Sepihak, karena tidak dilakukan telaah terhadap isi buku sebelum menggelar operasi razia atau penyitaan. Setelah dikritisi, nyatanya banyak dari buku itu merupakan buku sejarah kajian akademis ataupun reportase jurnalistik yang berkisah sejarah. Kendati demikian, aksi ini seolah jadi tradisi dari tahun ke tahun yang berpotensi menutup nalar kritis publik. Cukup beralasan mengingat minat dan kultur literasi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah.

Baca juga: Sukarno, Hatta, Sjahrir dan Buku

Advertising
Advertising

Salim Said adalah salah satu penulis yang bukunya ikut dirazia di Padang. Historia melakukan korespondensi dengan Salim yang merupakan guru besar ilmu politik ini ketika isu razia buku mengemuka. Petikan wawacara termuat dalam artikel berjudul "Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu" (21 Januari 2019). Berikut hasil wawancaranya dalam versi lengkap.

***

Apakah anda mendengar berita tentang penyitaan buku-buku sejarah yang diduga mengandung ajaran komunis oleh aparat TNI baru-baru ini? Salah satu buku yang ikut disita adalah karya anda yang berjudul Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto.

Ya. Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa memang ada kekeliruan. Karena mereka tidak baca inilah masalahnya. Kalau mereka baca sebelumnya, mereka bisa tahu yang mana perlu disita, mana yang tidak perlu disita.

Bagaimana tanggapan anda?

Saya tenang-tenang saja. Jadi saya serahkan saja itu, saya ga ikut-ikut campur. Itu urusan penerbitnya. Kan itu barang dagangan.  Setelah saya selesai tulis, dicetak, diterbitkan, ia sudah jadi barang dagangan. Jadi kalau disita, itu barang dagangan yang disita. Saya tidak punya wewenang lagi.

Tentang apa sebenarnya isi buku anda tersebut?

Saya tidak perlu menjelaskan. Ya baca aja buku itu jelas kok. Buku saya itu bukan propaganda PKI. Jadi ya karena keliru aja, kurang waktu untuk membaca. Tapi itulah kelemahan kita. Malas membaca, nah terjadilah hal seperti itu. Buku saya itu sudah cetakan ke-4 jadi beredar luas di tengah masyarakat sejak beberapa tahun yang lalu.

Penyitaan buku karya anda rasanya agak kontroversial, mengingat anda tercatat sebagai guru besar ilmu politik di Universitas Pertahanan – lembaga pendidikan yang alumni nya banyak berasal dari kalangan perwira TNI.

Itu juga lucunya. Mestinya kan mereka selain membaca naskah – yang tidak mereka lakukan – mereka juga harus tahu penulisnya. Saya ini kan penasihat politik Kapolri, saya guru besar Universitas Pertahanan, mengajar di Sesko TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Tapi mereka kan tidak mempelajari itu. Lihat di toko buku ada tulisan Gestapu 65, “Wah ini buku PKI. Ambil saja”. Keliru. Karena dia tidak punya informasi. Bertindak itu kan harus dengan dasar informasi. Baik informasi yang ditulis di buku itu dan siapa penulisnya. Begitu. Itulah kecerobohan.

Apa saran anda agar kecerobohan yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang?

Mestinya pimpinan dari penyita itu mendidik bawahannya bagaimana cara menyita buku. Apakah itu tidak melarang Undang-Undang? Menurut yang saya dengar tidak boleh itu. Yang boleh melakukan itu penegak hukum dan ada dasarnya. Tidak bisa begitu saja datang ke toko buku lalu menyita buku.

Mengetahui buku anda disita dari toko buku, anda marah?

Saya tidak terlalu pikirkan soal itu, tidak tersinggung, tidak marah. Ya begitulah bangsa kita, bertindak tidak berdasarkan informasi yang cukup.

Baca juga: 

Wawancara DN Aidit: "PKI menentang pemretelan terhadap Pancasila"

 

TAG

TNI PKI

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Sudharmono Bukan PKI D.N. Aidit, Petinggi PKI yang Tertutup Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Abdoel Kaffar Ingin Papua dan Timor Masuk Indonesia Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat