DUMAS, juru tulis kantor asisten residen Cilegon sekaligus juru tulis pengadilan distrik kota, terbangun dari tidurnya. Pukul 2 dinihari 9 Juli 1888 terdengar suara gaduh di luar rumahnya dan membuatnya buru-buru membuka pintu rumah. Tapi begitu pintu terbuka, empat orang berkelewang sekonyong-konyong berteriak “Allahuakbar” dan menyerangnya.
Meski terluka oleh sabetan kelewang, dia mati-matian menyelamatkan diri. Dia akhirnya berhasil melarikan diri ke rumah tetangganya, seorang jaksa. Sementara itu, di rumah Dumas para penyerang langsung mendatangi istri dan anak tertua Dumas yang sedang berusaha melarikan diri ke rumah Raden Purwadiningrat, seorang ajun kolektor yang merupakan tetangga Dumas. Bacokan mereka melukai bahu kanan istri Dumas. Beruntung para penyerang mengira sang istri babu, jadi membiarkannya.
Malang justru menimpa Minah, babu Dumas, yang oleh para penyerang dikira nyonya rumah. Upayanya mendekap anak bungsu Dumas membuat tubuhnya menjadi sasaran bacokan senjata tajam. Dia terluka parah. Sementara, anggota gerombolan yang lain mengacak-acak isi rumah dan menghancurkan perabotan-perabotan yang ada.
Dumas akhirnya tewas di tangan Kyai Tubagus Ismail dan anak buahnya setelah sebelumnya berhasil sembunyi di rumah karibnya, Tan Keng Hok. “Dalam pertumpahan darah dan penghancuran yang berlangsung, Dumas merupakan korban yang pertama,” tulis Sartono, penulis buku ini.
Peristiwa yang terjadi di Desa Saneja, tenggara Cilegon itu segera disusul peristiwa-peristiwa serupa di tempat-tempat lain di Cilegon. Rumah Asisten Residen Gubbels menjadi sasaran tak berselang lama kemudian. Pasukan Haji Tubagus Ismail pula yang menjadi pelaku. Di sana, mereka tak hanya menggedor, tapi juga membunuh dua putri asisten residen dengan sadis.
“Kekerasan dan kekacauan berkecamuk sepanjang hari dan dalam waktu yang mengerikan itu hampir semua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban senjata kaum pemberontak yang haus darah. Di sini kekuasaan asing benar-benar berhadapan dengan kekuatan pemberontak,” tulis Sartono Kartodirjo.
Pemberontakan petani di Banten yang dipimpin Haji Wasid dan dimulai dari penyerangan terhadap Dumas itu menjadi puncak perlawanan petani terhadap ketidakadilan birokrasi kolonial terutama sejak paruh kedua abad ke-19. Sartono menjadikannya topik pembahasan dalam buku 10 bab ini bukan hanya karena keunikannya tapi juga pengaruhnya bagi perjalanan sejarah sosial-politik masa sesudahnya di Banten dan Hindia Belanda.
Jelas, pemberontakan petani Banten pada 1888 merupakan sebuah fenomena historis yang tak berdiri sendiri. Ia merupakan ekor dari pemberontakan-pemberontakan sebelumnya yang mulai muncul sejak paruh kedua 1800-an. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi dan memantiknya keluar. Dengan menggunakan pendekatan multidimensional, Sartono membedah satu per satu faktor. Masing-masing faktor itu, dengan komplektisitas sendiri, berandil bagi kemunculan pemberontakan.
Pemberontakan sendiri tak bisa lepas dari ikatan masa lalu, terutama sejak masa pembubaran Kesultanan Banten oleh Daendels pada 1808. Akibat pembubaran itu, keluarga kesultanan dan bangsawan tak hanya kehilangan power dan banyak privilese, tapi juga kehilangan wibawa. Banyak dari mereka lalu saling bertengkar. Intrik di keluarga kesultanan kian hari kian tinggi.
Sementara di akar rumput, rakyat yang mayoritas petani kian tertekan oleh modernisasi birokrasi yang dilakukan pemerintah kolonial. Kebijakan-kebijakan baru pemerintah kolonial, terutama mengenai kepemilikan tanah, pemungutan pajak dan kerja wajib, serta penggunaan tenaga bumiputera dalam birokrasi, makin mencekik rakyat yang kala itu sudah sekarat akibat kejadian alam (meletusnya Gunung Krakatau) dan munculnya wabah.
Satu-satunya asa akan kehidupan lebih baik bagi mereka datang dari tokoh-tokoh agama (kyai atau haji). Dengan “pencerahan-pencerahan” yang terus mereka dengungkan di pengajian-pengajian ataupun acara-acara lain, mereka berhasil membuka pikiran rakyat bahwa penguasa formal, termasuk briokrat bumiputera, merupakan kafir yang menjadi sumber kesulitan hidup mereka. Pajak dan kerja wajib merupakan pemerasan dan ketidakadilan penguasa yang harus mereka lawan. Perlawanan terhadap penguasa, menurut para kyai, merupakan bentuk jihad yang diajarkan agama.
Seiring perjalanan waktu, dengan jaringan keagamaan yang terdapat di berbagai tempat di Hindia Timur, kekuatan tokoh agama terus membesar dan menyaingi kekuasaan pemerintah di Banten. Banyak bangsawan dan anggota keluarga kesultanan ikut bergabung kemudian. Jihad mengembalikan kesultanan dan nilai tradisional menjadi impian mereka. Pengajian-pengajian ataupun pertemuan-pertemuan yang diadakan para tokoh agama pada gilirannya menjadi ajang pembentukan kekuatan perlawanan terhadap kolonialis dan tempat menyusun siasat pemberontakan.
Kondisi itulah yang, menurut Sartono, melatarbelakangi kemunculan pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Wasid itu. Haji Wasid sendiri baru intens dalam gerakan beberapa saat sebelum pemberontakan pecah. Kasus penebangan pohon oleh seorang bernama Abas yang kemudian di pengadilan menyeret Haji Wasid mendorong Wasid untuk lebih intens terlibat dalam rencana pemberontakan. Kekhawatirannya akan penangkapan membuat Wasid memperjuangkan memajukan hari H pemberontakan, yang menimbulkan perpecahan di kalangan pimpinan pemberontak.
Dengan “manisan-manisan” yang diungkapkannya, semisal akan menghapuskan pajak bila dia berkuasa, Wasid memperoleh banyak dukungan. Dia akhirnya menetapkan hari H pemberontakan adalah 9 Juli 1888, bukan September seperti yang telah disepakati sebelumnya oleh banyak oleh banyak kyai, terutama Haji Marjuki.
Perpecahan di kalangan pimpinan pemberontak itu menjadi salah satu hal terpenting yang berhasil dikupas Sartono melalui pendekatan multidimensional. Pendekatan itu memungkinkan Sartono mengeksplorasi lebih jauh fakta-fakta historis dengan komplektisitasnya masing-masing, tentu dengan disiplin metode sejarah yang ketat. Hal yang terakhir memungkinkan Sartono terhindar dari kesalahan pemahaman terhadap laporan-laporan pejabat yang banyak dibuat agar atasan senang.
Pendekatan multidimensional dalam buku ini tak hanya membuat konstruksi sejarah yang hadir apik dan lebih utuh, tapi juga mampu mengubah paradigma pemahaman sejarah dan mempelopori tren baru dalam penulisan sejarah (history from below). Buku ini membuktikan bahwa sawah-sawah petani di Banten sama dengan geladak kapal VOC, sama-sama bisa menghasilkan sejarah.