Masuk Daftar
My Getplus

Rekonsiliasi Bukan Basa Basi

Rekonsiliasi tidak diciptakan tapi ditumbuhkan. Tanpa pengungkapan kebenaran, sulit mencapai rekonsiliasi.

Oleh: Ayu Wahyuningroem | 20 Apr 2016
Bedjo Untung, ketua YPKP (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966) dan para penyintas 1965 di acara simposium nasional "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta, Jakarta. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

SIMPOSIUM Nasional Tragedi 1965 usai digelar kemarin. Sebelum simposium diselenggarakan santer tersiar kabaritikad pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non-yudisial. Tujuannya hanya satu: rekonsiliasi bangsa. Rekonsiliasi di sini mengandung sejumlah masalah. Saya akan membahas tiga saja.

Pertama, rekonsiliasi tidak punya definisi dan indikator yang jelas. Awalnya ini konsep yang muncul dari nilai-nilai keagamaan. Belakangan, rekonsiliasi menjadi istilah yang banyak dipakai dalam konteks pascaperang dan pascatransisi politik. Tidak ada ilmuwan yang bersepakat akan definisinya, bisa dalam arti sempit seperti saling memaafkan, namun bisa juga dalam arti yang lebih kompleks seperti hidup harmonis bermasyarakat.

Akibat ketidakjelasannya, ia tak bisa dioperasionalkan dalam bentuk mekanisme yang khusus. Umumnya ia dilekatkan pada bentuk mekanisme lain: pengungkapan kebenaran lewat mekanisme komisi kebenaran, atau pengadilan. Dua yang disebut ini menjadi sebuah prasyarat, karena rekonsiliasi baru memiliki makna dan tujuan ketika ada sebuah kebenaran yang diterima bersama dan keadilan terutama bagi pihak yang dizalimi. 

Advertising
Advertising

Kedua, rekonsiliasi adalah tujuan. Dia bukan cara yang dimanifestasikan lewat mekanisme tersendiri. Sebagai sebuah tujuan, dia tidak dapat direkayasa secara sosial politik dan dilihat hasilnya dalam waktu singkat. Rekonsiliasi membutuhkan proses, dan biasanya panjang melibatkan saling dialog dalam diskursus publik, dari  tingkat nasional hingga di dalam keluarga atau komunitas. Dalam hal ini, rekonsiliasi tidak diciptakan, tetapi ditumbuhkan.

Proses-proses menumbuhkannya itulah yang harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Kanada dan Australia menumbuhkan rekonsiliasi terhadap kelompok penduduk asli (indigeneous) pasca pengungkapan kebenaran atas kejahatan berat yang dilakukan terhadap penduduk asli ini. Dari mulai menulis ulang sejarah, kegiatan pendidikan hingga akses sosial politik dan ekonomi dibangun bersama-sama oleh pemerintah federal maupun negara bagian, bersama dengan beragam komunitas masyarakat, untuk menumbuhkan saling hormat dan memastikan keadilan bagi masyarakat asli itu.

Ketiga, rekonsiliasi adalah kompromi masa lalu dan masa kini. Untuk penguasa, rekonsiliasi berarti lebih sederhana lagi: kompromi kekuasaan. Ia merupakan medium bertemunya kepentingan penguasa represif untuk menjustifikasi kekuasaannya di masa lalu, dan kepentingan kekuasaan demokratis untuk mendapatkan keamanan bagi legitimasi yang didapat lewat mekanisme politik liberal.

Karena itu seringkali ia menjadi antitesis dari upaya-upaya penegakan kebenaran dan keadilan atas sesuatu yang menjatuhkan legitimasi sejarah penguasa di masa lalu. Terutama dalam konteks transisi, saat elemen dari penguasa masa lalu masih bercokol kuat dalam liberalisasi politik, seperti di Indonesia, maka kebenaran dan keadilan adalah sesuatu yang mengancam dan pada saat yang sama dimanfaatkan untuk membangkitkan ketakutan di masyarakat.

Narasi di seputar pascaterbunuhnya tujuh perwira padaOktober 1965, misalnya, saat ratusan ribu orang dibunuh dan puluhan ribu lainnya hilang atau dipenjara tanpa proses pengadilan adalah contoh pertarungan kebenaran yang selama ini coba diungkap oleh masyarakat sipil. Upaya pengungkapan kebenaran itu bertabrakan dengan narasi pemerintahan Soeharto tentang pemberontakan kaum komunis yang dijadikan dalih pembunuhan massal tersebut. Ketika kelompok korban atau masyarakat sipil mendialogkan kebenaran kejahatan itu, elemen-elemen yang mempertahankan versi Orde Baru justru memukul balik kelompok masyarakat sipil tersebut dengan tuduhan komunisme gaya baru.

Rekonsiliasi nasional yang diimpikan pemerintah Indonesia paling relevan dalam konteks peristiwa1965 ini. Dalam silang sengkarut narasi kesejarahan dan kemanusiaan ini, ada ribuan warga negara Indonesia yang masih terseok-seok mempertahankan hidupnya sebagai korban. Dalam keadaan demikian rekonsiliasi sebagai sebuah cara rekayasa oleh pemerintah adalah pilihan yang paling tidak tepat.

Ada dua alasan untuk hal itu. Pertama, rekonsiliasi yang diinginkan pemerintah tidak memiliki prasyarat yang dibutuhkan, yakni kebenaran dan keadilan. Sejak 2006 Mahkamah Konstitusi sudah membatalkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Butuh waktu bertahun-tahun bagi pemerintah untuk mengajukan draft yang baru, dan DPR sepertinya tak mengindahkan legislasi RUU tersebut meskipun sudah ada dalam daftar Prolegnas. Pemerintah, dalam hal ini presiden, juga tidak pernah tegas terhadap Kejaksaan Agung yang tidak menindaklanjuti berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM termasuk kasus 1965 sejak 2012 lampau.

Akibatnya, tidak ada kebenaran bersama, dan tidak ada keadilan; padahal keduanya adalah prasyarat utama bagi rekonsiliasi. Masyarakat Indonesia masih terbelah pada kepercayaan terhadap kesejarahan dan identitas berbangsanya masing-masing. Rekonsiliasi sebagai sebuah cara hanya akan lebih dalam lagi memecah dan membenturkan kelompok-kelompok masyarakat. Ini berakibat pada hal kedua, yakni rentannya legitimasi politik pemerintah yang berkuasa saat ini. Rekonsiliasi hanya akan menjatuhkan pemerintah yang berkuasa, karena inisiatif itu akan ditentang oleh mereka yang masih memegang teguh narasi Orde Baru yang berkawin dengan kepentingan elemen politik masa lalu yang masih haus kuasa.

Peristiwa 1965 adalah tantangan yang terberat dan yang paling fundamental menggariskan kesejarahan dan standar berbangsa di negeri ini. Kalaupun ada upaya pemerintah menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, kasus 1965 ini harus diselesaikan tersendiri, tidak sepaket dengan kasus-kasus lain yang menjadi keberlanjutan dari kekerasan masif yang terjadi dalam kasus 1965. Rekonsiliasi nasional dengan demikian, menjadi hasil positif yang kita harapkan terjadi beberapa tahun mendatang di saat kita semua bisa mengoreksi dan menerima sejarah gelap kekelaman kasus 1965 yang memburamkan kehidupan berbangsa kita di tahun-tahun berikutnya hingga hari ini.

Penulis adalah peneliti untuk kajian-kajian keadilan transisi, HAM, dan demokratisasi.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin