Masuk Daftar
My Getplus

Proyekisme

Orang tidak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan; kalau tidak ketahuan ya jalan terus.

Oleh: Bonnie Triyana | 04 Apr 2017
Sampul buku novel "Orang-orang Proyek" karya Ahmad Tohari.

Jembatan sungai Cibawor yang pernah dibangun Kabul mungkin sekarang sudah tak ada sama sekali, ambrol diterjang aliran sungai saking keroposnya pondasi yang menyangganya. Insinyur Kabul, pemuda idealis sarjana teknik sipil memimpin proyek pembangunan jembatan itu dengan semangat memperbaiki kondisi masyarakat.

Tapi apa daya, gambaran ideal Kabul tentang sebuah jembatan yang berdiri kukuh teguh menghubungkan kedua sisi sungai Cibawor berantakan seketika saat koruptor menggerogoti anggaran proyek pembangunan jembatan itu. Tak tanggung-tanggung, korupsi dilakukan mulai dari pejabat tinggi sampai dengan pegawai sekelas mandor.

Di tengah anggaran yang makin minim, kualitas jembatan yang makin menurun, tengat waktu penyelesaian jembatan pun makin mepet. Dipaksakan untuk selesai pada perayaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang, partai penguasa yang paling berkuasa dari segala kekuasaan di negeri ini.

Advertising
Advertising

Kabul ngotot agar jembatan menggunakan material terbaik, juga bersikeras agar peresmian jembatan tak dipaksakan bersamaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang. Sikap Kabul jadi anomali di tengah kehendak banyak orang yang ingin ambil untung sendiri-sendiri. Walhasil, seperti yang sudah diduga, jembatan ambrol, tak berumur panjang.

Cerita tentang karut marutnya pelaksanaan proyek pembangunan jembatan itu dilukiskan dengan sangat baik oleh Ahmad Tohari dalam novelnya Orang-Orang Proyek. Ini novel lama, terbit pertama kali pada 2002, menggambarkan situasi pada masa Orde Baru, dengan segala macam tindakan korupsi, intimidasi dan represi.

Tentu saja tak ada KPK dan operasi tangkap tangan di dalam cerita itu. Yang ada adalah sosok-sosok pegawai pemerintah yang korup dan tak malu memamerkan kekayaan hasil colongannya, seperti Dalkijo pegawai negeri yang gemar bermewah-mewah. Sementara itu orang-orang seperti Kabul yang idealis pada akhirnya seringkali harus tersisih atau menyerah pada keadaan yang tak mampu lagi dia benahi.

Pernah seorang kawan berkelakar setengah getir tentang perbedaan bagaimana sebuah proyek dulu dan sekarang dijalankan. Kalau dulu, kata dia, orang berebut untuk jadi pimpinan proyek (Pimpro), posisi yang ditempati Kabul dalam novel Ahmad Tohari itu. Kalau sekarang, orang mikir-mikir dua kali untuk memegang proyek.

Lebih mengherankan lagi, seorang pejabat daerah pernah bercerita kepada saya, “Zaman sekarang kita mesti hati-hati, jangankan salah, benar saja bisa masuk penjara,” kata dia was-was. Apakah artinya zaman sekarang ini korupsi banyak berkurang dibanding pada masa yang lalu? Atau jangan-jangan banyak orang takut untuk menjalankan pekerjaan karena baik salah atau benar bisa terancam masuk penjara?

Terbitlah sebuah hipotesis alias dugaan: barangkali orang di zaman sekarang tak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan (yang artinya, mungkin, kalau tidak ketahuan ya jalan terus). Yang pasti, setiap hari selalu saja kita menemukan berita perkara korupsi muncul di berbagai media massa.

Belum lagi korupsi yang disebabkan oleh “mental proyek” alias bikin proyek akal-akalan yang sama sekali tak berdasarkan pada kebutuhan obyektif. Seperti cerita beberapa sekolah di Jakarta yang ujug-ujug dapat alat fitnes, seakan-akan pendidikan bertujuan untuk membentuk tubuh lulusannya jadi six pack, gagah berotot bak binaragawan.

Atau kisah lain tentang UPS (Uninterruptible Power Supply) untuk 49 sekolah di wilayah Jakarta. Harga UPS dipatok kurang lebih Rp5 milyar per unit padahal harganya kurang dari Rp.150 juta. “Proyekisme” yang menjangkiti sebagian birokrat dan politikus inilah yang sejatinya bermodus sama denga zaman yang lalu.

Bila semasa Kabul membangun jembatan Cibawor modus “proyekisme” dilakukan dengan mengurangi jatah harga semen, pasir dan besi, maka di zaman sekarang “proyekisme” ditempuh dengan jalan membikin “pembangkit listrik tenaga UPS” seakan-akan PLN bakal melakukan pemadaman lisrik selama sebulan. Luar biasa!

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Asal-Usul Jeriken Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis) Azab Raja Cabul di Tanah Bugis Sentot Alibasah Prawirodirjo, Putera, Hansip Sebelum Telepon Jadi Pintar Empat Hal Tentang Sepakbola Andi Azis, Tambora, dan Hutan Nasib Pelukis Kesayangan Sukarno Setelah 1965 Meneer Belanda Pengawal Mistar Indonesia Riwayat Jackson Record