Masuk Daftar
My Getplus

Pogau dan Mas Marco Kartodikromo

Papua seperti suara yang jauh: di mana kabar tentang kekerasan dan kekayaan alam selalu terdengar sayup-sayup.

Oleh: Bonnie Triyana | 18 Mar 2017
Mas Marco Kartodikromo (1890-1932) dan istri.

Malam itu, enam tahun lalu, seorang pemuda bertopi masuk ke ruangan saya. Tubuhnya ceking, berkulit gelap. Dia bicara setengah berbisik walaupun dia tahu tak ada yang memata-matainya atau menyadapnya di ruangan itu. Waspada seperti sudah tertanam dalam kepalanya. Mungkin cemas, entahlah.

Oktovianus Pogau, nama pemuda itu, datang dari tanah yang jauh, nun di Papua sana. Malam itu dia bercerita banyak: tentang orang-orang yang dianiaya, kekayaan alam yang dijarah dan tuan-tuan tanah yang datang dari antah berantah. Okto, demikian dia dipanggil, terlihat gelisah. Ada semacam gugatan dari sorot matanya. Sejurus kemudian, dia pun bertanya, “kapan bung tulis sejarah kami, orang Papua?”

Pertanyaannya menyisakan beban, semacam utang yang harus dibayar. Tak ubahnya banyak pemuda di negeri ini, yang terlalu lama diajari kisah sejarah yang sepihak, Okto dikejar rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada masa lalu bangsanya. Papua seperti suara yang jauh: di mana kabar tentang kekerasan dan kekayaan alam selalu terdengar sayup-sayup.

Advertising
Advertising

Tapi Papua bukan tanah yang asing bagi mereka yang pernah melawan kesewenangan kaum kolonialis, setidaknya bagi Mas Marco Kartodikromo (1890-1932) dan ratusan aktivis politik lainnya yang mengenyam ganasnya Boven Digul. Setelah perlawanan yang gagal pada 1926, mereka disapu bersih, ditangkap dan sebagian dihukum mati di atas tiang gantung.

Bagi Marco, Papua, yang saat itu masih disebut Nieuw Guinea adalah tanah harapan, “di tempat pembuangan itu kami tentu bisa mengatur diri kami sendiri sesuai dengan cita-cita kaum Communist yang telah bertahun-tahun dibicarakan di rapat-rapat dan ditulis di surat-surat kabar dan buku-buku,” ujarnya bernada mengejek diri dalam buku Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul.

Tapi lekas-lekas Marco menimpali sendiri harapannya itu sebagai sebuah kemustahilan. “Sebab mustahil sekali Pemerintah Hindia Belanda dan Nederland berkehendak menguji praktek kaum Communist untuk membuktikan kebaikan teorinya,” imbuhnya.

Marco memang benar. Mana mungkin pemerintah kolonial memberi celah pada orang-orang buangan untuk membuktikan keyakinan politiknya yang dirasuki semangat kemerdekaan. “Pikiran kami ini adalah rekaan kami sendiri,” kata dia. Maka Marco hanya berharap agar kisah orang buangan di Digul, mendapat tempat dalam sejarah Indonesia.

“Kalau kelak sejarah Indonesia ditulis oleh historicus (sejarawan), kami berharap dari tanah buangan ini, agar tuan-tuan yang menimbang dan menceritakan perjalanan pergerakan kebangsaan di jaman sekarang ini menyediakan beberapa hoofdstukken (bab-bab) bagi kami orang yang terbuang di sini, kami yang dibenci orang, yang yang dianggap manusia rendah, kami yang merasai cambuk koloniale politiek (politik kolonial) dengan sekeras-kerasnya,” tulis Marco berpesan.

Seperti Okto, Marco juga berharap sejarahnya ditulis. Marco sebagai pelaku yang ingin diketahui bahwa apa yang dilakukannya bukan hal yang sia-sia. Sementara Okto sebagai pemuda yang berharap bisa memahami akar persoalan yang selalu datang merundung orang Papua. Marco dan Okto, dalam beberapa hal, seperti bernasib sama: mereka terasing dan dianggap liyan.

Hari-hari ini, ribuan orang ditangkap di Papua. Tak terhitung lagi berapa yang tewas sejak lama. Kini bisa dipahami kenapa Okto ingin mengetahui sejarahnya. Dia seperti mencari cara untuk memahami kenapa pada tanah kelahirannya, ada begitu banyak kekerasan. Dan kenapa kekerasan itu menyebabkan banyak darah tumpah di atas tanah yang kaya raya.

Tapi Okto mati muda. Belum lagi sempat membaca kisah sejarah yang didambakannya. Seperti Marco yang hanya bisa terus berharap sampai kemudian komplikasi malaria dan TBC menjemput ajalnya. Di Tanah Papua, pengertian yang asing datang silih berganti. Di masa kolonial, Marco adalah orang asing di tanah pembuangan. Maka kini, orang Papua seperti Okto seperti terasing di tanah kelahirannya sendiri.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo