Masuk Daftar
My Getplus

Peran Kurir dalam Perjuangan Kemerdekaan

Sholeh mengirimkan surat rahasia kepada sesama pejuang. Berbagai cara dilakukan agar surat sampai ke tujuan.

Oleh: Arief Ikhsanudin | 18 Nov 2015
Sholeh (inset) kurir Laskar Hizbullah ke pejuang di daerah lain. Foto: Perpusnas RI dan majalah Pertiwi, No. 32 tahun 1987.

SHOLEH, petani Salam Mulya, Purwakarta, didatangi seseorang yang tidak dikenalnya saat menuai padi di sawah. Lelaki itu menyampaikan pesan bahwa dia dipanggil oleh Syafei, yang juga tidak dia kenal. Kejadian itu berlangsung pada 1948. Berdasarkan Perjanjian Renville, Jawa Barat bukan daerah Indonesia. Tentara Belanda leluasa menguasai daerah tersebut. Tentara Siliwangi meninggalkan Jawa Barat hijrah ke Jawa Tengah. Namun, tak semua pejuang hijrah; beberapa laskar seperti Hizbullah masih bertahan untuk mengganggu Belanda.

Sholeh berangkat menuju markas gerilya di Selaawi, Pesawahan, Purwakarta. Dia bertemu dengan Syafei yang memintanya menjadi kurir surat kepada pejuang di daerah lain. “Mengingat demi perjuangan saya pun mengiyakannya,” kata Sholeh dalam majalah Pertiwi, No. 32 tahun 1987.

Seorang pejuang memberikan pengarahan dan surat beramplop kepada Sholeh. Sholeh harus memberikan surat itu kepada seseorang di Purwakarta, dengan ciri lengan bajunya tinggi sebelah, pada pukul empat sore. Warna bajunya hijau macam seragam TNI AD jaman sekarang.

Advertising
Advertising

Sholeh menjalankan tugas pertamanya dengan hati-hati. Dia melewati hutan dan perkampungan menuju Purwakarta. Sesampainya di Purwakarta sesuai jadwal dan menemui orang dengan ciri-ciri lengan bajunya tinggi sebelah. Sholeh mengatakan sandi: “Ada kiriman kain putih dari hutan.”

Orang itu berdiri, terkejut. “Mendengar ucapan saya, orang itu langsung menatap saya dan mengatakan dengan kata sandi juga, pintu kami tidak di kunci. Yang dimaksud keadaan di sekitar aman,” kata Sholeh.

Sholeh dibawa ke tempat aman untuk menyerahkan surat yang dia bawa. Setelah itu, pejuang itu memberi tanda silang di lengan baju Sholeh dan berpesan agar tanda itu tidak hilang.  Soleh tidak tahu isi surat dan maksud tanda silang itu. Setelah Sholeh kembali dan menemui Syafei, barulah dia tahu maksud dari tanda silang itu.

“Setibanya di markas, lengan saya segera diperiksa kembali. Setelah melihat tanda silang, Pak Syafei bersama anak buahnya tersenyum puas. Saya pun merasa puas, karena telah menyelesaikan tugas dengan baik,” kata Sholeh.

Sukses melaksanakan tugas pertama, Sholeh sering mengirim surat dari Syafei kepada pejuang di daerah lain. “Dengan berjalan kaki berpuluh-pulih kilometer, saya berjalan dengan sikap waspada. Maklum Belanda pun menyebar mata-matanya yang juga orang pribumi,” kata Sholeh.

Berbagai cara dilakukan Sholeh agar surat yang dibawanya aman. Dia memasukannya di saku baju atau celana, diselipkan di peci, namun tempat paling aman diselipkan di sadapan enau atau lahang.

Satu ketika, Sholeh membawa amplop dengan cara digenggam. Dia melihat tentara Belanda dari kejauhan.  Dia membuang surat tersebut ke semak-semak. Dia melewati tentara Belanda dengan wajah pucat dan tangan yang dingin. Setelah lumayan jauh, Sholeh kembali ke semak-semak untuk mengambil amplop itu.

Sholeh tidak mengetahui siapa sebenarnya Syefei saat awal-awal ditugaskan sebagai kurir. “Yang saya tahu, dia berwibawa dan penentu semua tindakan kami. Tapi, setelah saya pelajari atasan saya bahwa Pak Syafei berasal dari Cianjur, seorang pejuang dari kelompok Hizbullah dan saat itu menjabat sebagai Residen Purwakarta,” kata Sholeh.

Belanda berhasil menangkap kelompok Syafei di rumah anggota yang akan menikahkan anaknya di Jukut Riut.  Semua anggota tertangkap termasuk Sholeh dan Syafei. Mereka dibawa ke markas Belanda di Panglejer. Setelah itu, mereka menuju Bojong Pangkalan dan berhenti di pasar. “Ketika berhenti tampak Pak Syafei berbincang dengan Belanda. Dan hati saya sangat bahagia, di situ dia dilepaskan. Saya yakin Belanda tak sadar siapa yang dilepaskannya itu,” kata Sholeh.

Dari Bojong Pangkalan, Sholeh dan lainnya dibawa ke penjara di Tegal Waru. Sholeh dipenjara sendiri dan diintrogasi tentara Belanda yang bertanya lokasi persembunyian Syafei. Selain itu, dalam posisi tangan terikat digantung, dia dipukul dibagian dahi dengan gagang pistol, tidak diberi nasi dan hanya diberi air selama tiga hari.

Tak lama kemudian, Sholeh melihat Syafei di lingkungan penjara. Syafei berbicara kepada tentara Belanda. Sholeh dibebaskan setelah menandatangai surat pembebasan. “Saking gembiranya, surat tersebut saya tandatangani tanpa dibaca,” kata Sholeh.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Bukan Belanda yang Kristenkan Sumatra Utara, Tetapi Jerman Antara Lenin dan Stalin (Bagian I) Situs Cagar Budaya di Banten Lama Pemusnah Frambusia yang Dikenal Dunia Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik