Masuk Daftar
My Getplus

Pelarian Tan Kah Kee di Jawa

Pengusaha sukses ini memimpin perlawanan di Singapura. Membantu perjuangan Indonesia lepas dari penjajahan.

Oleh: Aryono | 01 Sep 2019
Tan Kah Kee atau pernah disebut Henry Ford dari Malaya. (tkkfoundation.org.sg).

KETIKA armada Jepang mengganas di Asia Tenggara dan mengancam kedudukan Inggris di Singapura, Tan Kah Kee tak mau tinggal diam. Dia memimpin sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang.

“Sebagai penghuni Kerajaan Inggris di koloni mahkota Inggris, kesempatan ini layak untuk semua upaya kami untuk memberikan dukungan, yang dapat kami berikan, untuk perang melawan agresi, dan dengan demikian untuk mengamankan tempat tinggal kami,” ujar Tan Kah Kee, seperti dikutip dari Soerabaijasch handelsblad tertanggal 4 September 1941.

Tan Kah Kee (1874-1961) seorang pengusaha dan filantropis terkemuka di Singapura yang mendapat julukan “Henry Ford dari Malaya”. Kerajaan bisnisnya mencakup dari perkebunan hingga manufaktur. Sejak tanah kelahirannya, Tiongkok, diagresi Jepang pada 1920-an, ia bersikap anti-Jepang.

Advertising
Advertising

Ribuan sukarelawan Tionghoa, yang kemudian disebut Dalforce, dilatih oleh John Dalley, perwira intelijen di kepolisian khusus Malaya. Pasukan ini ternyata dapat diandalkan meski akhirnya pertahanan Singapura jebol juga.

Baca juga: "Anak Tiri" di Pertempuran Kranji

Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari 1942, Dalforce dibubarkan. Para mantan anggotanya menyelamatkan diri; menghindari dari kejaran Jepang yang melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir perlawanan. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Mayoritas menuju Semenanjung Malaya untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Sisanya menyeberang ke Sumatra, termasuk Tan Kah Kee.

Tan Kah Kee menjadi orang yang paling dicari oleh Jepang. Kepalanya bahkan berharga satu juta gulden dalam sayembara yang dibikin Jepang. Pelariannya dilakukan dengan menempuh jalur laut.

“Tan Kah Kee saat itu ditemani semacam pasukan rahasia Tionghoa hingga sampai ke Indonesia,” ujar Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, kepada Historia beberapa waktu lalu. Bisa jadi, pasukan rahasia yang selalu mengiringi Tan kah Kee ini adalah mantan kombatan Dalforce.

Memilih Indonesia

3 Februari 1942, pukul dua dinihari. Belasan aktivis anti-Jepang mengendap memasuki dua kapal motor yang sandar di pantai. Semua dilakukan cepat dan senyap. Bahkan Tan Kah Kee pun tak sempat berpamitan dengan sanak keluarganya. Tujuan mereka hanya satu: Sumatra.

Sore hari, keesokan harinya, rombongan tiba di Tembilahan, pesisir tenggara Sumatra. Rombongan memutuskan beristirahat lima hari di Tembilahan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Palembang melalui Rengat dan mampir di beberapa tempat seperti Teluk Kuantan, Sungai Dareh, dan Marapi.

Sampai di Marapi muncul kabar bahwa Jepang telah masuk Palembang. Rombongan Tan berpikir dua kali untuk melanjutkan perjalanan ke Palembang. Mereka balik kanan, kembali ke Sungai Dareh sembari memikirkan pelarian lebih lanjut. Akhirnya diputuskan menyeberang ke Jawa.

Baca juga: Para Pelancong Mencatat Sejarah Singapura

Tiba di Jawa, lagi-lagi, Jepang sudah mendarat di sana. Mau tak mau, jalan pelarian menjadi semakin sulit. Rombongan pun dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Tan hanya ditemani dua pengiring.

Pertengahan Mei 1942, rombongan Tan naik kereta dari Cianjur ke Bandung, kemudian berganti kereta menuju Yogyakarta. Di sana mereka bertemu Lau Geok Swee, pemimpin Kuo Min Tang bagian Penang, yang sudah terlebih dahulu masuk Jawa. Mereka akan bersama-sama menuju Solo. Namun keributan terjadi di Stasiun Yogyakarta ketika beberapa tentara Jepang merangsek ke dalam stasiun untuk memeriksa para penumpang kereta api. Rombongan Tan berhasil lolos dengan memanfaatkan kerumunan penumpang.

Tan Kah Kee (berkacamata) dan Lau Geok-swee. (Repro The Kuomintang Movements in Malaya).

Setiba Solo, rombongan Tan mendapat perlindungan dari dua mantan siswa sekolah Jimei dan Universitas Amoy –kedua sekolah ini didirikan atas prakarsa Tan Kah Kee di Tiongkok. Mereka ditampung dalam satu rumah berisi delapan anggota keluarga. Tan juga mengganti namanya menjadi Li Wen-hsueh.

Lama-lama Tan tak betah tinggal di Solo dengan udara yang panas dan sakit giginya yang sering kambuh. Ia mengusulkan pindah ke daerah yang lebih dingin. Akhirnya ia memilih Malang, kota sejuk di lereng Gunung Arjuno.

Tetap Anti Jepang

Malang, 1943. Samar-samar, kabar mengenai Tan Kah Kee sampai ke telinga Jepang. Mereka menjadi gelap mata. Siapapun yang berkaitan dengan Tan juga diburu.

Tjoeng See Gan, seorang pengusaha kain katun yang kemudian hidup dalam kamp interniran Jepang di Cimahi, adalah salah satu korban kekejaman Keinpetai. Ia, menurut Sam Sedyautama dalam Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia, disiksa sebab enggan memberitahu persembunyian Tan di Jawa.

Jepang kali ini seperti mengejar hantu.

Di Malang, Tan tinggal bersama keluarga Lee Eng-khoon dalam sebuah rumah kontrakan. Beberapa kali ia berpindah rumah di sekitar Malang dan Batu. Salah satu yang mengusahakan persembunyiannya adalah Lie Joeng Koen, sukarelawan Tionghoa Siang Hwee yang tugasnya menolong interniran Jepang. Lie Joeng Koen, pascakemerdekaan, berganti nama menjadi Samidadi Bodhidiya dan sempat menjalankan usaha ekspor-impor.

Hidup dalam pelarian di usia 69 tahun membuat Tan frustasi. Ia pernah berharap ditangkap Jepang. Namun hal itu lama-lama hilang. Tan justru antusias membantu perjuangan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemuda Malang.

Baca juga: Singapura Tak Terima KRI Usman Harun

Saat itu, posisi Jepang di medan perang Pasifik mulai payah. Mereka pun membentuk organisasi pemuda yaitu Jawa Seinendan (Barisan Pemuda di Jawa) dan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi). Setelah berjalan beberapa waktu, banyak yang antusias masuk Keibodan.

Jepang khawatir Keibodan menjadi kekuatan seperti Pembela Tanah Air (Peta) yang berontak dan berpikir perlu dibentuk imbangan kekuatan. Maka, menurut Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik, mereka membentuk Keibotai atau pasukan pembantu polisi yang anggotanya khusus pemuda-pemuda Tionghoa.

Kehadiran Keibotai mendapat perhatian pemimpin gerakan bawah tanah anti-Jepang. Alih-alih menjadi imbangan, mereka berpendapat Keibotai bisa menjadi subordinat Keibodan. Untuk memecahkan persoalan ini, mereka butuh saran dari sesepuh yang paham seluk-beluk perlawanan terhadap Jepang. Mereka lalu menemui Tan di Batu.

Rumah persembunyian Tan Kah Kee di Batu, Malang. (Repro buku Tan Kah Kee).

Siauw Giok Tjhan, saat itu berusia 29 tahun, punya penilaian tersendiri mengenai Tan. Dalam pandangannya, yang ditulis dalam Lima Jaman, Tan memiliki pandangan yang luas. Tan, membenarkan pendirian: jangan sampai Keibotai dapat digunakan Jepang sebagai ‘perisai’ menghadapi kemarahan Rakyat Indonesia.”

Di samping itu memang Keibotai perlu digunakan sebagai penggugah kesadaran pemuda peranakan Tionghoa, bahwa mereka adalah putera Indonesia, yang perlu ikut serta dengan putera-putera Indonesia lainnya untuk memperjuangkan perbaikan nasib bagi seluruh Rakyat Indonesia dan mencapai kemerdekaan nasional,” ujar Siauw Giok Tjhan. Siauw mantan wartawan Matahari, kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) tahun 1965.

Di Malang, Tan menulis memoar dan pamflet mengenai kebersihan rumah di daerah Jawa Timur. Dalam memoarnya, ia juga melakukan analisis mengenai saat-saat kekalahan Jepang dalam perang. Ia menulis bahwa tahun 1944, kekuatan Sekutu akan kembali dengan menguatnya angkatan udara dan angkatan lautnya. Superioritas armada Sekutu di udara inilah, dalam analisis Tan, yang akan melakukan pukulan telak ke jantung Negeri Matahari Terbit. 

Tak Lupa Indonesia

Jepang akhirnya kalah perang dan Indonesia merdeka. Bagi Tan Kah Kee, ini merupakan kabar baik. Ia tak perlu lagi bersembunyi. 1 Oktober, Tan memutuskan kembali ke Singapura. Cerita bagaimana Tan Kah Kee kembali ke Singapura ada dua versi.

Siauw Giok Tjhan, yang saat itu menjadi anggota Komite Nasional Daerah untuk Malang, menyaksikan enam pesawat Angkatan Udara Inggris berjenis spitfire mendarat di lapangan udara Malang. Keenamnya mengawal kepulangan Tan Kah Kee ke Singapura, sebagai bentuk balas jasa pemerintah Inggris atas usaha Tan turut berjuang melawan Jepang di Singapura.

Baca juga: Utusan Mesir Terdampar di Singapura

Kisah kedua diungkapkan Ching Fatt Yong dalam bukunya Tan Kah-kee: The Making of an Overseas Chinese Legend. Menurutnya, Tan dan pengawal Tionghoanya terlebih dahulu naik mobil ke Surabaya dan melanjutkan naik kereta api menuju Jakarta. Rupanya rencana ini didengar Sukarno, yang memerintahkan pemberian pengawal tambahan untuk memastikan keamanan diri Tan selama perjalanan menuju Jakarta. 2 Oktober 1945 rombongan tiba di Jakarta, dan baru 6 Oktober mereka naik pesawat menuju Singapura.

Suasana stasiun kereta api Surabaya setelah kemerdekaan. (geheugenvannederland.nl).

Ikatan Tan dengan Indonesia terus berlanjut. Saat rombongan RI diundang Nehru ke India dalam rangka Asian Relations Conference 23 Maret hingga 2 April 1947, mereka transit di Singapura. Delegasi yang dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Agus Salim kekurangan uang saku. Siauw Giok Tjhan, wakil dari BP KNIP, kemudian mengontak Tan Kah Kee. Tan pun mengulurkan bantuan dana.

Pada awal 1947, armada Belanda melakukan blokade perdagangan di perairan antara Sumatra dan Singapura. Akibatnya, perdagangan lumpuh. Tan bereaksi dengan menggalang rapat terbuka mengecam perilaku Belanda.

“Tan Kah Kee, menurut Antara, memohon kepada orang Tionghoa di Amoy, Swatow, dan Shanghai untuk berhenti memberikan layanan kepada dan menggunakan kapal Van Nederlandsche,” tulis harian Het dagblad, 18 April 1947.

Boikot itu membuat Letnan Gubernur Jenderal H.J van Mook mengirim delegasi ke Singapura untuk bertemu Tan dan menyampaikan pesan: tak perlu mencampuri masalah Indonesia. Tan marah. Ia meramalkan, cepat atau lambat, Belanda akan terusir dari Indonesia.*

TAG

Tionghoa Jepang

ARTIKEL TERKAIT

Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia