NANI Suwondo masih ingat salah seorang pamannya punya 30 anak. Si paman memang hobi kawin. Dari setiap istri, si paman memperoleh beberapa anak. Sayang, si paman tak mampu membiayai kebutuhan seluruh anak dan istrinya yang telalu banyak.
Tapi ketika sudah pensiun, si paman tak kapok. Jumlah anaknya masih terus bertambah. Masa depan anak dan nasib si istri seolah tidak jadi perhatian dan pertimbangannya. Dia hanya tahu kawin lalu sudah, hidup sekenanya saja. Ayah Nani, Raden Soerasno, yang merasa iba ikut menanggung kehidupan kemenakannya dengan membiayai sekolah.
Nani kecil kecewa dan heran pada pamannya itu. Menurutnya, perilaku si paman sangat tidak bertanggung jawab. Berkaca dari kehidupan sepupu dan istri pamannya, Nani tergerak untuk meneliti lebih jauh tentang posisi perempuan dalam pernikahan. Dia lalu ikut memperjuangkan hukum perkawinan yang adil bagi perempuan. “Undang-undang perkawinan yang bisa menjamin kedudukan perempuan belum ada,” kata Nani dalam kumpulan memoar perempuan, Sumbangsihku Bagi Petiwi I.
Berjuang Lewat Jalur Hukum
Nani lahir pada 15 Agustus 1918 di Semarang. Keluarganya kelas menengah melek pendidikan. Ayah-ibunya mendukung penuh keinginan Nani untuk kuliah di Rechtshogeshool (Fakultas Hukum), Batavia pada 1937.
Nani termasuk mahasiswa pandai dan aktif hingga diminta Prof. Supomo untuk jadi asistennya. Nani juga ikut membantu Maria Ullfah dalam dalam Biro Konsultasi yang dibuat Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Biro ini bertugas mengadvokasi perempuan yang memiliki masalah dengan suaminya. Di sinilah Nani belajar banyak dari Maria Ullfah tentang ilmu hukum, khususnya hukum perkawinan yang memihak nasib perempuan.
Di Biro ini pula Nani semakin tahu kasus-kasus dalam perkawinan, seperti perempuan yang dipoligami sewenang-wenang, diceraikan tak lama setelah kawin untuk alasan suami kabur lalu menikah dengan perempuan baru, dan ditipu lelaki yang mengaku bujang padahal beristri. Ada juga seorang perempuan yang datang padanya dalam kondisi hamil sementara si lelaki kabur. Dari penuturan si perempuan, pasangannya berjanji akan menikahi tapi malah menghilang setelah mengetahui dirinya hamil.
Beragam kasus yang menimpa para perempuan semakin membuka mata Nani bahwa posisi perempuan dalam pernikahan masih amat tertindas. Perempuan dirugikan oleh sistem budaya patriarkis, beberapa jenis lelaki yang suka melukai, dan hukum yang tidak memadai. Undang-undang perkawinan yang dapat melindungi perempuan dalam perkawinan belum ada. Hal inilah yang menjadi perhatian Nani.
Nani lulus saat penjajahan Jepang dimulai. Dia lalu bekerja di Sihoobu, yang setelah merdeka berubah menjadi Departemen Kehakiman. Pada masa revolusi, Nani menjadi sekretaris untuk delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, Yogyakarta.
Setelah segala urusan penjajahan selesai tahun 1950-an, Nani kembali aktif dalam organisasi perempuan, seperti Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (Iswi), KPI, dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Nani terus mengupayakan agar kedudukan dan nasib perempuan lebih terjamin dan aman dalam pernikahan. Nani akif dalam Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian (BP4). “BP4 sangat penting dalam usaha mendapat UU Perkawinan yang saat itu masih berupa impian,” kata Nani.
Nani juga menjadi sekretaris komite Nikah Talak Rujuk (NTR) bersama para tokoh perempuan, seperti Maria Ullfah dan Sujatin Kartowijono. Menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan perempuan di Indonesia, komisi NTR dibentuk untuk merumuskan undang-undang pernikahan yang adil. Tapi, ketika komisi NTR berunding tentang RUU Perkawinan, pemerintah mengeluarkan PP No. 19 tahun 1952 tentang Pemberian Pensiun pada Janda Pegawai Negeri. Itu artinya, istri pertama, kedua, dan ketiga akan menerima pensiun.
PP itu segera menuai penententangan dari para perempuan. Mendekati Hari Ibu 1953, Nani ikut menggerakkan demonstrasi pada 17 Desember, yang menuntut UU Perkawinan segera dikeluarkan dan penghapusan PP No. 19.
Penolakan para perempuan terletak pada pemberian pensiun pada seluruh istri pegawai yang berarti pengakuan negara pada praktik poligami. Pemerintah secara tidak langsung mendukung praktik itu. Demonstrasi ini diterima presiden. Nani menjadi salah satu orang bertemu dengan Sukarno dan Fatmawati.
Pada 1959, Nani memperoleh beasiswa Elin Wagner dari Swedia. Kesempatan itu dimanfaatkannya betul untuk meneliti kedudukan perempuan hingga 1950-an. Nani banyak menulis tentang hukum positif dan hukum adat yang berkaitan dengan perempuan. Dia menjadi salah satu pionir dalam penelitian hukum pernikahan perempuan yang kemudian diterbitkan. Lewat tulisan dan advokasinya, Nani menjadi teman dan pembela para perempuan yang terluka.