Masuk Daftar
My Getplus

Misteri Insiden Memali

Ustad kharismatik yang didukung penduduk desanya meninggal dunia dalam bentrokan penduduk melawan aparat keamanan Malaysia yang hendak menangkapnya. Ada persaingan politik.

Oleh: M.F. Mukthi | 19 Nov 2021
Aparat keamanan Malaysia di Memali. (Youtube PMU).

Hari ini, 19 November, 36 tahun lalu. Ustad Marzuki tidak mengajar di sekolah desanya di Desa Memali, Baling, Kedah, Malaysia. Hari itu dia mengajar di sebuah sekolah di distrik lain. Namun karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, dia menyempatkan pulang sejenak saat jam istirahat tiba.

“(Saat, red.) Tragedi itu terjadi, saya sedang dalam perjalanan pulang ke Memali, karena saya sedang jam istirahat sekolah, saya mengajar di distrik lain dan ingin pulang sebentar, ujar Marzuki sebagaimana dikutip Dina Zaman, penulis-aktivis Malaysia, dalam Holy Men, Holy Women: A Journey Into the Faiths of Malaysians and Other Essays.

Tragedi yang dikatakan Marzuki adalah Memali Incident. Insiden tersebut dipicu upaya penangkapan Ustad Ibrahim Mahmud alias Ibrahim Libya oleh aparat kepolisian yang dibantu militer Malaysia.

Advertising
Advertising

Ibrahim merupakan seorang guru di Memali yang usianya sedikit lebih tua dari Marzuki. Setelah lulus dari Sekolah Agama Ittifaqiah Kampung Carok Putih dan Pondok AL-Khariah di Seberang Perai, dia melanjutkan studinya ke berbagai negara. Selain ke India dan Al-Azhar (Mesir), Ibrahim berkuliah di University of Tripoli, Libya – nama yang kemudian dilekatkan padanya menjadi nama alias.

Sepulang dari kuliah, Ibrahim memboyong keluargnya ke Kuala Lumpur. Di sana dia bekerja di Pusat Islam. Ibrahim mendapat tugas berdakhwah mengenai Islam. Dia bahkan kerap tampil di televisi.

Namun, gaya hidup materialistis di Kuala Lumpur membuatnya tidak nyaman. Ibrahim mencoba mengubah keadaan namun tak banyak berhasil. Terlebih, Pusat Islam tidak bisa membantunya lebih banyak.

“Mimpinya adalah untuk menyebarkan pesan Islam, dan bekerja di Pusat Islam tidak memberinya kebebasan untuk berdakwah dan melakukan apa yang dia inginkan,” sambung Marzuki.

Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara

Ibrahim lalu memboyong anak-istrinya ke Memali. Kemampuannya bercerita dan humor di samping mampu berkomunikasi dengan pemuda menggunakan bahasa mereka amat baik. Ibrahim mampu dan mau mendengarkan curhatan mereka yang umumnya hanya petani miskin, dia mengerti apa yang menjadi mimpi mereka. Itu semua membuatnya disukai banyak orang. Kondisi tersebut membuat Ibrahim mendapatkan suasana yang memungkinkannya untuk berdakwah dengan berkeliling memberi ceramah kepada masyarakat.

“Sejujurnya, dia bukan seorang politisi atau politikus. Tapi dia sangat bersemangat tentang Islam dan kemerosotan kehidupan Muslim di Malaysia. Dan dia juga mengamati anak-anak di sekitar desa, dan keputusasaan dan pengangguran mereka. Orang Memali tidak kaya. Kehidupan dulu dan sekarang sama saja. Tidak ada yang berubah,” kata Marzuki.

Pada 1982, Ibrahim mulai terjun sebagai penceramah. Seturut waktu, namanya semakin populer di Memali dan sekitarnya.

“Orang-orang dari jauh dalam jumlah besar mendengar tentang Ibrahim, dan terkadang sekira seribu orang menghadiri ceramahnya,” tulis Dina.

Popularitas Ibrahim didapat dari keadaan Malaysia yang sedang “dimeriahkan” oleh kebangkitan Islam. Masifnya desakan budaya pop seperti dance dan punk di kota-kota besar Malaysia membuat masyarakat, terutama yang konservatif, “haus” akan ha-hal spiritualitas. Di Baling, yang banyak dihuni petani miskin, nilai-nilai Islam seperti keadilan mendapat banyak pendukung. Hal itu bertemu dengan keinginan para aktivis-mahasiswa yang memperjuangkan keadilan. Akibatnya, kebangkitan Islam di Baling cukup signifikan.

“Di selatan Thailand di Malaysia, Anwar Ibrahim dan aktivis mahasiswa lain yang terinspirasi Ikhwanul Muslimin membentuk gerakan Islam Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) pada 1971. Pada 1974 ABIM mengumpulkan pemuda pedesaan yang miskin di Baling untuk memprotes kondisi serupa dengan yang dialami oleh Melayu-Muslim miskin, diskriminasi pemerintah, kurangnya perwakilan politik. Perambahan wilayah tradisional Melayu-Muslim oleh petani Utara dan Timur Laut sebagai desakan dari pemerintah pusat ditambah dengan kehilangan hak, pemuda terdidik membantu menelurkan gelombang kedua. Identitas Islam gelombang kedua tidak dimulai di provinsi selatan tetapi diperkenalkan dan didorong oleh aktor dan peristiwa eksternal yang telah saya uraikan di atas. Pendidikan di luar negeri memungkinkan siswa Melayu-Muslim berjejaring dengan siswa lain di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang mereka kunjungi. Melalui jaringan ini terbentuk hubungan dengan kelompok-kelompok Islamis seperti Liga Arab, Organisasi Pembebasan Palestina, Sekretariat Islam, dan Parti Islam,” ujar Sara A. Jones dalam tesisnya di Ohio University, “Framing the Violence in Southern Thailand: Three Waves of Malay-Muslim Separatism”, dimuat dalam https://etd.ohiolink.edu.

Gerakan kebangkitan Islam di Malaysia makin besar setelah Revolusi Islam di Iran pecah pada 1979.

“Revolusi Iran 1979 mungkin juga telah mengilhami ideologi Islamis di dalam separatis Melayu-Muslim, karena ini adalah gerakan Islam pertama yang berhasil yang kemudian menginspirasi lebih banyak lagi di seluruh dunia,” sambung Sara.

Dalam suasana seperti itulah Ibrahim terjun sebagai pendakwah. Dia berkeliling ke Memali dan sekitarnya untuk memberi “pencerahan” kepada masyarakat di tengah desakan dance, punk dan beragam budaya pop lain di kota-kota besar Malaysia. Ibrahim kemudian juga mendirikan sekolah untuk masyarakat. Alhasil, Ibrahim mendapat penerimaan luar biasa.

“Ia adalah ustadz kontemporer populer versi 1980-an seperti Mohd Asri Zainul Abidin dan Juanda Jaya. Popularitasnya segera mencapai pusat kota Kedah, dan berita mencapai tingkat federal. Saat itu, Mahathir Mohamad adalah perdana menteri,” tulis Dina.

Baca juga: Kontingen SEA Games Indonesia Tanpa Sambutan di Malaysia

Ibrahim menjadi sosok yang diperhatikan pemerintah pusat. Terlebih, ia dan penduduk Memali punya hubungan dekat dengan partai Islam PAS, oposisi utama UMNO (United Malays National Organisation) yang berkuasa. Ibrahim pernah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat asal PAS untuk Bayu-Baling dalam pemilu 1978. Pemerintah pusat pun mewaspadainya.

Suatu ketika, Ibrahim melontarkan kritik terhadap Internal Security Act (ISA/). Dalam pandangannya, undang-undang “super” tersebut tidak sesuai dengan Islam.

“Ibrahim hanya keberatan dengan undang-undang, yang memberi pemerintah kekuatan untuk menahan siapapun tanpa pengadilan,” kata mantan senator asal PAS Datuk Muhamad Yusuf Husin sebagaimana dikutip Adie Suri Zulkefli dalam tulisannya di nst.com.my edisi 12 Januari 2018, “Memali Tragedy: ‘It Was Caused by anti-ISA Sentiment’”.

Kritikan Ibrahim membuat panas telinga pemerintah pusat. Berbagai tindakan untuk mencoreng citra positif Ibrahim pun dibuat oleh berbagai “pemain” politik di pusat.

“Suami saya hanya menentang Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri, karena itu adalah undang-undang kejam yang bertentangan dengan prinsip Islam, tetapi pihak berwenang telah melukiskan gambaran bahwa dia adalah seorang ekstremis yang mengobarkan perang untuk menggulingkan pemerintah. Dia bersumpah bahwa dia lebih baik mati daripada ditahan di bawah hukum yang menindas, tetapi malah dituduh memimpin revolusi bersenjata melawan pihak berwenang,” kata Soleha Husin, istri Ibrahim, dikutip New Straits Times di lamannya, nst.com.my, 11 Januari 2018.

Tuduhan terhadap Ibrahim kemudian diikuti dengan pengawasan ketat aparat keamanan. “Perlahan-lahan penduduk desa melihat tambahan satu atau dua polisi datang ke desa. Tidak ada yang terjadi, tetapi orang-orang Memali merasa ada yang tidak beres,” tulis Dina.

Baca juga: Ketika Aparat Bertindak di Luar Batas

Kendati awalnya hanya pasif terhadap Ibrahim dan desa tempat tinggalnya, pengawasan aparat keamanan kemudian menjadi aktif. Suatu kali, mereka menghentikan serombongan petani yang diangkut sebuah van dan meminta mereka menjelaskan diri masing-masing. Namun ketika para petani yang membawa cangkul dan kapak itu menjelaskan bahwa mereka akan ke ladang, aparat melepaskan mereka.

“Namun kebencian terhadap polisi bertumbuh. Ada banyak sentimen anti-UMNO,” tulis Dina.

Penduduk Memali, yang amat mencurigai polisi, marah ketika rumah Ibrahim digeledah pada 2 September 1984. Dengan menggunakan senjata seadanya, mereka siap mempertaruhkan jiwa menghadapi aparat.

“Operasi Polisi untuk menangkap dan menahan Ibrahim bin Mahmood berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri 1960 berlangsung pada pukul 01.00 tanggal 2 September 1984 di rumahnya di Kampung Memali. Upaya itu ditentang oleh sekitar 100 pengikut Ibrahim bin Mahmood. Mereka melompat keluar dari semua rumah, bersenjatakan bambu runcing dan meneriakkan ‘Allahu Akbar.’ Ibrahim bin Mahmood yang berada di rumah pada saat itu tinggal di balik pintu yang terkunci dan menolak untuk keluar ketika diminta untuk menyerahkan diri. Suasana menjadi tegang. Dengan mempertimbangkan keamanan publik, dan untuk menghindari masalah dan kemungkinan bentrokan, Polisi memutuskan untuk menunda operasi penangkapan Ibrahim bin Mahmood,” tulis Tunku Muszaffar Bin Tunku Ibrahim, aparat kepolisian yang ikut dalam operasi tersebut, dalam memoarnya, Memali: A Policeman Remembers.

Seturut pergantian hari, situasi semakin panas di Memali. Ceramah besar yang diadakan pada September 1985 mendapat perhatian lebih dari polisi. Selain mengerahkan jauh lebih banyak personelnya, polisi memasang barikade.

Dalam suasana panas itulah upaya penangkapan Ibrahim oleh sepasukan polisi yang dibantu tentara menggunakan sejumlah truk dan panser terjadi pada 19 November 1985. Mengetahui ustad mereka akan ditangkap, para penduduk Memali melawan. Bentrokan bersenjata pun terjadi. Akibatnya, 14 penduduk dan empat aparat kepolisian tewas, sementara lebih dari 100 orang terluka.

Baca juga: Ulah Komunis Jepang di Kuala Lumpur

Polisi menahan lebih dari 150 orang, termasuk perempuan dan anak-anak dan Datuk Muhamad Yusuf Husin, setelah insiden. Bentrokan berdarah itu yang diabadikan oleh aparat keamanan juga disiarkan di televisi nasional. Lebih jauh, pemerintah membuat “Buku Putih” yang menyebut para penduduk Memali sebagai para kriminal.

“Ini semua salah paham, saya pikir. Ada lagi ustadz di Baling yang agak populer, tetapi popularitas Arwah (almarhum) Ibrahim Libya mengalahkannya. Dan ustadz itu kebetulan adalah orang UMNO. Semua ini dipolitisasi! Anda tahu, persaingan. Setidaknya ini pengamatan saya. Yang satu anggota UMNO, yang lain mewakili PAS. Arwah bukanlah pria kejam. Saya pikir itu adalah (disebabkan oleh, red.) kecemburuan. Dia (Ibrahim) bisa berbicara, dan dia memiliki banyak pengikut di kalangan anak muda. Dan dia adalah seorang joker. Dia bercanda dengan semua orang, pria, wanita. Jadi, saya pikir orang lain itu pasti sudah mengadu ke kepala UMNO Baling saat itu, dan semua ini terjadi,” kata Marzuki, dikutip Dina.

Hingga kini, Insiden Memali masih tertutup tabir gelap. Nama Ibrahim masih “hitam” dalam sejarah. Akibatnya, Soleha Husin, istri Ibrahim, masih terus berupaya memperjuangkan keadilan bagi mendiang suaminya.

“Yang saya inginkan adalah kebenaran terungkap dan nama suami saya dibersihkan dari semua kejahatan dan tuduhan palsu yang dilontarkan oleh mereka yang bertanggung jawab atas insiden itu. Sebelum saya meninggal, saya ingin mendapatkan keadilan untuk mendiang suami saya,” kata Soleha, dikutip nst.com.my, 11 Januari 2018.

TAG

malaysia

ARTIKEL TERKAIT

Pasukan Jepang Merebut Kuala Lumpur di Musim Durian Waktu Punya Tupolev, Angkatan Udara Indonesia Kuat Tiga Lagu jadi Rebutan Serumpun Misi Peluncuran Roket Ahmad Yani Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara Konflik Sukarno dengan Adam Malik Massa Melinggis Kedubes Inggris Kala Aktivis Malaysia Diciduk dan Kedutaan China Digeruduk TNI Lawan Gurkha dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia Misi Parman Melobi London