Di tengah kisruh konfontasi Indonesia-Malaysia, Menteri Luar Negeri Adam Malik bikin kejutan. Ia secara rahasia menjalin kontak dengan Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri merangkap Kepala Intelijen Malaysia Ghazali Shafie. Mereka membicarakan penyelesaian konflik Konfrontasi di Bangkok, Thailand, pada 30 April 1966.
Sekembalinya ke Jakarta, Adam Malik pun kena damprat Presiden Sukarno. Kemarahan Sukarno itu jadi santapan media Malaysia. Sukarno dikabarkan menuding Adam Malik sebagai “bachul” (pengecut) soal konfrontasi dengan Malaysia. Suratkabar Malaysia Berita Harian edisi 6 Mei 1966 menuliskan berita utama, “Sukarno dan Malik Bergadoh.”
“Kita mahu melancarkan peperangan ke atas Malaysia. Tetapi saudara (Adam Malik) mahu menamatkannya,” kata Sukarno seperti dikutip Berita Harian.
Baca juga: Akhiri Ganyang Malaysia Lewat Belakang
Adam Malik tak bergeming. “Kalau Bung Karno berpendapat demikian, bolehlah pecat saya,” ujar Adam Malik dalam suratkabat yang sama. Sukarno rupanya kecut juga mendengar jawaban menteri luar negerinya itu.
Bung Kancil dan Bung Besar
Perseteruan Adam Malik dan Bung Karno bukan kali itu saja. Hubungan keduanya merenggang memasuki paruh kedua tahun 1960. Pada 1964, Adam Malik bersama beberapa tokoh pers lain membentuk Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS). Kegiatan BPS bertujuan memobilisasi opini publik melawan pengaruh PKI lewat pemberitaan media massa. Saat itu, Adam Malik menjabat sebagai menteri perdagangan.
Namun, BPS bagi Sukarno dimaknai sebagai pembunuh Sukarno dan ajarannya, “Sukarnoism to kill Sukarnoism and Sukarno.” Bung Karno, seperti disebut Alwi Shahab dalam Maria van Engels Menantu Habib Kwitang, menuduh BPS sebagai agen intelijien Amerika (CIA). BPS pun dibubarkan pada tahun itu juga. Pembubaran BPS diikuti dengan pembubaran Partai Murba, partai yang dipimpin Adam Malik, pada September 1965.
Ketika gegeran G30S meletus, Adam Malik condong mendukung Angkatan Darat yang dipimpin Letjen Soeharto. Dukungan Adam Malik dibuktikan dengan keterlibatannya dalam membiayai gerakan aksi penumpasan PKI.
Baca juga: Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS
Menurut sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Kedutaan Besar Amerika mentransfer sejumlah uang untuk front sipil ciptaan Angkatan Darat yang disebut Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan 30 September (KAP-Gestapu). Pada Desember 1965, Duta Besar Amerika Marshall Green memerintahkan pemberian dana sebesar 50 juta rupiah kepada wakil KAP Gestapu. Dana itu berasal dari CIA dan disalurkan lewat perantaraan Adam Malik dalam operasi rahasia bersandi “tas hitam”.
“Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan Angkatan Darat,” kata Green dikutip jurnalis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA.
Mengakhiri Konfrontasi
Manuver Adam Malik yang berseberangan dengan Sukarno berlanjut dalam upaya mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia. Adam Malik menjadi tokoh kunci dalam lobi-lobi rahasia yang dirintis Letkol Ali Moertopo dan Mayor Benny Moerdani dalam operasi khusus. Ali Moertopo lebih dulu menjalin kontak dengan Ghazali Shafie sepekan sebelum pertemuan dengan Adam Malik.
Seperti disebut sejarawan Linda Sunarti, Adam Malik adalah paman dari istri Ghazali yang juga punya kekerabatan dengan Jenderal Abdul Haris Nasution. Kontak-kontak pertama antara Ghazali dan Adam Malik di Bangkok juga terjalin melalui Taher, juga seorang dari keluarga Adam Malik.
Baca juga: Kegamangan Sukarno Mengganyang Malaysia
“Bisa dikatakan adanya hubungan kekerabatan antara tokoh-tokoh yang terlibat mempermudah usaha-usaha penjajagan rujuk tersebut,” kata Linda dalam disertasinya di Universitas Indonesia “Penyelesaian Konflik Damai Indonesia Malaysia 1963--1966”.
Dalam pembicaraannya dengan Ghazali, Adam Malik secara pribadi ingin Presiden Sukarno segera dilengserkan. Ia dianggap sebagai sumber perpecahan. Terkait masalah konfrontasi, Adam Malik menegaskan, secara pribadi ia tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Setelah pertemuan perdana itu, Adam Malik dan Ghazali terus mengadakan kontak secara pribadi.
Pada 11 Agustus 1966, lahirlah pakta perdamaian yang secara resmi menormalisasi kembali hubungan Indonesia dan Malaysia. Adam Malik bertindak sebagai pimpinan delegasi Indonesia sedangkan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak mewakili Malaysia. Keduanya menandatangani pakta perdamaian yang dikenal dengan Jakarta Accord.
Baca juga: Jakarta Accord Bikin Indonesia dan Malaysia Tak Saling Ngotot
Sementara itu, posisi Sukarno sebagai presiden kian melemah. Tampuk kekuasaan negara secara tidak resmi telah dipegang Jenderal Soeharto. Adam Malik sendiri menjabat menteri luar negeri hingga 1978. Setelahnya, Adam Malik menjabat wakil presiden mendampingi Presiden Soeharto hingga 1983.
Adam Malik dalam memoarnya Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45 mengakui amat sukar untuk memahami pikiran Bung Karno. Adakalanya dia bilang A tapi yang dia maksud B. Ia menyerukan “Ganyang Malaysia” tetapi yang ingin diganyangnya sebenarnya kekuatan lain. Contohnya: Sukarno memerintahkan nasionalisasi kepentingan dan modal asing. Tapi nyatanya Caltex, Stanvac, dan Shell dibiarkannya beroperasi dan berkembang terus.
“Berliku-liku laksana aliran sungai yang berliku-liku menuju muara, memang sukar,” katanya.