Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Aparat Bertindak di Luar Batas

Saat polisi tak sanggup meredam kerusuhan, tentara pun dikerahkan, maka lahirlah tragedi berdarah di Tanjung Priok.  Cerita kelam aparat keamanan di era rezim Soeharto.

Oleh: Martin Sitompul | 28 Mei 2019
Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani dan Pangliima Kodam Jaya Try Sutrisno saat konferensi Pers pasca Peristiwa Tanjung Priok 1984. Sumber: Repro buku "Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998" karya Jusuf Wanandi.

POLITISI gaek Amien Rais buka suara menyikapi kerusuhan yang terjadi baru-baru ini pasca kapitulasi pemilihan umum di Jakarta (22/05/19). Bermula dari unjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), aksi ini berakhir dengan bentrokan yang menelan delapan korban meninggal. Sebelumnya, Kepolisian Republik Indpnesia melalui Kepala Divisi Humas Polri Irjen Muhammad Iqbal mengatakan tidak akan mengenakan peluru tajam dalam tindakan pengamanan.

“Saudaraku saya menangis, saya betul-betul sedih, tapi juga marah bahwa polisi-polisi berbau PKI telah menembak umat Islam secara ugal-ugalan," kata Amien dalam unggahan akun  instagramnya. “Saya atas nama umat Islam meminta pertanggungjawabanmu. Jangan buat marah umat Islam.” Pernyataan Amin segera diikuti dengan seruan takbir oleh orang-orang di sekelilingnya.

Aksi kerusuhan itu juga disambut oleh Titiek Soeharto dengan pernyataan yang menyudutkan aparat keamanan dan pemerintah. Menurut Mbak Titiek – sapaan akrab Titiek Soeharto -  tindakan polisi untuk meredam kerusuhan berujung dengan penganiayaan dan penghilangan nyawa. “Hentikan penganiayaan dan penghilangan nyawa rakyat pada aksi unjuk rasa pascapemilu,” kata Mbak Titiek dalam deklarasi Litura (Lima Tuntutan Rakyat) Emak-emak Indonesia.   

Advertising
Advertising

Baca juga: Petrus: Kisah Gelap Orba

Cerita tentang aparat keamanan yang menembaki umat Islam juga pernah terjadi pada masa Orde Baru ketika Presiden Soeharto – ayah Titiek Soeharto – berkuasa. Mengingatkan kembali, Orde Baru adalah rezim yang dilawan habis-habisan oleh Amien Rais sewaktu menegakan reformasi pada 1998.

Pada 12 September 1984, Jusuf Wanandi mencatat dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia, tentara menembaki sekelompok Muslim yang sedang melakukan protes di kawasan pelabuhan Tanjung Priok. Akibatnya, ratusan nyawa melayang di ujung bedil tentara.

“Sampai sekarang pun masih belum diketahui (tepatnya) berapa korban yang tewas,” tulis Wanandi. Tragedi berdarah ini kelak disebut dengan nama Peristiwa Tanjung Priok.

Baca juga: Peristiwa Tanjung Priok: Darah Pun Mengalir di Utara Jakarta

Insiden Tanjung Priok disulut oleh laporan yang menyatakan bahwa ada anggota polisi yang memasuki masjid di Tanjung Priok tanpa menanggalkan sepatunya. Si polisi memerintahkan agar poster yang bernada antipemerintah diturunkan. Ketika penjaga masjid menolak, anggota polisi menggeledah masjid dan mencabut poster-poster propaganda sambil tetap mengenakan sepatunya.

Tindakan polisi yang dianggap semena-mena menyinggung warga masjid. Akibatnya, mereka menyerbu kantor polisi setempat. Mulai dari warga biasa, pengusaha bongkar muat, hingga preman turun menyerbu. Polisi yang kewalahan meminta bantuan tentara. Karena polisi mundur, Panglima Kodam Jaya Mayjen Try Sutrisno memenuhi permintaan bantuan polisi.

Sejumlah tentara dikerahkan ke Tanjung Priok. Menurut Jusuf Wanandi, mereka diperlengkapi dengan senapan AK47 dan M16 untuk pengamanan. Ketika segerombolan orang datang menyatroni kantor polisi, ada sekira 20 tentara yang berjaga di sana. Alih-alih menenangkan massa yang marah, aparat melakukan tindakan di luar batas: menembaki para demonstran secara membabibuta.   

Baca juga: Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok

Sumber pemerintah mengumumkan kemungkinan 90 orang yang tewas. Namun beberapa sumber lain menyebutkan ada banyak jenazah yang langung dikubur atau dibuang ke laut, sehingga tidak diketahui berapa angka persis mengenai jumlah korban. Panglima ABRI saat itu, Jenderal Benny Moerdani disebut-sebut sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

“Atas perintah Presiden Soeharto, Benny mengambil alih penanganan kerusuhan itu,” tulis Wanandi.

Bagaimana tanggapan Presiden Soeharto atas jatuhnya korban sipil di Tanjung Priok? Dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengatakan, “Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.”

Baca juga: Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok

Menurut Soeharto melaksanakan keyakinan dan syariat agama yang dianutnya, tentu boleh-boleh saja. Tetapi jangan menghasut rakyat untuk memberontak. Apalagi coba-coba memprovokasi mengganti Pancasila, sekali-kali jangan.  

“Terhadap yang melanggar hukum, ya, tentunya harus diambil tindakan,” kata Soeharto membenarkan tindakan aparatnya.   

TAG

Orde-Baru Benny-Moerdani

ARTIKEL TERKAIT

PPP Partai Islam Impian Orde Baru Setelah Rohayan Menembak Soeprapto Wiji Thukul di Mana Rimbanya? Yusman Sudah Komando Sebelum Sekolah Perwira Akhir Hubungan Soeharto dan M. Jusuf Jalan Try Sutrisno ke Kursi RI 2 Gold dan Kisah Penipuan Tambang Emas di Kalimantan Oligarki Zaman Kuda Gigit Besi hingga Era Jokowi Di Balik Istilah Orde Baru “Raja Hutan” Bob Hasan Pulang ke Haribaan Tuhan