Suatu pagi pada 28 September 1963. Kopral Tejbahadur Gurung, seorang tentara Gurkha Rifles 1/2, terkesiap mendengar informasi dari petugas patroli perbatasan tentang keberadaan pasukan Indonesia di Desa Long Jawai, sekira 80 km dari Borneo (Kalimantan Utara). Dia memerintahkan tiga petugas operator radio untuk meminta bantuan ke kantor pusat di Belaga, kota kecil di sepanjang Sungai Rejang, Sarawak.
Tejbahadur mengambil kotak berisi granat kemudian bergerak. Ketika mencapai puncak bukit, dia dan anak buahnya diserang mortir 60 mm. Terjadi baku tembak. Tejbahadur kewalahan. Seorang Gurkha tewas dan lainnya tertembak. Sementara bantuan tak kunjung tiba.
Rupanya, petugas operator radio yang turun ke desa tak mendapatkan sinyal sehingga tak bisa mengontak kantor pusat. Mereka bahkan diberondong pasukan Indonesia yang berada di sebuah sekolah. Satu Gurkha dan satu polisi lapangan (Police Field Force atau PPF) tewas. Seorang polisi PFF yang terluka melarikan diri. Lima orang tewas dari pihak Indonesia.
Setelah berjuang beberapa jam dan peluru hampir habis, Tejbahadur dan anak buahnya memutuskan mundur ke hutan. Akhirnya dia sampai di kantor pusat di Belaga. Untuk tekad dan kepemimpinannya, Tejbahadur dianugerahi Medali Militer.
Baca juga: Tentara India dan Gurkha dalam Pasukan Sekutu
“Pihak Indonesia mencatat, para sukarelawan dibantu TNI menangkap 12 lawan selama pertempuran di Kampung Long Jawi awal September,” tulis Julius Pour dalam biografi Benny Moerdani, Tragedi Seorang Loyalis. Selain menawan, menurut Simon Rees dalam “The Gurkha Battle in Borneo” di historicaleye.com, “mereka juga membunuh sepuluh petugas patroli perbatasan.”
Sebagai balasan, pada 1 Oktober 1963, dua peleton Gurkha tiba untuk menyokong satu unit Gurkha yang lebih dulu diterjunkan dari helikopter ke Long Jawai. Mereka menewaskan 26 pejuang Indonesia.
Setelah penyerangan sekira 200 tentara Indonesia dari Divisi III di Sarawak pada September 1963, Inggris mengirim tim SAS dalam jumlah kecil untuk memberikan asistensi dan mengumpulkan informasi mengenai area perbatasan dan aktivitas Indonesia. “Aktivitas SAS itu menyiapkan panggung bagi pembentukan Operasi Claret,” tulis Letkol Thomas M. Carlin dalam “Claret: The Nature of War and Diplomacy Special Operations in Borneo 1963-1966” yang dipublikasikan U.S. Army War College tahun 1994.
Operasi Claret
Pertempuran demi pertempuran pecah tak lama setelah pemerintah Malaysia dan Inggris mendeklarasikan terbentuknya Federasi Malaysia pada 16 September 1963. Presiden Sukarno menentangnya karena menganggap Federasi Malaysia sebagai bentuk neokolonialisme.
Pada bulan-bulan awal Konfrontasi, keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) disamarkan. Tetapi, ketika konflik meningkat, tak ada alasan lagi untuk bersembunyi. Secara terbuka TNI mulai melatih, membekali, dan ikut menyeberangi perbatasan. Bahkan, pada 3 Mei 1964, Sukarno mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk mengganyang Malaysia.
Pada 10 Juli 1964, dalam pertempuran di Kampung Sakilkilo dan Batugar di Sabah, satu peleton Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) bersama tentara Indonesia berhasil menewaskan 20 tentara Inggris dan Gurkha. TNKU adalah sayap militer dari Partai Ra’yat Brunei pimpinan Ahmad Azahari yang dibentuk untuk mewujudkan negara Kalimantan Utara (nama lain Sabah). Selain itu, pasukan Kujang 328/II Siliwangi menawan 34 tentara Gurkha yang melakukan penyusupan di daerah Kapuas, Sambas.
Baca juga: Percikan Awal Sebuah Konfrontasi
Khawatir eskalasi konflik meningkat jadi perang terbuka, Inggris meningkatkan kehadiran militernya. Pada Juli 1964, operasi gabungan Inggris, Malaysia, Australia, dan Selandia Baru di bawah pimpinan Mayor Jenderal Walter Walker siap menghadapi kekuatan Indonesia. Begitu marinir Indonesia menyerang Malaysia pada 17 Agustus 1964, Inggris segera menggelar Operasi Claret.
“Para pemimpin politik di Inggris memerintahkan operasi lintas perbatasan dengan visibilitas rendah yang disebut Claret. Secara taktis, Claret memegang inisiatif di Borneo. Secara operasional Claret memaksa Indonesia bersikap defensif,” tulis Carlin. “Operasi Claret berkembang dari penetrasi ke perbatasan secara terbatas untuk tujuan pengintaian ke penetrasi intens demi tujuan menghancurkan pos-pos Indonesia dan mengacaukan jalur komunikasi mereka.”
Menurut Simon Rees, hanya unit berpengalaman dalam perang hutan yang dilibatkan dalam Operasi Claret. “Mengingat pengalaman mereka, bagian terbesar operasi itu dibebankan kepada Gurkha,” tulisnya.
Baca juga: Dilema Suku Tidung dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Pada Agustus 1964, operasi gabungan 22 SAS dan Gurkha mempersiapkan serangan terhadap pasukan Indonesia di dekat Nantakor, Kalimantan. Persiapan dibuat sedetail mungkin. Setiap prajurit Gurkha melakukan tugas-tugas khusus dari saat pertama melintasi perbatasan, melakukan serangan, dan menyeberangi lagi perbatasan. Mereka juga memikul tanggung jawab seperti risiko kontak musuh dan kawan yang tewas atau terluka. Walker setuju eksekusi operasi ini digelar pada September 1964.
Ketika operasi digelar, Gurkha sukses melakukan serangan dan menduduki pos tersebut. “Mereka kemudian mengobrak-abrik fasilitas-fasilitas dan membakarnya. Selama kembali ke perbatasan Gurkha melakukan serangan mendadak untuk menghalangi pengejaran dari pasukan Indonesia,” tulis Carlin.
Pertempuran demi pertempuran terus terjadi hingga Konfrontasi berakhir.
Akhir Konfrontasi
Konfrontasi berakhir ketika kekuasaan Sukarno melemah pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Perjanjian damai Indonesia-Malaysia ditandatangani pada 11 Agustus 1966.
Catatan Inggris mengemukakan, selama Konfrontasi, mereka mengerahkan 17.000 pasukan, di antaranya 114 tewas dan 181 terluka. Inggris mengklaim menewaskan 590 pasukan Indonesia, 22 terluka, dan 771 tertangkap. Keterangan lain menyebut tentara Indonesia yang tertangkap sebanyak 546 orang –dibebaskan setelah Konfrontasi selesai.
Baca juga: Konfrontasi Sampai Mati
Menurut Julius Pour, tak ada sumber independen yang dapat mengonfirmasi kebenaran catatan jumlah korban di kedua belah pihak. Apalagi pertempuran sengit di sepanjang perbatasan Kalimantan, baik oleh Indonesia, Inggris, maupun Malaysia tak pernah diumumkan. “Sehingga, dalam pertempuran selama tiga tahun, laporannya lenyap tertelan oleh kelebatan rimba belantara tropis,” tulisnya.
Pasukan Gurkha sendiri, menurut Simon Rees, kehilangan 43 orang tewas dan 87 terluka selama Konfrontasi. Tapi orang-orang dari Nepal ini telah membuktikan diri sebagai prajurit yang mahir, fleksibel, tangguh, dan ulet.