Masuk Daftar
My Getplus

Mimpi Merdeka Raden Ajeng Kaida

Kartini bukan satu-satunya. Kepada sahabat pena di Belanda, Kaida mengungkapkan bahwa perempuan harus melawan untuk memperoleh kemerdekaan dan kemandirian.

Oleh: Kirsten Kamphuis | 25 Des 2020
Ilustrasi Raden Ajeng Kaida. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Pada bulan Oktober 1912, seorang wanita muda di keraton Paku Alam Yogyakarta memulai surat pertamanya kepada sahabat pena baru di Belanda. Raden Ajeng Kaida berumur delapan belas tahun dan terus berkomunikasi dengan teman barunya dari Belanda, Kaatje, selama kurang lebih empat tahun. Surat-suratnya, yang sekarang disimpan dalam arsip di Amsterdam, memberikan pengetahuan yang menarik tentang harapan Kaida untuk masa depannya. Surat-surat itu juga menunjukkan bahwa dia harus menghadapi banyak kekecewaan, karena tradisi priayi terkadang lebih kuat daripada mimpinya sendiri.

Kisah Kaida memiliki banyak kesamaan dengan kisah Raden Ajeng Kartini (1879–1904). Keduanya berkorespondensi dengan wanita muda seusia mereka di Belanda. Kartini mulai menulis kepada teman penanya, Stella Zeehandelaar, pada tahun 1899, ketika dia berusia dua puluh tahun. Baik Kartini dan Kaida bergumul dengan keterbatasan tradisi dalam keluarga priayi mereka. Namun, ketika Kartini menjadi terkenal, kisah Kaida tidak diketahui. Surat-suratnya pada Kaatje menggambarkan pengalaman pribadi seorang wanita muda priayi di saat masyarakat Jawa sedang berubah dengan cepat.

Baca juga: Kartini Martir, Bukan Pelakor!

Advertising
Advertising

Tidak jelas bagaimana Kaida bisa berhubungan dengan sahabat pena Belandanya. Mungkin para gadis-gadis ini mulai bertukar surat karena guru Kaatje di Amsterdam, yang menghubungkan gadis Jawa dan Belanda satu sama lain. Berbeda dengan Kaatje yang duduk di bangku SMA, Kaida telah meninggalkan sekolah setelah lulus dari Sekolah Dasar berbahasa Belanda (Europese Lagere School) pada usia lima belas tahun. Dia menulis dan berbicara bahasa Belanda dengan lancar.

Tidak lazim bagi gadis-gadis priayi Jawa generasi Kaida untuk bersekolah di SD Eropa, tetapi Kaida memiliki ayah yang berpikiran maju: Pangeran Ario Noto Dirodjo, putra Paku Alam V. Noto Dirodjo memastikan bahwa semua anaknya, laki-laki maupun perempuan, menerima pendidikan dasar bahasa Belanda. Kaida adalah salah satu dari sedikit gadis Jawa di sekolahnya.

Tinggal di rumah

Kepada sahabat penanya, Kaida mengaku bahwa dia terkadang merasa frustrasi karena tidak diberi kesempatan untuk melanjutkan studinya. Ketika dia menyelesaikan sekolah dasarnya pada tahun 1909, tidak ada pilihan untuk pendidikan menengah di Yogyakarta. Orang tua Kaida tidak mengizinkan putrinya pindah ke kota lain untuk pendidikannya, sehingga dia terpaksa tinggal di rumah. Situasi pemuda dari Paku Alam jelas berbeda. Kaida memiliki dua sepupu dan dua paman yang sedang belajar di Belanda, Leiden, Delft, Den Haag, dan Amsterdam.

Baca juga: Noto Soeroto dan Ide tentang Aristokrasi

Kakak laki-kalinya adalah Noto Soeroto, yang belajar hukum di Leiden dan kemudian menjadi jurnalis dan penyair terkenal. Waktu berubah perlahan. Saat Kaida mulai menulis kepada Kaatje, ada peluang baru bagi pendidikan wanita: beberapa anggota keluarga wanita muda Kaida sedang belajar menjadi guru. Salah satu saudara perempuannya, Karlinah, bahkan menjadi perempuan Indonesia pertama yang mendapat ijazah mengajar di sekolah berbahasa Belanda. Tetapi Kaida merasa kurang berbakat menjadi guru, karena tidak selalu mendapat nilai yang bagus di sekolah.

Cita-cita modern

Dalam suratnya, Kaida menggambarkan kehidupannya di keraton Paku Alam, dikelilingi oleh saudara perempuan dan sepupunya. Dia menghabiskan banyak waktu untuk membaca, dan memberi tahu teman Belandanya yang baru tentang pertunjukkan wayang yang dia hadiri. Sementara dia mencoba menerima bahwa dia tidak pernah mendapat ijazah, dia diam-diam bermimpi mandiri secara finansial. Dia menulis:

“senang rasanya memiliki banyak waktu luang untuk membaca semua jenis buku yang bagus, tetapi saya tetap memilih belajar daripada kehidupan saya saat ini. Sungguh luar biasa belajar untuk suatu profesi, dan mendapat ijazah yang bisa menempatkan anda pada posisi di masyarakat. Bukankah itu berarti saya akan memperoleh kemerdekaan dan kemandirian?”

Baca juga: Buku Kartini dalam Beragam Bahasa

Dalam mimpinya tentang kemerdekaan, Kaida terinspirasi oleh Kartini: Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) adalah salah satu buku favoritnya. Dia tidak takut untuk mengungkapkan cita-citanya. Menurut Kaida, setiap perempuan di Jawa perlu melawan adat yang membatasi kebebasan perempuan. Dia terutama merasa bahwa perjodohan adalah hal yang salah, karena banyak pernikahan yang berakhir tidak bahagia.

Adiknya, Karlinah memiliki gagasan progresif yang serupa. Pada tahu 1914, Karlinah menulis kontribusi untuk laporan pemerintah tentang situasi perempuan Jawa. Dia sangat percaya bahwa poligami itu salah, dan menggambarkan berapa banyak wanita priayi yang menderita dalam pernikahan poligami mereka. Di matanya, pendidikan merupakan kunci perbaikan posisi perempuan dalam masyarakat Jawa.

Contoh Kaida dan Karlinah menunjukkan bahwa Kartini bukanlah satu-satunya perempuan Indonesia yang berpikiran bebas di awal abad ke-20. Pada tahun 1910-an, ada sedikit generasi baru perempuan priayi muda berpendidikan yang sangat kuat menyuarakan cita-cita modern.

Mewujudkan mimpi… secara singkat

Pada tahun 1913, setelah satu tahun surat-menyurat, Kaida punya kabar gembira untuk Kaatje. Dia mulai bekerja di sekolah swasta untuk anak-anak Jawa, tempat dia mengajar bahasa Belanda. Dia juga mengajar menjahit untuk gadis remaja. Dia dengan bangga menulis bahwa dia sangat menikmati pekerjaan itu.

Setelah beberapa tahun mengajar, Kaida yang sebelumnya sangat kecewa karena tidak pernah mendapat ijazah, pergi jauh-jauh ke Jakarta untuk mengikuti ujian menjahit. Dia menerima sertifikat mengajar resmi. Namun sayangnya, dia tidak sempat menikmati hasilnya. Segera setelah Kaida menerima ijazahnya, ayahnya menderita stroke dan dia terpaksa berhenti dari pekerjaannya sebagai guru.

Sekali lagi, dia harus tinggal di rumah, kali ini untuk menjaga ayahnya. Dalam surat terakhirnya kepada Kaatje tahun 1916, dia menulis: “saya sangat bahagia ketika pulang dengan ijazah di saku saya, tetapi kebahagiaan saya tidak bertahan lama. Tetap, saya pasrah dengan keyakinan saya.”

Baca juga: Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason?

Sayangnya, kami tidak tahu apa yang terjadi pada Kaida setelah dia berhenti menulis surat kepada Kaatje. Sepertinya dia merawat ayahnya sampai kematiannya pada tahun 1917, dan mungkin dia menikah setelah itu. Kehidupan Kaatje berjalan sangat berbeda: dia belajar biologi di Universitas Leiden, memperoleh gelar PhD dan bekerja sebagai peneliti hingga pensiun. Putrinya akhirnya memberikan surat Kaida ke Institut Internasional untuk Sejarah Sosial di Amsterdam. Lebih dari seratus tahun setelah Kaida menulisnya, surat-surat itu masih menjadi warisan yang mendalam bagi harapan dan impian seorang wanita muda.

Kirsten Kamphuis adalah kandidat PhD bidang sejarah di European University Institute, Florence, Italia.

Tulisan ini diterjemahkan oleh Faraya Maulida.

Baca juga:

Jan Lucassen, “Letters from a Javanese Princess, 1912-1916”. Di Tepi Laut. Buletin dari Friends of the IISG 9 (2004) hal. 4-5 di iisg.amsterdam.

Harry A. Poeze, Cees van Dijk, dan Inge van der Meulen, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 (Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV Jakarta, 2004).

Tautan ke arsip:

Institut Internasional untuk Sejarah Sosial, Amsterdam, Arsip Aletta Sophia Schijfsma-Reydon di iisg.amsterdam.

TAG

perempuan ra kartini

ARTIKEL TERKAIT

Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Jejak Para Pelukis Perempuan Emmy Saelan Martir Perempuan dari Makassar Menggoreskan Kisah Tragis Adinda dalam Lukisan Tragedi Tiga Belas Mawar di Madrid Kisah Pengorbanan Seorang Babu Perempuan di Medan Perang