Masuk Daftar
My Getplus

Markas Para Jenderal Oposan

Sejumlah perwira pensiunan membentuk perkumpulan untuk mengkritisi rezim Orde Baru. Soeharto tak membiarkannya .

Oleh: Martin Sitompul | 08 Mar 2018
Soeharto diantara para jenderal yang tergabung dalam kelompok Fosko TNI-AD. Kiri: Letjen Mokoginta, Letjen M. Jasin, dan Letjen Dharsono. Kanan: Brigjen Daan Jahja, Letjen Sugih Arto, dan Letjen Djatikusumo. Ilustrator: Gun Gun Gunadi/Historia.

MESKI berbicara dalam nada tenang, nampak sekali Soeharto naik pitam saat berpidato dalam HUT Kopasaandha (kini Kopassus) di markas Cijantung pada 16 April 1980. Kata sang presiden, tersiar kabar bila istrinya, Tien Soeharto menentukan pemenang tender pemerintah dengan pihak swasta dan menerima komisi 10 persen dari transasksi kekuasaan itu. Ada lagi gosip beredar yang menyatakan kalau Soeharto memiliki wanita simpanan seorang artis bernama Rahayu Effendi. Menurut Soeharto, isu itu dihembuskan karena dirinya dianggap sebagai penghalang utama kegiatan politik para pembuat rumor tersebut.

Untuk menekan lawan politiknya, Soeharto menebar ancaman. Dia memperingatkan, andaikata dirinya ditiadakan, maka akan muncul lebih banyak kekuatan yang akan memukul balik. “Bahwasanya, toh akhirnya akan timbul mungkin lebih daripada saya, warga negara, prajurit-prajurit anggota ABRI termasuk pula korps Koppasandha baret merah akan tetap menghalangi kehendak politik mereka itu,” tegas Soeharto.

Dalam pidatonya, Soeharto sama sekali tidak menyebut nama-nama yang disebutnya sebagai “mereka”. “Tetapi siapapun maklum bahwa yang dimaksud pasti adalah perwira senior yang tidak senang dengannya,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit.

Advertising
Advertising

Lantas, siapa kah para perwira senior itu?

Jalan Petarung Pensiunan

Kelompok oposan yang dimaksud Soeharto bermula dari niatan Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad), Jenderal Raden Widodo. Pada 12 April 1978, Widodo mengumumkan pembentukan badan resmi Forum Studi dan Komunikasi TNI. Forum ini lebih ternama sebagai Fosko TNI-AD karena semua anggotanya berasal dari perwira tinggi purnawirawan AD. Widodo membentuk Fosko untuk mewadahi para purnawirawan dalam memberi masukan kepada pemerintah melalui Kasad.

Sebanyak 18 tokoh perwira terkemuka mantan petinggi militer tergabung dalam Fosko. Presidium Fosko terdiri dari Letjen Djatikusumo, Letjen R. Sudirman, dan Mayjen Achmad Sukendro dengan Letjen H.R. Dharsono sebagai sekretaris jenderal. Bidang politik dipegang oleh Letjen A.Y. Mokoginta dan Brigjen Daan Jahja; bidang ekonomi oleh Letjen M. Jasin; bidang hukum oleh Letjen Sugih Arto. Turut pula Kolonel Alex Kawilarang, perwira yang begitu disegani sejak zaman revolusi sebagai anggota.

Jurnalis Australia, David Jenkins dalam penelitiannya untuk Far Eastern Economic Review mencatat reputasi para jenderal Fosko. Mereka pada umumnya telah berkecimpung di militer selama lebih dari 30 tahun. Namun, tak semuanya “bersih”. Beberapa diantaranya populer sebagai perwira berperangai keras dan pernah berkolaborasi dengan Soeharto di masa awal Orde Baru.

Dharsono dan Jasin merupakan penyokong kuat Soeharto tatkala menjadi Panglima Kodam di Jawa Barat dan Jawa Timur. Keduanya menindas kekuatan politik yang pro-Sukarno di wilayah kekuasaan masing-masing. “Mokoginta dikenal sebagai polisi militer yang keras, bahkan brutal. Ia sangat represif ketika menjadi komandan inter-regional di Sumatra pada awal rezim Orde Baru,” tulis Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983. “Sukendro sebagaimana telah diketahui, terkenal dengan reputasinya sebagai manusia licik dan konspiratif dengan kualitas moral diragukan.”

Meski dengan latar belakang beragam, semua jenderal Fosko tiba pada satu suara senada: hendak meluruskan kepemimpinan Soeharto yang mulai melenceng. Secara berkala mereka berkumpul di kantor Kasad ataupun di Gedung Veteran Graha Purna Yudha. Dalam berbagai diskusinya, para jenderal Fosko selalu mengantarkan rekomendasi dalam bentuk makalah kepada Widodo untuk diteruskan ke atas (baca: Panglima ABRI dan Presiden). Secara garis besar, Jenkins mencatat tiga pokok utama yang menjadi tuntutan Fosko: menyesuaikan dwifungsi ABRI dengan perkembangan rakyat, menegakkan prinsip dasar demokrasi bagi semua golongan, dan membebaskan TNI dari kepentingan kekuasaan.

Dalam otobiografinya “Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Soeharto“: Sebuah Memoar yang disunting Nurinwa Ki S. Hendrowinoto, M. Jasin salah seorang jenderal Fosko menuturkan bermacam persoalan yang dikritisi dalam kelompoknya. Mulai dari gaya diktator kepemimpinan Soeharto, soal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, dominasi Golkar sebagai kekuatan politik, carut-marut dwifungsi ABRI, hingga kendala dalam pembangunan yang dilaksanakan pemerintah. “Dan tentu saja, banyak kasus yang sifatnya ‘panas dan rahasia’,”ujar Jasin.

Perihal rahasia yang dimaksud Jasin antara lain keterlibatan ABRI dalam pemenangan Golkar jelang pelaksanaan pemilihan umum. Termasuk pula kasus proses verbal Kolonel Latief tentang Gerakan 30 September yang menyeret nama Soeharto sebagai Panglima Kostrad yang telah “mengetahui” adanya rencana gerakan waktu itu. Menurut Jasin, Sukendro –yang mantan perwira intelijen– adalah jagonya mengorek data dan informasi penting terkait “jejak hitam” Soeharto.

Berbagai usulan Fosko kepada pemerintah yang telah disampaikan kepada Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf berkali-kali dimentahkan. Belakangan, kelompok Fosko menyadari bahwa Jusuf memang cukup sulit menerima mereka. Apalagi karena mengetahui bila Soeharto pasti akan keberatan. “Forum tersebut dikenal menjadi tempat untuk melontarkan kritik terhadap kepemimpinan Presiden Soeharto. Hal itu lama-lama sampai ke telinga Presiden juga,” tulis Atmadji.

[pages]

Pecah Kongsi kubu Jenderal Tua

Menurut Jusuf, Soeharto mulai tak nyaman dengan sikap kritis para jenderal purnawirawan. Jusuf kemudian menginstruksikan Jenderal Widodo untuk membubarkan forum itu. Pada 26 Februari 1979, dikeluarkan siaran pers yang menyebutkan bahwa Fosko TNI-AD dibekukan kegiatannya karena “adanya oknum Fosko yang mempergunakannya untuk kepentingan pribadi”. Pembekuan Fosko berimbas pula terhadap Widodo yang selanjutnya dicopot dari kedudukan Kasad.

Kendati dibekukan, para jenderal oposan masih belum mengendurkan serangan. Mereka mengubah nama Fosko TNI AD menjadi Forum Komunikasi dan Studi (FKS) Purna Yudha pada Desember 1979. Gejala polarisasi mulai terlihat dalam gerakan Fosko. Ada yang tetap maju dan ada yang mundur teratur.

Beberapa pentolan mulai memperlihatkan perlawanan terbuka. Mokoginta dan Jasin terlibat dalam Petisi 50 yang akhirnya dibunuh secara perdata oleh pemerintah Soeharto. Dharsono menderita dalam jeruji penjara sementara Soekendro dijegal tanpa ampun dari semua bisnisnya sebagai pengusaha. Pun niat Sukendro untuk bisa menyelesaikan pendidikan doktoralnya yang hanya tinggal uji disertasi, terpaksa kandas karena dipersulit sedemikian rupa (Baca: Nasib Jenderal Pembangkang).

Beberapa jenderal goyah dan memutuskan menyerah. Alih-alih tetap konsisten meneruskan kritiknya, sebagian justru menerima tawaran berkompromi. David Jenkins menyebut distribusi patronase alias bagi-bagi rezeki sebagai cara picik dan keji yang ditawarkan pemerintah Orde Baru. Djatikusumo menarik diri dari kelompok eks Fosko yang disusul Ishak Djuarsa, Harun Sohar, dan Daan Jahja.

Yang masih kritis melawan terpaksa kalah akibat menua dimakan usia. Puncaknya ketika Sukendro dan Mokoginta wafat pada 1984. Kelompok eks Fosko kehilangan dua orang tokoh kawakan yang paling dinamis. Para jenderal tua yang tersisa hanya bisa menepi, bersuara dalam sunyi menanti runtuhnya kekuasaan sang penguasa Orde Baru, Soeharto.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Sponsor Jersey Timnas Indonesia dari Masa ke Masa Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan