Masuk Daftar
My Getplus

Ketika S.M. Amin Dipalak Timur Pane

Kala memimpin Sumatra Utara, dia harus menghadapi pentolan laskar yang mengacau di daerahnya. Sempat tiga kali terpilih sebagai gubernur.

Oleh: Martin Sitompul | 16 Nov 2020
Sutan Mohammad Amin Nasution, gubernur Sumatra Utara yang pertama. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Sutan Mohammad Amin Nasution pontang-panting menjalankan pemerintahan di Sumatra Utara. Sebagai gubernur muda, Amin mesti menghadapi dua kubu sekaligus. Di satu sisi, Belanda datang kembali menancapkan kekuasaan. Tapi di sisi lain, kelompok laskar pun berbuat sesuka hati  dan malah malah turut mengacau keamanan.

“Tantangan kedua yang harus dihadapi, adalah dari pihak Laskar Marsuse di bawah pimpunan Timur Pane,” tutur Amin dalam memoarnya Kenang-kenangan dari Masa Lampau.

Menurut Amin, Laskar Marsuse tersebut merupakan gabungan beberapa laskar yang bersatu menuntut suatu pengakuan resmi dari pemerintah. Sebagaimana disebutkan Kementerian Penerangan RI dalam buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Utara, Timur Panelah yang mengorganisasi berbagai barisan Laskar Marsuse.

Advertising
Advertising

Baca juga: Timur Pane, Lakon Sang Bandit

“Timur Pane menyatakan dirinya jenderal mayor dan mengangkat beberapa kolonel dan opsir-opsir menengah lainnya,” tulis Kementerian Penerangan.

Meminta 120 Juta Gulden

Timur Pane membangun reputasinya sebagai jagoan yang disegani ketika memimpin Laskar Napindo Naga Terbang dalam pertempuran Medan Area. Untuk melegitimasi kedudukannya, Timur Pane menuntut pengakuan dari pemerintah. Pada pertengahan 1947, Timur Pane serta pasukan pengawalnya mendatangi S.M. Amin selaku gubernur muda. Tanpa basa-basi, Timur Pane mendesak Amin agar pasukan Marsuse diterima sebagai tentara republik. Namun yang lebih mencengangkan, Timur Pane meminta anggaran belanja untuk pasukannya sebesar 120 juta gulden setiap bulannya.

Angka yang dilontarkan Timur Pane itu sungguh tidak masuk akal. Dalam kondisi perang demikian kas pemerintah nyaris kosong.  “Tentu saja tuntutan ini ditolak!” ungkap Amin. Mendengar tawarannya ditolak, Timur Pane hanya bisa mengumpat sambil menjual ancaman bakalan terjadi pertumpahan darah.

Baca juga: Gertak Sambal ala Timur Pane

Aksi Timur Pane yang meresahkan itu rupanya mendapat perhatian pemerintah pusat. Pada 29 Juni 1947, Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo membubarkan pasukan Marsuse. Meski demikian, pimpinan militer mengambil jalan tengah dengan tetap mengakomodasi keinginan Timur Pane dan mewadahi pasukannya. Timur Pane kemudian diberi kedudukan sebagai panglima Legiun Penggempur dengan pangkat kolonel.

Ketika Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama, pasukan Timur Pane tidak mampu memberikan perlawanan. Gertak sambalnya tidak terbukti di medan perang. Alih-alih bertempur di garis depan, pentolan laskar yang mantan copet di kota Medan ini menebar kekacauan di antara barisan pejuang.  

Pada akhirnya, Timur Pane ditindak oleh tentara republik. Dia dicopot dari kedudukannya. Usai pencoptan itu, Timur Pane sendiri hilang tidak tentu rimbanya. Namanya lebih dikenal sebagai bandit legendaris ketimbang tokoh pejuang.   

Baca juga: Timur Pane, Pejuang yang Terbuang

Gubernur Tiga Kali

Sementara itu, S.M. Amin diangkat menjadi gubernur Sumatra Utara yang pertama pada 1948. Amin berperan dalam meletakan dasar-dasar pemerintahan di daerah itu. Di masa kepempinannya, terbentuklah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Utara yang dilantik oleh Amin. Tapi, Amin hanya setahun menjabat gubernur. Setelah Belanda melancarkan agresi militer kedua, pemerintahan diambil alih oleh Gubernur Militer Mayor Jenderal (tituler) Daud Beureuh. Amin kemudian dialihtugaskan menjadi Komisaris Pemerintah untuk daerah Sumatra pada tahun 1950.

Pada 1953, Amin diangkat kembali menjadi gubernur Sumatra Utara. Pada periodenya keduanya ini, Amin kembali menghadapi tantangan berat. Ketika itu, wilayah Aceh sedang bergolak akibat pemberontakan Darul Islam pimpinan Daud Beureuh. Penunjukan S.M. Amin guna memadamkan api yang sedang membakar Aceh terbilang tepat.

Baca juga: S.M. Amin, Gubernur Pertama Sumatra Utara

“Beliau diketahui sangat mengenal Aceh karena beliau cukup lama berada di sana, sejak menjadi anggota Komite Nasional Daerah,” tulis Muhammad Tuk Wan Haria dalam Gubernur Sumatra Utara dan Para Gubernur Sumatra Utara.

Hingga periode keduanya berakhir pada 1956, Amin dapat menyelesaikan konflik di Aceh lewat pendekatan perundingan dan negosiasi. Selain itu, pada periode kedua Amin ini pula kesebelasan PSMS Medan berada di puncak kejayaannya. Dalam pertandingan-pertandingan di Stadion Teladan, PSMS selalu berhasil memukul kesebelasan luar negeri sehingga klub ini dikenal dengan julukan “the killer”.

Banyak makan asam garam dalam birokrasi di Sumatra, Amin kemudian ditarik pemerintah pusat untuk bertugas di Kementerian Dalam Negeri. Amin menjadi tokoh penggaggas otonomi daerah. Dia menjabat sebagai Ketua Panitia Pembagian Daerah Indonesia (Penyelenggara Pemerintah Daerah).

Baca juga: Ketika Daud Beureuh Disuguhi Nasi Garam

Pada 1958, Amin menjadi gubernur lagi untuk kali ketiga. Namun kali ini, Amin menjadi gubernur Provinsi Riau yang dilantik pada 27 Februari 1958. Di tengah jalan, Amin diberhentikan pada 1960 untuk bertugas kembali di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta. Atas jasanya kepada negara, Presiden Sukarno menganugerahkan Satya Lencana kepada Amin pada 1961.

Di masa tuanya, Amin tetap aktif berkarya. Amin tergolong penulis yang produktif menulis buku seputar hukum maupun pandangan kritis tentang Indonesia pada masa itu. Dalam buku-buku karangannya, Amin kerap menggunakan nama samaran “Insider” atau “Krueng Raba” –nama sungai kecil dekat tempat kelahiran Amin. Hingga dekade 1980-an, Amin telah menulis 20 buku semasa hidupnya, termasuk memoar yang cukup penting dalam merekonstruksi Sumatra Utara dan Aceh di masa revolusi.

Baca juga: Bangsawan Aceh dan Piagam Jakarta  

“Mr. Amin memang telah mengungkapkan keadaan Aceh sebagaimana yang dihayatinya, sekalipun dengan kacamata seorang pakar hukum,” tulis Nazaruddin Sjamsuddin dalam kata pengantar Memahami Sejarah Konflik Aceh.

Pada 8 Agustus 1991, Amin menerima tanda kehormatan Bintang Jasa Utama dari Presiden Soeharto. Kemudian, Amin mendapat tanda kehormatan terakhir berupa Bintang Legiun Veteran dari Pusat Legiun Veteran RI pada 13 November 1991. Mr. S.M. Amin, gubernur Sumatra Utara pertama itu wafat pada 16 April 1993 dalam usia sepuh 89 tahun. Gelar pahlawan nasional kian mengukuhkan darma bakti S.M Amin setelah Presiden Joko Widodo menganugrahkannya pada hari pahlawan 10 November 2020.

TAG

pahlawan nasional sm amin timur pane

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase Jepang Sebelum Menyerang Pearl Harbor Mimpi Pilkada Langsung Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Memburu Kapal Hantu Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Paris Palsu di Masa Perang Dunia I Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan