Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Jakarta Tiba

Amerika Serikat lewat operasi CIA menggunakan militer untuk menumpas komunis. Keberhasilan di Indonesia menjadi prototipe di beberapa negara.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 30 Jan 2021
Militer pendukung kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet berlindung saat bom dijatuhkan di Istana Presiden La Moneda pada 11 September 1973. (AP Photo/Enrique Aracena).

Pada suatu waktu, Baskara T. Wardaya, SJ., sejarawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, bertemu dengan Benny Widyono di Columbia University, New York, Amerika Serikat. Saat makan malam, Benny yang berasal dari Magelang cerita pernah bekerja di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ditugaskan di Chile. Di sana, dia melihat banyak grafiti, di antaranya tulisan “Jakarta is coming”. Duta besar Republik Indonesia protes ke pemerintah Chile, menyampaikan bahwa Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia, dan corat-coret grafiti itu sepertinya berbahaya.

“Sejak itu, dia courious (penasaran). Ternyata yang dimaksud grafiti itu adalah peristiwa 1965, itu menjelang Salvador Allende diturunkan,” kata Baskara dalam diskusi buku The Jakarta Method karya Vincent Bevins yang diselenggarakan Jaringan Moderat Indonesia pada 26 Januari 2021.

“Saya cerita mengenai itu ke Vincent. Dia bilang, kita tulis buku ini,” kata Baskara. Vincent kemudian membuat proposal yang disetujui penerbit. Setelah itu, dia melakukan riset ke 12 negara selama dua tahun. Hasilnya buku berjudul The Jakarta Method: Washington’s Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program That Shaped Our World yang menarik perhatian terutama bagi Indonesia.

Advertising
Advertising

Baskara mengatakan, buku itu ditulis oleh anak muda berusia 36 tahun, seorang jurnalis Amerika, untuk mengkritik pemerintahannya yang atas nama antikomunisme melakukan crusade (pembasmian) di berbagai negara termasuk Indonesia.

“Kontribusi terbesar dari buku ini adalah menempatkan apa yang terjadi di Indonesia dalam konteks yang lebih luas bahwa peristiwa 1965 dan setelahnya bukan hanya peristiwa domestik tetapi punya dimensi internasional yang kompleks,” kata Baskara.

Baca juga: CIA dan Operasi Jakarta di Chile

Komaruddin Hidayat sepakat dengan pendapat tersebut. Menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, buku karya Vincent merupakan sebuah eksplorasi historis kritis peranan Amerika Serikat dalam menghadapi kekuatan komunis. Amerika merasa sebagai polisi dunia ingin mengekspor kapitalisme dan demokrasi ke berbagai negara walaupun dengan bayonet: democracy under bayonets.

“Demokrasi tidak mungkin tumbuh kalau komunis tidak diratakan dulu. Untuk meratakan komunis, ya dengan militer. Jadi, tujuannya demokrasi tapi ada interval yaitu menggunakan militer. Ini terjadi di mana-mana,” kata Komaruddin.

Menurut buku ini, kata Komaruddin, ada tiga kekuatan di Indonesia, yaitu Sukarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan militer. Waktu itu, komunis sangat agresif di berbagai negara. Bahkan, PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan China. Oleh karena itu, Amerika tidak bisa membiarkannya. Teori domino bisa berlaku.

“Makanya, Indonesia penting sekali untuk digarap,” kata Komaruddin. “Amerika babak belur di Vietnam tidak masalah. Asal Indonesia jangan sampai lepas.”

Bagi Washington, lanjut Komaruddin, demokrasi tidak cocok untuk Indonesia karena PKI sangat terorganisir dengan baik. PKI bisa berkuasa karena kampanyenya sangat dekat dengan rakyat, seperti land reform atau reforma agraria. Oleh karena itu, Amerika mendukung partai politik lawan PKI –yaitu Partai Masyumi dalam pemilu pertama tahun 1955. Ketika PKI semakin kuat, yang cocok menghadapinya adalah kekuatan diktator. Hanya lewat tangan diktator komunis bisa disingkirkan.

“Di sinilah, menurut buku ini, tampilnya militer memang sejalan dengan ide dan kehendak Washington,” kata Komaruddin. “Ada kekuatan militer yang sengaja dijaga hubungannya sebagai perpanjangan atau pintu masuk kepentingan Barat. Banyak perwira militer sekolahnya di Amerika.”

Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI

Baskara menambahkan bahwa satu hal yang ditekankan dalam buku ini adalah para perwira militer Indonesia sekolahnya di Amerika. Setelah Amerika gagal membantu pemberontakan PRRI/Permesta, kira-kira pertengahan tahun 1958 banyak perwira Angkataran Darat yang dilatih di Amerika. “Sampai tahun 1964 ada sekitar 2.500 perwira yang dilatih di Amerika. Itu nanti menjadi kekuatan pada 1965 dan seterusnya,” kata Baskara.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi momentum bagi Angkatan Darat untuk menumpas tuntas PKI. Washington lewat operasi CIA memberikan bantuan dalam penumpasan itu.

“Amerika punya konsep yang begitu detail dan strategis yang diberikan kepada Angkatan Darat, bagaimana menumpas kekuatan PKI dan yang dicurigai PKI sebersih-bersihnya. Makanya, ada yang menyebut ini sebagai skandal HAM berat karena banyaknya orang yang dibunuh,” kata Komaruddin.

Indonesia sebagai Prototipe

Komaruddin mengatakan bahwa agenda Amerika membasmi komunis di Indonesia dengan menggunakan militer begitu sukses. Inilah yang kemudian dijadikan judul buku: The Jakarta Method. Keberhasilan menumpas komunis di Indonesia menjadi prototipe yang digunakan untuk membasmi komunis di negara-negara Amerika Latin.

“Sehingga di sana (Chile, red.) ada istilah ‘Jakarta tiba’ (Jakarta is coming),” kata Komaruddin. “Dalam bahasa mereka, konotasi ‘Jakarta tiba’ berarti sebentar lagi akan ada operasi militer terhadap kekuatan komunis.”

Baskara menyebutkan, sebenarnya sebelum di Indonesia pada 1965, kudeta militer tejadi di Brasil tahun 1964 dan kemudian di Chile tahun 1973. “Setelah itu ada Operation Condor, yang berdasarkan pengalaman di Indonesia dan Chile, dipakai untuk menindas (komunis dan oposisi, red.) di negara-negara Amerika Latin. Sponsornya bos besar di Washington itu,” kata Baskara.

Menurut Nur Iman Subono, staf pengajar di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Operation Condor adalah kerja sama negara-negara Amerika Latin di bawah pemerintahan militer untuk saling memberikan informasi tentang kelompok oposisi yang lari ke berbagai negara.

“Condor Operation itu mengerikan,” kata Nur Iman. “Hingga duta besar Chile di zaman Allende dibunuh di Washington dengan cara diledakkan mobilnya.”

Baca juga: CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

Sementara itu, sejarawan Bradley R. Simpson dalam Economist with Guns menyebutkan bahwa ekspansi operasi rahasia di Indonesia dimulai persis setelah operasi sejenis dilakukan CIA di Brasil. Para perwira sayap kanan dengan dukungan Washington mengkudeta pemerintahan nasionalis progresif Joao Goulart pada 31 Maret 1964. Para petinggi Amerika Serikat menuduh Goulart bekerja sama dengan partai komunis dan kekuatan-kekuatan radikal untuk mengamankan kekuasaannya.

Menurut Simpson, Goulart dan Sukarno memiliki persamaan: nasionalis yang nonblok, membangun ekonomi dengan diarahkan oleh negara, memobilisasi politik kaum miskin pedesaan yang jumlahnya sangat besar, menentang investor asing terutama dalam menguasai sektor minyak sehingga melakukan nasionalisasi. Keadaan di Brasil dan Indonesia juga memiliki kesamaan: menderita karena inflasi, kekacauan sosial dan ekonomi mendorong krisis politik dalam negeri.

“Dan seperti yang akan mereka lakukan di Indonesia,” tulis Simpson, “operasi rahasia CIA di Brasil bertujuan mendestabilisasi ekonomi, menebar ketidakpastian, dan menawarkan dukungan kepada beragam kekuatan yang menentang Goulart, sementara kedutaan Amerika tetap mempertahankan hubungan yang erat dengan mereka yang merencanakan kudeta di angkatan bersenjata Brasil.”

Setelah kudeta berhasil, kata Simpson, pemerintahan Lyndon B. Johnson begitu cepat mengakui rezim militer pada awal April 1964. Ini menunjukan respons yang kemungkinan besar sama dari Gedung Putih atas peristiwa serupa di Indonesia.

Baca juga: Pelatihan Perwira Angkatan Darat di Jerman

Nur Iman mengatakan bahwa kudeta militer di Amerika Latin sebenarnya biasa. Tetapi menjadi tidak biasa setelah kudeta militer di Brasil tahun 1964, Chile tahun 1973, dan Argentina tahun 1976.

“Kudeta militer itu tidak untuk kembali ke Barat setelah tenang, tetapi menetap di sana untuk la guerra sucia atau perang kotor melawan komunisme dan kelompok-kelompok radikal lainnya. Ini sangat berkaitan dengan model keterlibatan militer dalam politik yang sekolahnya ada di Amerika, yaitu national security and counterinsurgency,” kata Nur Iman.

Indonesia juga di satu sisi Sukarno menentang Amerika dengan mengatakan go to hell with your aid, pada saat bersamaan banyak perwira militer sekolah di sana. “Mereka ketemu dengan para perwira dari Amerika Latin, sehingga kalau ada kemiripan mungkin saja karena kurikulum dan instrukturnya sama,” kata Baskara.

Kiri di Amerika Latin

Nur Iman menjelaskan bahwa gerakan kiri di Amerika Latin tidak serta merta antek dari komunisme internasional Uni Soviet. Argumen mereka adalah meskipun Perang Dingin berakhir, tapi persoalan yang dipermasalahkan oleh kelompok kiri tentang kemiskinan dan ketimpangan masih terjadi. Jadi, itu tetap menjadi perhatian bagi kelompok-kelompok politik dan sosial di Amerika Latin.

“Menariknya, di Venezuela, Hugo Chavez adalah angkatan pertama dari akademi militer yang tidak menggunakan kurikulum Amerika lagi, tetapi lebih menempatkan militer sebagai kelompok nasionalis,” kata Nur Iman.

Chavez tidak puas dengan pemerintahan Venezuela karena kemiskinan di mana-mana. Dia memimpin Revolutionary Bolivarian Movement-200 melakukan kudeta terhadap Presiden Carlos Andres Perez pada 1992. Kudeta itu gagal karena tidak mendapat dukungan.

“Setelah bebas dari penjara, dia mulai bergerak di grassroots (akar rumput),” kata Nur Iman. Akhirnya, Chavez berhasil menjadi presiden pada 1999 sampai meninggal pada 2013.

Baca juga: CIA Incar Jenggot Castro

Nur Iman menyebut contoh kedua gerakan kiri Amerika Latin adalah kasus Kuba. Ketika Uni Soviet dan negara-negara satelitnya ambruk, kelompok oposisi Fidel Castro di Miami, Amerika Serikat, bergembira dengan meneriakkan “akan tahun baru di Havana” karena menganggap Castro akan jatuh. Ternyata, meski presiden Amerika sudah lebih dari sepuluh, Castro tidak juga jatuh.

Itu artinya ada sesuatu mengapa mereka mendukung Castro. Ada tiga hal yang cukup dipenuhi ketika revolusi 1959 sampai 1961 yang disebut special period (periode khusus), yaitu sandang, pangan, dan perumahan; semuanya gratis. “Pernah waktu gempa Yogyakarta (2006), Sri Sultan memberikan pujian kepada relawan dari Kuba. Ini hal yang tidak dipahami, kiri Amerika Latin beda,” kata Nur Iman.

“Namun, upaya negara-negara berkembang untuk mencari alternatif selalu direcokin oleh Amerika. Sukarno pernah mengusung Nefo, [Gamal Abdel] Nasser dengan sosialisme di Mesir, selalu direcokin,” kata Nur Iman. Nefo (The New Emerging Force) adalah negara-negara dunia ketiga yang menentang kolonialisme dan kapitalisme.

Baca juga: CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno

Baskara menambahkan, sebenarnya negara-negara Amerika Latin menjadi komunis bukan terutama tertarik kepada komunismenya itu sendiri, tetapi komunisme sebagai alat perlawanan terhadap kapitalisme. “Ide yang sama dimiliki oleh Bung Karno pada waktu itu. Baginya yang penting adalah melawan kolonialisme dan turunannya. Tetapi dia dituduh komunis dan sebagainya,” kata Baskara.

Sementara itu, bagi Paman Sam tidak ada alternatif lain selain kapitalisme. Washington lewat operasi CIA menggunakan militer untuk menghancurkan komunisme di berbagai negara.

“Militer digunakan oleh Amerika karena punya senjata,” kata Komaruddin menyimpulkan. “Amerika menggunakan dictatorship di dunia ketiga untuk kepentingan praktis menumpas komunis. Di sinilah kita tahu bahwa Amerika bicara demokrasi ideal di negaranya, tetapi di negara-negara lain, jika diktator itu menguntungkan akan didukung untuk kepentingannya. Tujuannya mulia untuk membasmi komunis dan pembebasan tapi mendukung diktator. Sungguh paradoks.”

TAG

cia chile

ARTIKEL TERKAIT

M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Sukarno, Jones, dan Green Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Gempa Besar bagi Bupati Cianjur Gempa Bumi Mengguncang Cianjur Duka Kuba di Laut Karibia CIA, Tan Malaka, dan Kampret Gema Kemerdekaan Palestina dari Seberang Lapangan