Masuk Daftar
My Getplus

Jebakan Warisan Inggris di Indonesia

Tak banyak sumber lokal mengenai pendudukan Inggris di Jawa. Sementara sumber dari pihak kolonial lebih bersifat politis. 

Oleh: Risa Herdahita Putri | 25 Mei 2017
Sejarawan Peter Carey (kiri) meluncurkan buku terbarunya, "Inggris di Jawa," dalam diskusi berjudul The Meaning and Legacy of Raes for Present-Day Indonesia, di Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Kamis (25/5). Foto: Tyas Suci.

Tak lama Inggris bercokol di tanah Jawa. Hanya lima tahun, sejak 1811-1816. Tak banyak pula sumber tertulis mengenai pandangan Jawa terhadap pendudukan kolonialisme Inggris. Sebaliknya, dari perspektif Inggris lebih banyak ditemukan.

Namun, wawasan menarik dari perpektif Jawa terungkap dengan baik lewat Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816). Babad ini adalah buku harian milik seorang pangeran senior di Keraton Yogyakarta, Pakde Pangeran Diponegoro, Pangeran Aryo Panular (1771-1826).

Pangeran Panular mengawali babadnya di tengah-tengah serangan Inggris ke Yogyakarta pada pagi buta 20 Juni 1812 dan mengakhirinya pada Agustus 1816. Sejarawan Peter carey mengungkapkan, babad ini memberikan sudut pandang baru mengenai pendudukan Inggris di Jawa. Babad ini berisi keprihatinan, ketakutan, dan aspirasi dari seorang Pangeran Jawa pada masa itu.

Advertising
Advertising

Panular juga melukiskan kondisi cerminan kepribadian kebudayaan dan masyarakat dari keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa. Satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara kemegahan masa lalu.

“Babad ini memetakan nasib masyarakat di ambang era baru, membantu memperbaiki posisi tak imbang antara sejarah penjajah dengan yang dijajah,” ungkap Peter Carey dalam peluncuran buku terbarunya, Inggris di Jawa, dalam diskusi berjudul The Meaning and Legacy of Raes for Present-Day Indonesia, di Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Kamis (25/5).

Sementara dari pihak Inggris, pandangan terhadap Jawa banyak diungkapkan, misalnya Sir Stamford Raffles lewat History of Java. Dalam hal ini, Farish Ahmad Noor, sejarawan dari Nanyang University, Singapura, berpendapat, karya ini harus dimaknai dengan kekinian. “Ini bukan soal sejarah Jawa, tapi sejarah Raffles sendiri,” ujarnya.

Menurutnya, membaca buku ini haruslah seperti membaca sebuah teks. Kuasa yang dihasilkan karya itu luar biasa besar. Buku ini menentukan perspektif penjajah mengenai Jawa.

“Buku ini semacam power, kuasa, lebih everlasting. Jadi bukan hanya dalam bentuk meriam, bom, dan lain-lain,” ujar Farish.

Karya ini, kata Farish, merupakan laporan kepada pemerintah kolonialis apa yang dia lakukan di daerah jajahannya. “Saya berjaya,” lanjutnya.

History of Java juga akhirnya mampu mentransformasikan sosok Raffles dari seorang kolonialis menjadi ilmuwan. Apa efeknya hingga kini?

Farish menekankan, salah satunya soal budaya komodifikasi saat ini tak bisa lari dari abad 19. Lewat karya itu, Raffles sedang merekayasa Jawa.

“Suatu idea yang bisa memberikan justifikasi terhadap kebijakan politik dan propaganda,” ungkapnya. Berkatnyalah rekonstruksi mengenai stereotip Asia, khususnya Jawa, terbentuk dan terus diwariskan hingga sekarang.

“Isinya bahwa Jawa is not good enough, tidak terlalu beradab, primitif, dan lain-lain. Efeknya sampai sekarang,” tutur dia.

Memasuki era komodifikasi seperti sekarang, Farish melihat masyarakat kekinian seperti kembali dalam kebekuan tulisan History of Java. Orang Jawa yang berblangkon, berkain batik, seakan menjadi sesuatu yang esensial bagi budaya Jawa.

It’s a trap! (Ini jebakan),” serunya. “Bukan Rafflesnya yang penting tapi kompeninya. Ini bicara soal negara yang paling berkuasa saat itu.”

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng