Masuk Daftar
My Getplus

Jatuh Bangun Tugu Proklamasi

Dibangun atas inisatif para perempuan, Tugu Proklamasi pernah dirobohkan lantaran salah pengertian. Lalu, dibangun kembali.

Oleh: Nur Janti | 18 Jan 2018
Johanna Tumbuan/Masdani (dua dari kiri) bersama rekan-rekannya di Tugu Proklamasi, 1946. Foto: Repro "Sumbangsihku Bagi Pertiwi."

JIP-jip berisi orang Inggris terparkir di dekat Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta sejak pagi 17 Agustus 1946. Para wartawan asing tak mau ketinggalan untuk meliput acara hari itu. Mereka datang untuk mengawasi jalannya peresmian Tugu Proklamasi.

Segala perisapan peresmian sudah siap. Tugu Proklamasi sudah diselubungi kain merah putih. Karangan bunga dari toko Florida milik Nyonya Gerung dan ibunya menjadi hiasan yang mengelilinginya.

Tapi, hingga pukul sembilan pagi persemian belum juga dimulai. Padahal, jip-jip itu sudah mengawasi sejak tiga jam sebelumnya. “Pada jam 09.00 pagi saya kena marah Bung Syahrir,” kata Johanna Tumbuan atau Johanna Masdani dalam memoarnya di buku kumpulan cerita perempuan, Sumbangsihku Bagi Pertiwi.

Advertising
Advertising

Rupanya peresmian tak kunjung dimulai karena menunggu rombongan dari Jalan Kimia. Maria Ullfah ada di rombongan itu. Mereka tak bisa masuk ke halaman Tugu Proklamasi karena dihalangi oleh serdadu India (Sekutu).

Malam sebelumnya, para mahasiswa menginap di Gedung Proklamasi sementara para perempuan akan datang dari Balai Kota. Karena rombongan lain tidak bisa memasuki halaman Tugu Proklamasi, peresmian dilakukan orang-orang yang sudah ada di tempat.

Alih-alih bersedia meresmikan, Walikota Jakarta Suwiryo justru menyarankan agar peresmian diundur menjadi 18 Agustus 1946. Dia mengkhawatirkan kegiatan yang berbau kemerdekaan menimbulkan clash dengan Belanda dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Mr. Maramis dan Jusuf Jahja juga ikut memperingatkan Johanna agar berhati-hati karena rawan terjadi pertumpahan darah.

Johanna menolak untuk mundur. “Kalau kaum pria tak berani melakukannya, kami wanita akan melakukannya!” Acara pun tetap dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1946. Perdana Menteri Sutan Sjahrir bersedia datang dari Yogyakarta untuk meresmikan tugu.

Gagasan Perempuan

Ide pembangunan Tugu Proklamasi datang dari para perempuan anggota Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan Wanita Indonesia. Kedua organisasi itu lalu membentuk panitia dengan Ibu Sukemi sebagai ketua peringatan dan Johanna Masdani sebagai ketua subpanitia. Beberapa perempuan yang menjadi anggota antara lain Mien Wiranatakusumah, Zubaedah, Nyonya Gerung, dan Emily Ratulangi.

Desain tugu dirancang oleh Johanna dan disempurnakan oleh Kores Siregar. Pembangunannya ditangani Pak Toyib.

Dana pembangunan tugu berasal dari sumbangan masyarakat. Johanna dan kawan-kawan mencarinya dengan cara berjalan kaki atau bersepeda dari rumah ke rumah. Lantaran dana yang terkumpul cukup banyak, hampir setengahnya lalu mereka kirim ke pejuang di garis depan.

“Tugu Proklamasi yang bersejarah itu merupakan persembahan kaum wanita Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan,” kata Johanna.

Dilupakan

Sayangnya, keberadaan tugu tak dipahami banyak orang. ST Sularto dalam Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa menulis, pamor Tugu Proklamasi mulai menyurut sejak 1956 karena tak banyak dipedulikan orang. Johanna sampai terkejut ketika membaca berita di koran Keng Po, Minggu, 14 Agustus 1960. Berita itu memuat pernyataan Angkatan ’45 yang ingin menghancurkan Tugu Linggarjati. “Saya tak habis heran. Betapa mungkin? Apa yang kami buat adalah Tugu Proklamasi,” kata Johanna.

Lebih lanjut Sularto menulis bahwa menurut Presiden Sukarno Tugu Proklamasi ini adalah Tugu Linggarjati. Johanna kontan membantahnya. “Persiapan kami lakukan sejak Juni 1946 sedangkan Linggarjati terjadi pada November 1946. Ini kan suatu kekeliruan besar,” katanya.

Kesalahpahaman mengenai sejarah pembangunan tugu inilah yang melatarbelakangi penghancuran Tugu Proklamasi. Pada malam 15 Agustus 1960, Tugu dan Gedung Proklamasi dihancurkan. Johanna yang datang ke lokasi ditemani suaminya, kaget dan sedih. Dia terpana melihat tugu yang dia dan kawan-kawannya perjuangkan sudah rata dengan tanah. Bagaikan mimpi baginya.

Bersama Maria Ullfah dan Lasmidjah Hardi, Johanna lalu menemui Gubernur Jakarta Sumarno. Dari Sumarno dia menerima marmer bekas Tugu Proklamasi yang bertuliskan “Dipersembahkan oleh wanita Repoeblik” dan tulisan Proklamasi dilengkapi peta Indonesia. Marmer itu sudah pecah menjadi tiga bagian. Pecahan marmer itu lalu dia simpan selama 12 tahun.

Pada 1972, Johanna didatangi seorang kolonel atas perintah Dr. Soedjono. Sang utusan meminta pecahan marmer itu untuk pembangunan kembali Tugu Proklamasi. Pak Toyib kembali dipercaya untuk membangun ulang tugu itu. Pada 17 Agustus 1972, Menteri Penerangan Budiardjo meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun ulang itu.

“Impian saya terwujud kembali ketika pada 17 Agustus 1972 tugu itu diresmikan kembali,” kata Johanna.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung