Masuk Daftar
My Getplus

Jatuh Bangun Lembaga Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi di negeri ini telah lama dilakukan. Lembaga-lembaga didirikan meski kemudian dibubarkan.

Oleh: Fadrik Aziz Firdausi | 18 Apr 2017

SEJUMLAH lembaga didirikan untuk memberantas korupsi. Beberapa kasus korupsi yang melibatkan petinggi berhasil diungkap. Sebagian diseret ke pengadilan. Namun, tidak jarang usaha itu gagal justru karena dijegal oleh penguasa sendiri.

Berikut ini lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang pernah didirikan meski kemudian dibubarkan.

Bapekan

Advertising
Advertising

Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) berdiri pada awal 1959 dengan ketua Sultan Hamengku Buwono IX dan anggota Samadikoen, Semaun, Arnold Mononutu, dan Letkol Sudirgo. Tugasnya mengawasi, meneliti, dan mengajukan usul kepada presiden berkaitan dengan kegiatan aparatur negara. Lingkup tugas Bapekan mencakup aparat sipil maupun militer dalam badan-badan usaha milik negara, yayasan, perusahaan, dan lembaga negara.

Bapekan menerima segala macam pengaduan dari masyarakat terkait kinerja atau dugaan korupsi aparatur negara. Mereka bisa mengirimkan pengaduannya ke alamat pos Bapekan, Tromol No. 8 Jakarta. Melalui alamat pos itu, Bapekan menerima beragam aduan mulai dari serdadu hingga sastrawan.

Di Jawa Timur, kerjasama Bapekan dengan Gubernur Soewondo Ranoewidjojo amat efektif. Koordinasi keduanya berhasil membongkar praktik korupsi di jajaran pemerintahan hingga tingkat kecamatan. Di Jakarta, Bapekan antara lain berhasil membongkar korupsi di Jawatan Bea Cukai sejak 1950-1960 senilai Rp40 juta.

Namun, pendirian Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) oleh Jenderal Nasution mengurangi ruang gerak Bapekan, keduanya bahkan hampir berkonflik. Riwayat Bapekan tamat saat menangani dugaan-dugaan korupsi terkat pembangunan sarana olahraga untuk Asian Games 1962. Belum sempat menyelesaikan penyelidikan atas dugaan korupsi itu, pada 5 Mei 1962 presiden membubarkan Bapekan dengan alasan tidak diperlukan lagi.

Paran

Banyaknya korupsi yang dilakukan militer selepas nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda membuat sejumlah perwira Angkatan Darat jengah. Upaya pemberantasan oleh Jenderal AH Nasution (menteri keamanan nasional sekaligus KSAD) gagal karena hanya bermodalkan UU Keadaan Darurat Perang.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Nasution mengusulkan kepada Presiden Sukarno perlunya pembentukan sebuah lembaga untuk membenahi birokrasi dan memberantas korupsi. Presiden setuju dan menunjuk Nasution untuk mengonsepnya. Maka, lahirlah Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pada 1959. AH Nasution duduk sebagai pimpinannya serta dibantu oleh Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani. Salah satu tugas Paran, mendata kekayaan para pejabat negara. Dari laporan kekayaan itu Paran mengetahui banyaknya salah urus dan korupsi. Temuan-temuan itu lalu diteruskan ke kejaksaan, pengadilan, atau kepolisian. Meski tak diketahui berapa jumlah pasti korupsi yang dibongkar Paran, kinerja badan tersebut cukup memuaskan.

Namun, langkah Paran mendapat banyak rintangan. Banyak pejabat membangkang dengan tak melaporkan kekayaan. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyerahkan daftar kekayaan kepada presiden. Dalih mereka, mereka bawahan presiden. “Siapa yang bisa melawan Presiden Sukarno?” kata mantan anggota Paran Priyatna Abdurrasyid kepada Historia.

Paran akhirnya mengalami mengalami deadlock saat posisi AH Nasution sebagai pimpinan AD digantikan oleh Ahmad Yani pada 1962. Sejak itu Paran semakin terkucil.

Operasi Budhi

Sebagai respons terhadap radiogram KSAD Nasution tentang perintah kepada Kodam untuk membentuk dan melaksanakan program Paran, Pangdam Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie langsung membentuk Panitia Pelaksana Pendaftaran Kekayaan Para Perwira Tinggi dan Menengah. Program terbatas itu diberi nama Operasi Budhi.

Selain menelusuri kekayaan para perwiranya, Siliwangi juga menarik perwira-perwiranya yang gagal menjalankan jabatan-jabatan sipil. “Adjie tak mau berkompromi dalam soal ini,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967. “Operasi Budhi bukan semata untuk meningkatkan efisiensi administrasi, tapi juga memberikan jawaban yang memadai atas tuduhan korupsi yang dilancarkan PKI terhadap para perwira Siliwangi.”

Keberhasilan Operasi Budhi lalu diambil-oper Nasution dan dijadikan program nasional oleh Paran, yang kala sedang lesu. Melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digeber dengan membentuk Operasi Budhi. Nasution menjadi komandannya, dibantu Ketua Mahkamah Agung Wiryono Prodjodikusumo.

Operasi Budhi bergerak menyasar perusahaan-perusahaan plat merah serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan korupsi. Selain berhasil memejahijaukan banyak pejabat sipil maupun militer, dengan ganjaran paling maksimal pemecatan dan pemenjaraan. Dalam kurun tiga bulan sejak dijalankan, Operasi Budhi menyelamatkan sekira Rp.11 milyar uang negara. Jumlah itu setara dengan 3000 lebih sedan Mercedes Benz. “Dulu Mercedes 3,5 juta lho harganya,” kata mantan anggota Operasi Budhi Mohamad Achadi (menteri Transmigrasi dan Koperasi di Kabinet Dwikora I) kepada Historia.

Namun, ketika Operasi Budhi hendak memeriksa Pertamina, Dirut Pertamina Ibnu Sutowo dan para anggota direksinya menolak. Mereka beralasan pelaksanaan operasi belum dilengkapi surat tugas. Operasi Budhi juga tersendat karena banyak pejabat atau perwira yang berlindung di balik kuasa Sukarno –dengan membisikkan bahwa Nasution dengan Operasi Budhi-nya sedang menggalang kekuatan untuk melawan presiden– atau Ahmad Yani. Akhirnya Operasi Budhi dibubarkan pada Mei 1964.

Kotrar

Sebagai ganti dari pembubaran Paran/Operasi Budhi, Presiden Sukarno membentuk Komando Tertinggi Retooling Aparatur (Kotrar) pada 1964. Presiden menunjuk Soebandrio sebagai ketuanya dan Letjen Ahmad Yani sebagai kepala staf.

Namun, alih-alih bekerja cepat sesuai tujuan pendiriannya, Kotrar justru menjadi kendaraan politik Soebandrio. Perbaikan administrasi pemerintahan dan pemberantasan korupsi hampir tak tersentuh. Kotrar mengalami stagnasi hingga jatuhnya Presiden Sukarno.

TPK

Dalam pidato kenegaraannya pada 16 Agustus 1967, Presiden Soeharto menegaskan komitmen pemerintahannya dalam pemberantasan korupsi yang selama itu terbengkalai. Sebagai wujudnya, dia kemudian membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini diketuai Jaksa Agung Sugih Arto. Anggotanya tak hanya orang-orang Kejaksaan, tapi ada yang dari kepolisian, militer, pers, dan lain-lain.

Kasus terbesar yang ditangani TPK adalah dugaan korupsi di Pertamina, yang melibatkan pucuk pimpinan perusahaan plat merah itu. Menurut mantan anggota Operasi Budhi yang juga menjadi anggota TPK Priyatna Abdurrasyid, yang sempat memeriksa Ibnu Sutowo dan Haji Taher, hambatan pemeriksaan Pertamina amat besar. Teror kerap menghampiri anggota pemeriksa. Suatu hari, Priyatna dicaci-maki oleh asisten pribadi Presiden Soeharto yang mengatakan padanya bahwa presiden marah karena menilai Priyatna lancang memeriksa Pertamina. “Ancaman fisik pun pernah saya dapatkan. Suatu hari seorang pejabat teras Pertamina yang saya kenal datang ke kantor saya. Di kamar kerja saya, dia membanting pistol di atas meja saya. Ditantang begitu, darah saya naik,” ujar Priyatna kepada Historia.

Intervensi penguasa membuat TPK gagal. Hingga tiga tahun berjalan, pengusutan terhadap perusahaan-perusahaan negara atau institusi negara yang ditengarai menjadi sarang korupsi seperti Bulog, Pertamina, dan Departemen Kehutanan, tidak tuntas. Masyarakat pun mempertanyakan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Mahasiswa lalu berdemonstrasi. “Ini merupakan gerakan anti korupsi paling besar dalam 25 tahun sejarah Republik Indonesia.,” tulis Akhiar Salmi dalam “Kebijakan Politik dalam Pemberantasan Korupsi Dari Masa ke Masa”, dimuat di Korupsi Yang Memiskinkan. Presiden akhirnya membubarkan TPK.

Komisi Empat

Selain membubarkan TPK, Presiden Soeharto merespon protes mahasiswa dengan membentuk Komisi Empat, 31 Januari 1970. Presiden menunjuk Moh. Hatta sebagai penasehat komisi itu dan mantan Perdana Menteri Wilopo sebagai ketua. Tiga tokoh senior yang dianggap bersih dan berwibawa, Prof Johannes (mantan rektor UGM), I.J. Kasimo (Partai Katolik), dan A. Tjokroaminoto (PSII), dipercaya menjadi anggotanya.

Mayoritas kasus-kasus yang ditangani Komisi Empat merupakan kasus-kasus korupsi yang terbengkalai penanganannya, seperti dugaan korupsi di Pertamina. “Komisi Empat mengemukakan bahwa PN Pertamina tidak berpegang teguh pada pasal 33 UUD 1945. Komisi Empat juga menunjukkan beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh PN Pertamina. Di antara “kelalaian” PN Pertamina yang utama ialah kelemahannya dalam mengadakan budget control,” tulis JB Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi IJ Kasimo.

Temuan paling fenomenal Komisi Empat adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo. Dia dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik dan pribadi. Namun, hasil temuan itu tak mendapat respon pemerintah. “Ibnu Sutowo tidak pernah dinyatakan merugikan keuangan negara atau melanggar hukum pidana; kasusnya hanya dinyatakan (sebagai) hasil ‘salah manajemen’ atau salah urus,” tulis Sudarmanto. Alih-alih memperdalam penyelidikan, tanpa alasan jelas pemerintah malah membubarkan Komisi Empat pada 16 Juli 1970.

KPKPN

Meski singkat, pemerintahan Presiden BJ Habibie berusaha menangani pemberantasan korupsi dengan serius melalui pembentukan Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara. KPKPN dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara. “Fungsi utama KPKPN adalah mengeluarkan formulir kekayaan yang harus diisi oleh pejabat publik,” tulis Simon Butt dalam Corruption and Law in Indonesia.

Dinahkodai Jusuf Syakir, KPKPN beranggotakan 35 orang dari beragam latar belakang profesi. Mereka menyasar semua pejabat publik, mulai anggota MPR/DPR hingga perwira militer. “Khusus untuk pemeriksaan kekayaan anggota KPKPN sendiri akan dikerjakan oleh auditor independen,” kata Jusuf, dimuat Panji Masyarakat, 2001.

Untuk menyiasati kekurangan man power dan kekuatan yang dimilikinya, KPKPN membuat pernyataan publik di media massa mengenai nama-nama pejabat yang tidak atau belum melaporkan kekayaannya. “KPKPN menjadi salah satu lembaga anti korupsi yang lebih efektif. Melalui publikasi tahunan pengumuman kekayaan (pejabat –red.), KPKPN berhasil mengembangkan satu embrio budaya tanggung jawab terkait kekayaan dan konflik kepentingan,” tulis buku Indonesia: Selected Issues. Meski sempat tak jelas nasibnya pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, KPKPN akhirnya melebur ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi.

TGPTPK

Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dengan ketuanya Hakim Agung Andi Andojo. Badan ini dibentuk dengan Keppres No. 19/2000. “Tim ini bertugas untuk berburu para koruptor yang diduga bersembunyi di luar Indonesia,” tulis Diana Ria dalam KPK in Action.

Namun, legalitas tim ini dipermasalahkan karena dasar pembentukannya berbenturan dengan UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan lembaga tersebut.

KPK

KPK didirikan berdasarkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Taufiequrachman Ruki didapuk menjadi ketua KPK pertama. Sejak kepemimpinannya hingga pimpinan sekarang, KPK terus bergerak cepat membongkar kasus-kasus korupsi hingga ke pemerintah daerah.

Sepak terjang KPK mendapat perlawanan, mulai serangan personal hingga institusional. Terakhir, penyidik senior KPK Novel Baswedan menjadi korban penyiraman air keras lantaran sedang mengusut korupsi besar KTP elektronik yang menyebut banyak anggota DPR.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal Waktu The Tielman Brothers Masih di Indonesia Runtuhnya Kesultanan Banten Filantropi Tjong A Fie Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik ADARI Klaim Bung Karno Nabi