Masuk Daftar
My Getplus

Hotel Semua Bangsa

K’tut Tantri berjuang mendirikan hotel untuk semua bangsa di Bali. Luluh lantak ketika Jepang menduduki Bali.

Oleh: Andri Setiawan | 23 Mar 2021
K'tut Tantri bersama Sukarno. (Repro. Revolusi di Nusa Damai).

Muriel Stuart Walker alias K’tut Tantri dikenal sebagai salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Perempuan asal Amerika Serikat ini pindah ke Bali dan diangkat sebagai anak oleh seorang raja di Bali. Ketika revolusi kemerdekaan, K’tut turut dalam perjuangan di Surabaya melalui Radio Pemberontakan dan dikenal sebagai Surabaya Sue.

Pada 1930-an, K’tut di Bali memilih tinggal di antara penduduk desa ketimbang tinggal di puri ayah angkatnya. Suatu hari, ketika berkeliling desa, K’tut terkesan dengan pemandangan sebuah pantai yang memanjang dengan pasir putihnya. Pantai itu masih sepi dan tak berpenghuni.

“Pantai di situ indah sekali, tanpa ada sebuah rumah pun. Bahkan gubuk saja tidak ada! Yang ada hanya beberapa pura, serta perahu nelayan yang banyak sekali jumlahnya. Kalau aku membangun rumah di situ, alangkah nyamannya!” tulis K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai.

Advertising
Advertising

Pantai yang didatangi K’tut tersebut adalah Pantai Kuta, yang kelak menjadi salah satu pantai paling ramai di Bali. Pantai ini sebenarnya telah memiliki sejarah panjang. Pada 1557, pantai ini menjadi lokasi pendaratan pertama kapal-kapal Belanda di Bali. Kemudian pada abad ke-17 hingga 19, Kuta terkenal sebagai pasar budak utama di Bali.

Baca juga: Riwayat Radio Pemberontakan Bung Tomo

Kuta juga pernah menjadi tempat buangan pelarian dan para pengidap penyakit memalukan seperti kusta. Menurut Adrian Vickers dalam Bali: a Paradise Created, pada 1820-an dan 1830-an, Belanda juga mendirikan pos perdagangan di Kuta.

Masa di mana K’tut datang ke Kuta sudah berbeda. Wilayah ini sudah sepi. Menurut K’tut, penduduk desa bahkan tidak tahu di mana letak Pulau Jawa. K’tut kemudian menjadi salah satu sarana mereka mengetahui dunia luar.

Selain ingin membangun rumah yang damai di pantai, K’tut juga punya impian untuk membangun hotel di Kuta. Namun, hotel yang diimpikan K’tut bukanlah hotel biasa, melainkan hotel yang akan menerima tamu dari semua bangsa.

K’tut memang punya pengalaman buruk dengan hotel di Bali. Ketika pertama kali tiba di Bali, ia menginap di Bali Hotel di Denpasar. Hotel ini milik orang Belanda. Semua tamunya berkulit putih. Orang berkulit sawo matang hanya menjadi pelayan di situ.

Bali Hotel meninggalkan kesan buruk bagi K’tut. Bali yang ia bayangkan seperti dalam film Bali, The The Last Paradise yang ia tonton ketika masih di Amerika Serikat, tak ditemuinya di sini. Ia kemudian keluar dari hotel dan pasrah jika kemudian harus tidur di gubuk tepi sawah.

Setelah beberapa kali berkunjung ke Kuta, impian membangun hotel K’tut mulai terwujud. Ia menyewa tanah dari penduduk desa meski belum bisa membangun apa-apa di sana. K’tut juga mendapat bekas rumah dari sepupu angkatnya di desa dan menyewakan dua kamar kosong untuk turis dan seniman.

“Takkan ada pembedaan warna kulit di sini. Aku akan menerima seniman Belanda, begitu pula Amerika, India, Cina –dan tentu saja juga Indonesia,” katanya.

Baca juga: Bali Sebelum Dikuasai Majapahit

Usaha K’tut bukan tanpa rintangan. Bali Hotel di Denpasar yang telah memonopoli wisata di wilayah itu melancarkan kampanye agar turis tak datang ke rumah K’tut. Mereka juga memperingati supir-supir taksi agar tak mengantar turis ke sana.

Rumah K’tut sempat ramai pengunjung dan menjadi rujukan menginap para seniman dari berbagai negara. Seniman terkenal yang juga sahabat K’tut, Walter Spies dan Le Mayeur, juga sering berunjung dan mendukung usaha K’tut. Meski demikian, K’tut masih keteteran mengurus keuangan sehingga masih merugi.

Pada 1936, impian K’tut membangun hotel di Kuta kembali bangkit. Ia bertemu pasangan dari Amerika Serikat yang tertarik dengan ide K’tut., Mereka akhirnya membangun dua bungalow di atas tanah yang disewa ketut dari penduduk Kuta. Satu untuk K’tut, satu untuk pasangan tersebut. Sebuah hotel kemudian juga didirikan di dekat bungalow. Inilah Kuta Beach Hotel, hotel pertama di pantai Kuta.

Namun, K’tut dibuatnya sangat kecewa. Hotel yang dibangun itu tidak sesuai dengan cita-cita anti diskriminasi K’tut. K’tut pun meninggalkan kerjasama hotel itu.

K’tut tak putus asa. Berkat bantuan kawan-kawan dan penduduk desa, ia membangun kembali hotel yang diimpikannya. Kawan-kawan K’tut mengumpulkan uang yang kemudian dipakai untuk membangun hotel yang diberi nama Swara Segara.

Swara Segara yang mengadopsi budaya Barat dan Timur cepat populer dan banyak dikunjungi turis. Bahkan menurut K’tut, orang yang hanya punya sedikit uangpun bisa menginap di sini.

Kesuksesan Swara Segara membuat Belanda gelisah. Mereka menebar isu bahwa hotel ini menjadi sarang maksiat. Pemerintah kolonial bahkan mengirim surat pengusiran kepada K’tut karena K’tut masih dianggap pendatang. Namun belakangan surat itu dicabut lagi.

Baca juga: Upaya Memajapahitkan Bali

Pada 1940-an, perang mulai bergolak. Ketika Jepang mulai menduduki Indonesia pada 1942, K’tut meninggalkan Bali dan pergi ke Jawa. Di Jawa, ia turut dalam perjuangan kemerdekaan dan terlibat dalam Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

Ketika K’tut di Jawa itulah Hotel Swara Segara dihancurkan Jepang. Tentara Jepang memiliki kebijakan untuk menghancurkan semua properti milik orang kulit putih. Hotel dan bungalow K’tut pun tak bersisa. Harta benda dan lukisan-lukisan K’tut juga telah dijarah.

“Tidak ada sepotong bambu pun masih utuh di situ. Tak sampai segenggam batu koral yang masih tersisa dari bangunan pura,” kenang K’tut.

TAG

k'tut tantri hotel swara segara bali

ARTIKEL TERKAIT

Jenderal "Jago Perang" Belanda Meregang Nyawa di Pulau Dewata Pembantaian dan Penjarahan di Bali Selatan Raja Bali yang Digosipkan Punya Harem ABRI Masuk Desa Demi Golkar di Bali Pulangnya Keris Pusaka Warisan Puputan Klungkung Agung Jambe Dibunuh dan Kerisnya Dirampas Pembantaian di Puri Cakranegara Banjir Darah di Puri Smarapura Koleksi Pita Maha Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi Pesona dari Desa Penglipuran