SEBELUM menjadi partai terlarang, PKI mengusung citra sebagai partai rakyat. Penabalan ini bukan bualan belaka. Di berbagai daerah, PKI cekatan menangkap kegelisahan masyarakat. Program partai berlambang palu arit ini secara umum ditujukan untuk meninggikan harkat hidup wong cilik. Mulai dari upah kerja yang layak, pembagian tanah, jaminan kesehatan, pendidikan, hingga rekreasi.
“Meski kebijakannya sentralistik, pendekatan PKI di daerah amat disesuaikan dengan kondisi masyarakat,” kata sosiolog Arbi Sanit, penulis buku Badai Revolusi: Sketsa Politik Kekuatan PKI di Jawa Tengah & Jawa Timur kepada Historia.
Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang jadi basis utama, PKI tampil penuh totalitas. Biaya besar tidak segan digelontorkan untuk mendanai kegiatan. Dengan garis komando terpadu mulai dari Central Comite (CC) hingga tingkat resort (desa), program PKI tidak kesulitan peminat.
Baca juga: Sikap PKI Atas Papua
Sanit menerangkan, saat terjadi bencana kelaparan di Gunung Kidul, Jawa Tengah pada pertengahan 1950, misalnya. Di daerah itu, orang banyak makan singkong karena tanah di Gunung Kidul tidak cukup baik untuk tumbuhan padi. PKI segera meresponnya dengan membuat program penanaman singkong.
“Kalau lagi musim mainan anak layang-layang, PKI bagi-bagi layangan gratis. Nanti keluarga yang terima layang-layang itu, dicatat sebagai penerima dan terdaftar sebagai anggota PKI. Siapa yang pernah terdaftar ada urusannya dengan PKI, itu dianggap jadi anggota,” ujar Sanit.
Salah satu program PKI untuk rakyat tersua dalam berita Harian Rakjat, 25 Juli 1957 yang menggarap isu kesenian dan kesehatan. “Program pengembangan kesenian daerah (ludruk) dan program air minum bersih,” demikian tulis Harian Rakjat yang merupakan koran partisan PKI tersebut. Agenda itu merupakan sedikit dari program PKI di daerah Jawa Timur yang dikemas secara populis.
Di beberapa daerah basis Masjumi, PKI memancing simpati. Menyikapi gerakan Darul Islam (DI) yang meresahkan petani di Aceh dan Jawa Barat, PKI menyerukan penyitaan tanah milik para pengikut DI. Sembari menjanjikan pembagian tanah tersebut kepada petani miskin, Pemuda Rakyat dimobilisasi sebagai mitra TNI.
Baca juga: Saling Hajar Masyumi-PKI
Kotagede, sebuah kota kecil di Yogyakarta yang juga basis Masjumi, penetrasi PKI juga ikut masuk. Di sana, menurut Mutiah Amini dalam “Komunis di Kota Santri: Politik Lokal Kotagede Pada 1950-1960-an” termuat di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia tahun 1950-an, aksi sosial PKI bahkan tidak pandang bulu. Kader PKI secara terang-terangan membantu Muhammadiyah dengan membangun sarana publik seperti rumah bersalin dan balai kesejahteraan ibu dan anak. Hal ini dilakukan sebagai tanda terimakasih para kader yang pernah mengenyam pendidikan dasar Muhammadiyah di kota itu.
Sementara di Sumatra, basis massa PKI meliputi buruh-buruh perkebunan. Pengaruh komunis berkembang pesat di kawasan transmigrasi, seperti di Sumatra Timur (kawasan Deli), Sumatra Selatan, dan Lampung. Hampir sama seperti di Jawa, PKI giat memperjuangkan nasib buruh kebun ini melalui serikat buruh partisannya, Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI).
Di Kalimantan, PKI bergerak lebih fleksibel. Kendati anti-sukuisme yang cenderung feodal, PKI berupaya menarik simpati etnis Dayak dengan menyokong pembentukan provinsi Kalimantan Tengah. Sikap ini, menurut Gery van Klinken dalam “Mengkolonisasi Borneo: Pembentukan Provinsi Dayak di Kalimantan” masih dalam Antara Daerah dan Negara, didorong oleh keinginan untuk membendung pengaruh Masjumi yang kuat di Kalimantan Selatan.
Baca juga: Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
Ketika provinsi Kalimantan Tengah terbentuk pada 1957, cabang PKI telah punya basis yang kuat di Barito. Yang menarik, mayoritas massa PKI adalah petani Dayak yang punya tanah dan orang-orang Kristen.
“Sampai tahun 1959, ternyata sudah banyak anggota jemaat yang menjadi anggota PKI dan malahan hampir semua tokoh pimpinan PKI di daerah Kalimantan Tengah adalah orang-orang Kristen,” tulis Pdt. Dr. Fridolin Ukur dalam Sejarah Gereja Kalimantan Evangelis Sejak Tahun 1835.
Merentang ke Timur, isu utama yang dihadapi rakyat setempat adalah feodalisme. Di Sulawesi, PKI mengakomodasi gugatan masyarakat terhadap elite tradisional yang menguasai sebagai besar lahan tani. Sejak tahun 1954, dalam waktu yang tidak terlalu lama PKI mendapat dukungan yang besar dari masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan.
“PKI sangat berhasil memobilisasi pengikut dan mengangkat masalah tanah di Tanah Toraja sebagai isu pokok,” tulis Diks Pasande dalam “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja” termuat di kumpulan tulisan Antara Daerah dan Negara suntingan Sita van Bemmelen dan Remco Raben.
Di Nusa Tenggara Barat dan Timur, PKI gencar menentang perbudakan yang masih dipraktikkan raja-raja lokal sejak zaman kolonial. PKI memperjuangkan tuntutan sederhana tetapi tidak mampu disuarakan rakyat NusaTenggara, seperti: hak menggunakan pelana kuda bagi rakyat biasa, penggunaan celana panjang bagi petani, serta pelarangan kerja rodi dan kawin paksa.
Baca juga: Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS
Hasil kinerja yang apik di berbagai daerah itu semakin ditujang lewat agitasi propaganda media. Dalam pemenuhan asupan informasi di daerah, awak media PKI paling militan kinerjanya dibanding corong partai yang lain. Penerbitan media PKI menjangkau penjuru tanah air bahkan hingga ke pelosok negeri.
“Jaringan Harian Rakjat itu sampai ke kota Tanjung Balai (150 km dari Medan) diangkut pakai (pesawat) Garuda. Ke pelosok NTT sekira 4 hari dan kalau Ambon bisa 2-3 hari,” kata Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat kepada Historia.
Melalui program kerja dan propaganda, jaringan PKI berkembang pesat. Wajar jika basis massa PKI di tingkat akar rumput bertumbuh dengan subur. Maka tidak heran, ketika memasuki tahun 1960, PKI menjelma sebagai partai politik terkuat di Indonesia, bahkan dunia.