Wajah D.N Aidit, Ketua Central Comite (CC) PKI nongol di televisi Uni Sovyet. Saat itu, dia diwawawancarai oleh Georgi Afrin, eks Koresponden TASS (Kantor Berita Uni Soviet) di Jakarta. Kepada Afrin, Aidit menerangkan tugas-tugas pokok PKI yang sedang digencarkan.
“Mempersatukan dan memobilisasi rakyat Indonesia guna membebaskan wilayah negerinya yang masih dijajah oleh kaum kolonialis Belanda, yaitu Irian Barat,” kata Aidit kepada Afrin, dikutip Harian Rakjat, 24 Oktober 1961.
Wawancara itu terjadi di sela Kongres ke-12 Partai Komunis Uni Soviet. Aidit hadir sebagai ketua delegasi PKI. Momentum itu memantik perhatian dunia, khususnya bagi negara-negara berideologi kiri. Pernyataan Aidit jadi agenda partai komunis sedunia guna memperjuangkan antikolonialisme dan penghapusan feodalisme.
PKI Turun Tangan
Itu bukanlah kali pertama Aidit bicara lantang menyoal konflik Irian Barat. Ketika resolusi Indonesia untuk penyelesaian Irian Barat kandas dalam sidang Majelis Umum PBB, Aidit pun pernah bersuara. Pada 12 Desember 1954, dia mengutarakan kejengkelannya perihal hasil pemungutan suara sekitar masalah Irian Barat.
“Amerika Serikat yang secara resmi tidak memberikan suara (abstain), sebenarnya adalah pemimpin komplotan gelap yang menentang resolusi-resolusi tentang Irian Barat,” kata Aidit dikutip diplomat Uni Soviet Gavriil Leonidovich Kesselbrenner dalam Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia.
Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"
Sejak 1954 hingga 1957, upaya diplomasi Indonesia di Majelis Umum PBB selalu mentok. Permintaan Indonesia untuk membicarakan masalah Irian Barat gagal menarik dukungan dua pertiga negara anggota dalam pemungutan suara. Menurut Aidit hasil itu membuktikan betapa PBB tunduk kepada Amerika dan negara-negara blok Barat lainnya. Sejauh apa kebenaran tuduhan Aidit?
Di balik sikap netralnya, Amerika nyatanya memang lebih cenderung memihak Belanda. Keberpihakan terhadap Belanda dipengaruhi oleh pejabat Kementrian Luar Negeri dan CIA yang berpandangan Eropasentris dalam pemerintahan Presiden Dwight David Eisenhower. Mereka menyadari dukungan terhadap klaim Indonesia akan merenggangkan hubungan Amerika dengan Belanda. Padahal, Amerika sangat membutuhkan keikutsertaan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
“Masalah Irian Barat tetap menjadi dilema bagi pemerintahan Eisenhower pada periode pasca-pemberontakan,” tulis Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953--1963.
Baca juga: Operasi Bersama Gempur Sumatera
Menyusul kegagalan di forum internasional, sentimen anti Belanda di Indonesia kian meningkat. Pada 16 Oktober 1957, Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja membuat keputusan untuk membentuk Komite Aksi Pembebasan Irian Barat di tiap penjuru Indonesia. Di Jakarta, telah berlangsung demontrasi pemuda yang diikuti sekira 100.000 orang. Mereka menuntut pembebasan Irian Barat. Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota lainnya.
Bak gayung bersambut, PKI merespon positif Komite Aksi Pembebasan Irian Barat. Aidit menyerukan bahwa PKI mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan yang ditujukan ke arah pembebasan Irian Barat. Sebagai penutup, Aidit mengatakan, “Bahwa Asia sekarang adalah Asia bangsa-bangsa merdeka, yang tidak akan membiarkan kaum imperialis menginjak hak-hak rakyat Indonesia.”
Amerika Ketakutan
Memasuki 1960, persoalan Irian Barat memperuncing hubungan Indonesia dengan Belanda. Puncaknya terjadi manakala Presiden Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Angkatan Perang RI dimodernisasi sedemikian rupa dengan bantuan Uni Soviet sebagai persiapan merebut Irian Barat. Kendati penyelesaian lewat perundingan terus diupayakan, peluang terjadinya pertempuran terbuka dengan Belanda tetap besar.
Baca juga: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet
Di dalam negeri, kekuatan radikal mulai terlibat dalam penggalangan massa aksi. Harian Rakjat, 13 Oktober 1961 melansir bahwa Front Pemuda Pusat yang didominasi PKI, menyerukan lebih dari 10 juta anggota organisasi pemuda telah siap untuk membentuk milisi umum. Di luar negeri, Aidit membicarakan soal Irian Barat dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet di Moskow.
Aidit sebagaimana diberitakan Harian Rakjat, 31 Oktober 1961 menjelaskan sikap rakyat Indonesia dan tekad pemerintah untuk membebaskan Irian Barat dengan jalan apapun. Aidit juga memberikan informasi mengenai Irian Barat dalam forum kongres. Kampanye Aidit berhasil. Dia bersepakat dengan Paul de Groot, pimpinan Partai Komunis Belanda, yang menyatakan berada di sisi rakyat Indonesia apabila pecah perang antara Indonesia dengan Belanda. Dukungan tidak resmi juga diperoleh dari Partai Komunis Australia yang diwakili sekjennya, Lancey Sharkey.
Pada 11 November 1961, Presiden Sukarno menyatakan persiapan militer sudah rampung. Perintah terakhirnya bagi perang pembebasan Irian Barat hanya tinggal menunggu keputusan PBB. Puncaknya terjadi ketika Sukarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
PKI bereaksi cepat terhadap komando terakhir Sukarno itu. Pada 21 Desember 1961, seluruh serikat buruh yang bernaung di bawah PKI mengeluarkan seruan bersama. Dalam Harian Rakjat, 23 Desember 1961 dikatakan bahwa “Kaum buruh Indonesia telah siap untuk membentuk pasukan sukarela kaum buruh.” Kepada Sukarno, Aidit menyarankan agar perusahaan Belanda di Indonesia disita dan diambil alih.
“Retorika menakjubkan Presiden dan kemampuan luar biasa PKI memobilisasi massa, memastikan kedua pihak ini kian naik daun saja saat menentukan tujuan dan taktik yang terkait dengan konfrontasi terhadap kekuatan Belanda,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesia Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959—1965.
Di Washington, pemerintah Amerika di bawah rezim John. F. Kennedy memantau penuh was-was. Para penasihat Kennedy untuk Urusan Keamanan Nasional (NSA) menyaksikan dengan cemas sikap Indonesia yang semakin mengeras. Mereka menyarankan Kennedy untuk bertindak cepat dan sesegera mungkin.
“Cepat atau lambat, orang Indonesia akan mendapatkan Irian Barat,” demikian disampaikan Walt Whitman Rostow, Deputi Asisten Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, kepada Presiden Kennedy seperti termuat dalam arsip departemen luar negeri Amerika, Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII, Southeast Asia, Document 205.
Rostow menambahkan, “Jika ini memang jalannya, mungkin penting bagi kita untuk bekerja dengan tujuan tersebut, menggunakannya untuk keuntungan bersama, daripada membiarkan komunis untuk terus mengeksploitasi masalah ini untuk menekan Indonesia lebih dekat ke Blok Komunis.”
Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat
Memasuki tahun 1962, Amerika mengubah kebijakannya terhadap persoalan Irian Barat. Mereka mulai bergerak ke arah tengah dengan mulai tampil sebagai mediator yang aktif. Sengketa Irian Barat memasuki babak baru menuju penyelesaian.