Masuk Daftar
My Getplus

Di Pusaran Angin Musim Barat

Angin kencang di lautan berarti peringatan dini bagi nelayan.

Oleh: Aryono | 06 Des 2017

BADAN Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika khususnya bidang Meteorologi Maritim, memberikan analisis prediksi sebaran hujan. Potensi hujan lebat disertai petir berpeluang terjadi di Laut Andaman, Perairan Barat Aceh, Samudra Hindia Barat Bengkulu, Perairan Kepulauan Lingga, Perairan Utara Bangka, Selat Karimata, Laut Jawa bagian Barat, Perairan pulau Buton, Laut Banda, Laut Maluku, Perairan Kepulauan Raja Ampat, Perairan Biak, Teluk Cendrawasih, Laut Aru, Perairan Jayapura.

Adanya awan gelap (cumulonimbus) di lokasi tersebut, seperti dikutip dari laman maritim.bmkg.go.id (06/12), dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang.

“Kalau dunia nelayan, Desember hingga Januari disebut musim baratan, gelombang tinggi,” ujar Sutejo Kuwat Widodo, penulis buku Ikan Layang Terbang Menjulang: Perkembangan Pelabuhan Pekalongan Menjadi Pelabuhan Perikanan 1900-1990, kepada Historia.

Advertising
Advertising

Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa adalah tempat angin pasat –angin yang bertiup tetap sepanjang tahun dari daerah subtropis menuju ke daerah ekuator– berhimpun. Dari sisi selatan berhembus angin pasat tenggara, sementara di utara ekuator adalah angin pasat timur laut. Pun demikian, sistem angin di Indonesia memiliki karakteristik, yaitu adanya angin musim yang berubah arah tujuan setiap setengah tahun. Pelayaran yang akan melewati perairan Nusantara pada masa lalu, akan mempertimbangkan musim dan arah angin.

Mei hingga Oktober berhembus angin musim Timur yang bertiup dari arah tenggara, atau daratan Australia. Hembusan angin Timur ini digunakan oleh kapal-kapal dari timur masuk ke Nusantara.

“Pada bulan Oktober, kapal-kapal sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di Makassar, Gresik, Demak, Banten, sampai kota-kota lain di sebelah barat,” tulis Adrian B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke 16 dan 17.

Sementara pada November hingga April, tulis Djoko Pramono dalam Budaya Bahari, bertiup angin musim Barat dari arah Barat Laut, dari daratan Asia. Angin ini digunakan oleh kapal-kapal yang sudah berlabuh di selat Malaka untuk melanjutkan pelayarannya ke perairan laut Jawa. Puncak keramaian pelayaran di laut Jawa terjadi di bulan Juni-Juli, di mana pelabuhan Batavia penuh sesak oleh pedagang.

Di dalam kedua angin musim itu, April-Mei dan Oktober-November, terjadi perubahan angin atau yang dikenal musim pancaroba. Ciri-cirinya adalah adanya badai di lautan dan gelombang tinggi sehingga membahayakan pelayaran.

“Sekarang pancaroba menuju angin Barat yang disertai hujan lebat dan ombak besar. Perahu harus berlindung dulu di pelabuhan jika kondisi tidak baik,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro yang mengkhususkan diri di bidang sejarah maritim, kepada Historia.

Pada situasi yang gawat itu, kapal-kapal dari daratan India dan Tiongkok harus menunda pelayaran dengan berlabuh beberapa waktu di pelabuhan sembari menunggu musim pancaroba lewat.

Namun dalam pelayaran lokal, menurut Djoko Pramono, di perairan Jawa, tidak begitu terganggu dengan musim pancaroba, sebab dampak yang ditimbulkan tidak sehebat seperti yang terjadi di Samudra Hindia.

“Prinsipnya hampir semua pelabuhan kuno di pantai utara Jawa aman karena terlindung dengan pulau-pulau kecil atau pun karang dan juga ada yang berada di teluk atau selat,” ujar Singgih.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Ki Bagus Hadikusumo Penggerak Generasi Pertama Muhammadiyah Orang Tionghoa di Tambang Timah dan Emas Delapan Tokoh Kristen dalam Sejarah Hukuman bagi Pejabat yang Memberatkan Rakyat dengan Pajak Miskinnya Sisingamangaraja XII Lika-liku Peninjauan Kembali Sengkon-Karta hingga Kasus Vina Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Joki dari Penunggang Kuda Pacuan ke Pengerjaan Tugas Orang Lain Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Menggugat Peristiwa 27 Juli sebagai Pelanggaran HAM Berat