Masuk Daftar
My Getplus

Dagelan Politik, Agar Bangsa Sehat Jasmani-Rohani

Dagelan politik dalam pusaran zaman. Oase yang membuat bangsa tertawa geli, tak melulu nyeri.

Oleh: Nur Janti | 22 Jan 2019
Nurhadi-Aldo dan Murtidjono-Sosiawan Leak. Ikon-ikon yang mewarnai politik dengan humor. (Gun Gun Gunadi/Historia).

SELAIN Jokowi-Makruf Amin dan Prabowo-Sandi, ada pasangan calon (paslon) lain yang wajahnya terpampang dalam poster debat. Mereka adalah Nurhadi-Aldo yang populer disingkat Dildo. Dengan wajah penuh senyum, mengenakan peci, dan kemeja putih, foto paslon Dildo dipajang sejajar dengan dua paslon lain.

Namun apa daya, pada debat pilpres 17 Januari 2018 lalu, Nurhadi-Aldo tak dapat menyampaikan pendapat. Mereka pun minta maaf lewat akun Instagram-nya. “Kami paslon No. 10 belum sempat mengutarakan pendapat kami, namun sudah terpotong oleh iklan.”

Nurhadi-Aldo memang tak pernah benar-benar mencalonkan diri dalam pilpres. Nurhadi merupakan seorang tukang pijat di Kudus, Jawa Tengah. Semantara, Aldo adalah tokoh fiktif. Wajah rekaan Aldo, gabungan dari dua foto politisi terkenal. Mereka adalah paslon fiktif yang dibuat sekelompok anak muda penggemar shitposting, kegiatan berbagi konten “nirfaedah berkualitas rendah” untuk hiburan, seperti laman Facebook Semiotika Adiluhung 1945 dan Penahan Rasa Berak. Poster debat yang memajang wajah Nurhadi-Aldo pun sebatas guyonan.

Advertising
Advertising

Di tengah ketegangan politik, kehadiran mereka menjadi oase lewat kampanye nyeleneh-menggelitik seperti memberantas korupsi dengan menghilangkan lema korupsi dari KBBI atau mengurangi angka pengangguran dengan menggaji dan menjadikan pengangguran sebagai sebuah profesi.

Kampanye Nurhadi-Aldo juga mengandung kritik berbalut humor. Antara lain, menjadikan para petani sebagai PNS golongan O agar kehidupan mereka lebih sejahtera atau reboisasi hutan gundul dengan Dildo Pylox yang akan mengecat seluruh tanah tandus menjadi hijau.

Capres fiktif Nurhadi memang hadir sebagai dagelan politik. Mereka memancing gelak tawa di tengah perdebatan sengit kedua kubu pendukung yang sering berujung saling caci dengan mengatai cebong atau kampret.

Baca juga: Los Gilos Pelopor Lawakan Cerdas

Dalam wawancara dengan Muammar Fikrie, “Cerita di Balik Kampanye Satire Nurhadi-Aldo”, Edwin selaku tim sukses (pengelola akun sosial media) Nurhadi-Aldo mengatakan, Dildo hadir sebagai hiburan di tengah kejengahan polarisasi politik di media sosial. “Dildo lahir sebagai penengah konflik dan hiburan rakyat,” kata Edwin sebagaimana diberitakan Beritagar.id.

Kehadiran mereka disambut meriah warganet. Per 21 Januari 2018, pengikut Nurhadi-Aldo di Instagram mencapai 454 ribu, di Twitter mencapai 102 ribu, dan 181 ribu di Facebook. Jumlah ini mengalahkan Instagram resmi Jokowi-Makruf Amin dengan 3214 pengikut, dan Prabowo-Sandi yang mencapai 272 ribu.

Dagelan Politik Pasca-Orba

Di bawah pohon mangga Taman Budaya Surakarta, Sosiawan Leak berkumpul bersama rekan-rekan seniman. Ada Murtidjono, Suatmadji, dan Ki Slamet Gundono. Kantin Sorlem (ngisor wit pelem, bawah pohon mangga) begitu mereka menyebutnya. Di kantin itu, mereka membincangkan euforia politik pasca-Orde Baru. Kala itu banyak partai bermunculan sebagai bentuk kekagetan atas kebebasan berpolitik pasca-kelengseran pemerintahan represif Soeharto.

Data dari Almanak Parpol Indonesia yang diketuai Julia Suryakusuma menyebut, per Maret 1999 ada 180 nama partai yang beredar. Beberapa partai baru bahkan secara tegas mengakui sebagai penjelmaan yayasan sosial, kelompok kekerabatan, organisasi profesi, atau pecahan organisasi massa besar. Ada pula partai yang berasal dari komunitas lokal setingkat RT atau kelompok mahasiswa.

Ramainya kemunculan partai politik, tulis Harry Wibowo dalam “Era Banyak Partai” yang dimuat Almanak Parpol Indonesia, merupakan hentakan awal dalam transisi menuju demokrasi. Pendirian partai yang berasal dari beragam kelompok masyarakat ini kebanyakan punya kinerja, kematangan, dan kesiapan organisasi yang minim. Hal ini menjadi penanda, meningkatnya kuantitas partai tak serta-merta mengubah kualitas perpolitikan. Sebab, kiat pendirian partainya semata “mumpung masih bebas”, lantas partai didirikan. Urusan lain belakangan.

Baca juga: Kisah Partai Pohon Kelapa

“Kalau semua orang jadi politikus kan repot juga. Partainya juga aneh-aneh, seolah serius semua. Padahal banyak yang nggak jelas juga waktu itu,” kata Sosiawan sambil tertawa kepada Historia.

Murtidjono yang kala itu menjabat sebagai kepala Taman Budaya Surakarta lantas punya ide untuk mendirikan partai sebagai bentuk sindiran. Ide Murti, begitu ia disapa, disambut baik rekan-rekannya. Murti, Sosiawan, Ki Slamet Gundono, dan Suatmadji lantas menghubungi jaringan seniman untuk menggalang dukungan deklarasi pendirian partai.

Segala keperluan partai mereka lakukan dengan kerja bakti gratisan yang serius namun tetap bernuansa humor. Pelukis Suatmadji merancang logo partai yang menyimbolkan kasih sayang, Toriq menjadi penasihat hukum, dan ahli keris Sugiatno menjadi penasihat spiritual. Maka, jadilah Partai Seni dan Dagelan Indonesia (Parsendi).

“Parsendi itu guyonan, sindiran. AD/ART partai juga isinya ndagel semua. Tapi walaupun guyon, harus niat buatnya. Kami juga punya penasihat politik, salah seorang anggota DPRD Solo. Kalau sekarang kayak paslon Nurhadi-Aldo kan nggak mungkin juga mereka nyalon beneran,” kata Sosiawan.

Ketika perangkat organisasi sudah siap, Parsendi mengadakan deklarasi pendirian partai di Aula SMKI Surakarta pada 28 Oktober 1998. Sebuah kursi dipajang di depan panggung sebagai simbol tahta. Beberapa seniman, pelawak, dan penyair hadir dalam deklarasi tersebut, seperti Tarzan, I Wayan Sadra, Budi Buyek, dan Idrus Tintin.

Selaku penggagas utama pendirian partai, Murti lantas menyampaikan deklarasi yang berisi dagelan. Ketika pemilihan ketua umum partai, Yati Pesek dan Tarzan muncul sebagai calon terkuat. Dalam Basis vol. 47, kedua calon kuat itu tidak bersedia menjadi ketua. Maka terpilihlah pelawak Sri “Milko” Mulyati secara aklamasi.

Baca juga: Srimulat Main Film

Milko yang buta huruf sengaja dipasang untuk meledek partai-partai politik yang asal-asalan muncul. Ketika harus pidato, misalnya, alih-alih menyampaikan dengan serius, Milko malah bercanda. “Saya tidak siap dialog, tapi siap diolok-olok,” katanya. Selain Milko sebagai ketua umum, terpilih pula Murti sebagai ketua harian, Ki Slamet Gundono sebagai sekretaris jenderal, dan Sosiawan sebagai wakil sekretaris jenderal.

Agar wacana sindiran Parsendi meluas ke tingkat nasional, para pengurus partai berkirim surat kepada jaringan seni-budaya mereka untuk mendirikan kantor cabang di daerah masing-masing. Usaha itu berhasil. Parsendi mendapat sorotan dari media massa dan pengamat politik, salah satunya peneliti LIPI Mochtar Pabottinggi.

“Parsendi sebenarnya cuma ingin menyampaikan politik yang tidak kaku, yang tidak gontok-gontokan, yang bisa mengubah teman jadi musuh. Saya ingat Mochtar Pabottinggi pernah bilang kemunculan Parsendi memberi angin segar buat situasi politik Indonesia yang lagi tegang karena banyak bermunculan partai baru,” kata Sosiawan.

Baca juga: Celetuk Dagelan Ludruk

Setelah pesan sindiran mereka berhasil ditangkap masyarakat, Sosiawan dan Murti tenang-tenang saja. Namun, kawan-kawan di daerah yang telanjur membuat kantor perwakilan meneruskan langkah guyonan itu menjadi serius dengan mendaftarkan Parsendi dalam pemilu. Padahal sebelumnya, dalam pertemuan antarpartai di UGM, Murti dengan tegas mengatakan Parsendi tak berminat ikut pemilu. Desakan dari anggota di daerah akhirnya membuat Murti mendaftarkan Parsendi meski hasilnya tak lolos verifikasi.

“Pendirian Parsendi menjadi bagian dari kritik lewat karya seni dengan skenario politik. Bikin dagelan kan juga harus niat,” kata Sosiawan.

TAG

Pemilu

ARTIKEL TERKAIT

Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Kematian-kematian Sekitar Pemilu 1971 PPP Partai Islam Impian Orde Baru Sudharmono Bukan PKI Ketika Komedian Mencalonkan Diri Jadi Presiden Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai Gambar Partai Dilumuri Tahi Lika-liku Quick Count yang Krusial